Akan tetapi, Bujang bukanlah pemuda biasa. Dia memiliki darah seorang jagal dalam nadinya, kakeknya adalah seorang jagal yang paling ditakuti di masanya, demikian pula ayah Bujang yang menjadi tukang pukul andalan Keluarga Tong sebelum ia pensiun dan menikah dengan ibu Bujang. Meski dicegah sedemikian rupa, akhirnya darah jagal dalam diri Bujang tetap menampakkan wujudnya ketika Tauke Besar terancam bahaya saat markas Keluarga Tong diserbu oleh kelompok yang memiliki dendam terhadap Keluarga Tong. Seorang diri, Bujang menghabisi seluruh penyerang yang hendak membunuh Tauke Besar. Tanpa rasa takut ataupun ragu.
Ingat, Bujang. Jika kau tidak membunuh mereka lebih dulu, maka mereka akan membunuhmu lebih awal. Pertempuran adalah pertempuran. Tidak ada ampun. Jangan ragu walau sehelai benang. (ucapan Guru Bushi, Hal.153)
Dua puluh tahun berlalu, Bujang telah menjadi jagal nomor satu Keluarga Tong. Dia juga meraih gelar master dari universitas di luar negeri. Kiprahnya dalam menganalisa tentang shadow economy membawa bisnis Keluarga Tong merajalela hingga ke mancanegara, mereka memiliki cabang bisnis di seluruh dunia. Bujang adalah penyelesai konflik tingkat tinggi. Dia selalu punya rencana, kecerdasan dan kemampuan bela dirinya jauh di atas rata-rata.
Hingga kemudian, penghianatan besar terjadi di dalam Keluarga Tong. Teman dekat Bujang, yang tumbuh dan bekerjasama dengan Bujang selama puluhan tahun, melakukan konspirasi dengan Keluarga Lin untuk mengambil alih kekuasaan Keluarga Tong serta membunuh Tauke Besar. Bujang berusaha mati-matian untuk menyelamatkan Tauke Besar, karena hanya dialah satu-satunya keluarga Bujang setelah kedua orangtua Bujang meninggal. Akan tetapi, Tauke Besar yang memang sudah tua dan sakit-sakitan tak mampu menahan datangnya maut. Pada saat itu, barulah Bujang mengenal rasa takut.
Ada tiga lapis benteng rasa takutku. Satu lapis terkelupas saat Mamak pergi. Satu lapis lagi terkelupas saat Bapak pergi. Malam ini-entah ini malam atau siang di luar sana, lapisan terakhirnya telah rontok, ketika Tauke Besar akhirnya mati. (hal.319)
Meninggalnya Tauke Besar membuat Bujang kehilangan semangat hidup, tiba-tiba ia merasa takut pada segala hal. Bujang bersembunyi di sekolah agama milik Tuanku Imam untuk menyembuhkan diri dari luka-luka di tubuhnya akibat serangan para penghianat, juga luka hati akibat kematian Tauke Besar. Tuanku Imam membantu Bujang mengatasi ketakutan-ketakutan yang baru saja dimilikinya.Melalui Tuanku Imam, Bujang belajar tentang sejarah leluhurnya, yang kemudian membuat Bujang mampu memeluk rasa takutnya dan menemukan keberanian baru untuk mengalahkan penghianat dan merebut kembali kekuasaan Keluarga Tong.
Akan selalu ada hari-hari menyakitkan, dan kita tidak tahu kapan hari-hari itu akan menghantam kita. Tapi akan selalu ada hari- hari berikutnya, memulai bab-bab baru bersama matahari yang terbit. Tapi sungguh, jangan dilawan semua hari-hari menyakitkan itu, Nak. Jangan pernah kau lawan. Karena kau pasti kalah. Mau semuak apa pun kau dengan hari-hari itu, matahari akan tetap terbit indah... (hal. 339)
Ketahuilah, Nak, hidup ini tidak pernah tentang mengalahkan siapapun. Hidup ini hanya tentang kedamaian di hatimu. Saat kau mampu berdamai, maka saat itulah kau telah memenangkan seluruh pertempuran.
itulah kata-kata Tuanku Imam yang meresap ke dalam hati Bujang, hingga Bujang sadar bahwa tidak sepatutnya ia menjadi lemah karena rasa takut. Justru seharusnya ketakutan itu menjadi kekuatan terbesarnya untuk melanjutkan hidup.
Selain kearifan tentang memaknai hidup yang dituangkan dalam novel ini, Tere Liye juga memperkaya wawasan kita sebagai pembaca dengan pengetahuan mengenai Shadow Economy, dan banyaknya kebijaksanaan yang tersimpan dalam setiap ilmu beladiri yang dipelajari oleh Bujang. Kearifan dalam filosofi hidup seorang samurai, bahkan kearifan seorang penembak jitu.
Penembak yang baik selalu tahu kekuatan pistolnya, Bujang. Dia tahu pelurunya akan tiba dimana, bisa menembus apa saja, dan semua tabiat pistolnya. Bagi penembak, pistol ibarat kekasih hati, dia memahaminya dengan baik. Kau sudah tahu, mau sampai kapan pun peluru pistolmu akan terus menembus kaleng karena dia terlalu kuat. Maka jika misimu adalah memasukkan peluru ke dalam kaleng, pikirkan cara lain. Letakkan dua kaleng di sana, atau apapun yang bisa membuatnya melambat bukan malah berusaha menyesuaikan pistolmu. Karena kau yang harus memahami pistolmu, Bodoh, bukan benda mati yang memahamimu (hal. 178)