Mohon tunggu...
El Fietry Jamilatul Insan
El Fietry Jamilatul Insan Mohon Tunggu... karyawan swasta -

aku seorang perempuan, yang bangga menjadi perempuan, dan selalu menyediakan ruang cinta untuk perempuan, meski aku bukan lesbian :)

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Resensi: Memeluk Rasa Takut Untuk Pulang ke Hakikat Diri yang Sejati

8 Desember 2015   10:07 Diperbarui: 8 Desember 2015   14:23 317
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="sumber: Republika"][/caption]

 

 

 

 

Judul: Pulang

Penulis: Tere Liye

Penerbit: Republika

Tebal: 400 Hlm.

Terbit: 2015

Harga: Rp. 65.000

ISBN: 9786020822129

 

 

 

"Aku tahu sekarang, lebih banyak luka di hati bapakku dibanding di tubuhnya. Juga mamakku, lebih banyak tangis di hati Mamak dibanding di matanya."

Sebuah kisah tentang perjalanan pulang, melalui pertarungan demi pertarungan, untuk memeluk erat semua kebencian dan rasa sakit."
(Sinopsis di bagian belakang cover buku)

Jika sekilas kita membaca bagian belakang cover novel ini, maka kita yang belum membacanya akan menyangka bahwa novel ini akan bercerita tentang kisah drama yang mengharu biru, seperti kebanyakan novel tere liye lainnya. Sama halnya dengan saya sendiri, ketika pertama membelinya, saya mengira akan menemui kisah mengharukan yang menjadi ciri khas Tere Liye selama ini. namun ternyata, Tere Liye memberi kejutan dalam setiap lembar novel ini. Bukannya kisah drama yang menerbitkan airmata, justru kisah thriller penuh laga dan aksi seru yang membangkitkan adrenalin pembaca. Sewarna dengan novel Negeri Para Bedebah dan negeri di Ujung Tanduk yang pernah di tulis Tere Liye beberapa tahun sebelumnya. Saya suka dengan penulis yang tidak terpaku pada satu genre, agar kita sebagai pembaca tidak bosan menikmati karyanya. dan Tere Liye telah membuktikan kepiawaiannya untuk tetap mempertahankan kesetiaan para penggemar karyanya.

meski genre novel ini adalah thriller, namun filosofi kehidupan dan kisah tentang keluarga yang mengharukan tetap membumbuinya, bahkan menjadi benang merah yang membentang dalam kehidupan sang tokoh utama.

Berikut ini adalah ulasan singkat yang saya tulis tentang novel ini.

jika setiap manusia memiliki lima emosi, yaitu bahagia sedih, takut, jijik, dan kemarahan. Aku hanya memiliki empat emosi. Aku tidak punya rasa takut. (Hal.1)

Novel ini bercerita tentang Bujang. Bujang adalah seorang anak kampung pedalaman Sumatra, ia tidak pernah sekolah. Hanya belajar baca tulis dan berhitung dari Mamaknya, juga sesekali belajar agama secara sembunyi-sembunyi. Ketika umurnya 15 tahun, Bujang diboyong dari kampung ke kota provinsi untuk tinggal bersama Keluarga Tong yang menguasai bisnis gelap di pelabuhan. Keluarga Tong adalah tempat di mana dulu ayahnya bekerja sebagai tukang pukul. Bujang amat berkeinginan untuk menjadi tukang pukul seperti ayahnya, namun Tauke Besar, pimpinan Keluarga Tong, tidak mengijinkan. Tauke Besar malah ingin Bujang sekolah setinggi-tingginya setelah menyadari potensi kecerdasan yang dimiliki Bujang. Mati-matian Bujang menolak belajar dan selalu merengek untuk diijinkan ikut bertugas bersama para tukang pukul lainnya. Tauke Besar pun harus menggunakan tipu daya untuk membuat Bujang menyerah pada keinginannya untuk menjadi tukang pukul dan bersedia sekolah.

Akan tetapi, Bujang bukanlah pemuda biasa. Dia memiliki darah seorang jagal dalam nadinya, kakeknya adalah seorang jagal yang paling ditakuti di masanya, demikian pula ayah Bujang yang menjadi tukang pukul andalan Keluarga Tong sebelum ia pensiun dan menikah dengan ibu Bujang. Meski dicegah sedemikian rupa, akhirnya darah jagal dalam diri Bujang tetap menampakkan wujudnya ketika Tauke Besar terancam bahaya saat markas Keluarga Tong diserbu oleh kelompok yang memiliki dendam terhadap Keluarga Tong. Seorang diri, Bujang menghabisi seluruh penyerang yang hendak membunuh Tauke Besar. Tanpa rasa takut ataupun ragu.

Ingat, Bujang. Jika kau tidak membunuh mereka lebih dulu, maka mereka akan membunuhmu lebih awal. Pertempuran adalah pertempuran. Tidak ada ampun. Jangan ragu walau sehelai benang. (ucapan Guru Bushi, Hal.153)

Dua puluh tahun berlalu, Bujang telah menjadi jagal nomor satu Keluarga Tong. Dia juga meraih gelar master dari universitas di luar negeri. Kiprahnya dalam menganalisa tentang shadow economy membawa bisnis Keluarga Tong merajalela hingga ke mancanegara, mereka memiliki cabang bisnis di seluruh dunia. Bujang adalah penyelesai konflik tingkat tinggi. Dia selalu punya rencana, kecerdasan dan kemampuan bela dirinya jauh di atas rata-rata.

Hingga kemudian, penghianatan besar terjadi di dalam Keluarga Tong. Teman dekat Bujang, yang tumbuh dan bekerjasama dengan Bujang selama puluhan tahun, melakukan konspirasi dengan Keluarga Lin untuk mengambil alih kekuasaan Keluarga Tong serta membunuh Tauke Besar. Bujang berusaha mati-matian untuk menyelamatkan Tauke Besar, karena hanya dialah satu-satunya keluarga Bujang setelah kedua orangtua Bujang meninggal. Akan tetapi, Tauke Besar yang memang sudah tua dan sakit-sakitan tak mampu menahan datangnya maut. Pada saat itu, barulah Bujang mengenal rasa takut.

Ada tiga lapis benteng rasa takutku. Satu lapis terkelupas saat Mamak pergi. Satu lapis lagi terkelupas saat Bapak pergi. Malam ini-entah ini malam atau siang di luar sana, lapisan terakhirnya telah rontok, ketika Tauke Besar akhirnya mati. (hal.319)

Meninggalnya Tauke Besar membuat Bujang kehilangan semangat hidup, tiba-tiba ia merasa takut pada segala hal. Bujang bersembunyi di sekolah agama milik Tuanku Imam untuk menyembuhkan diri dari luka-luka di tubuhnya akibat serangan para penghianat, juga luka hati akibat kematian Tauke Besar. Tuanku Imam membantu Bujang mengatasi ketakutan-ketakutan yang baru saja dimilikinya.Melalui Tuanku Imam, Bujang belajar tentang sejarah leluhurnya, yang kemudian membuat Bujang mampu memeluk rasa takutnya dan menemukan keberanian baru untuk mengalahkan penghianat dan merebut kembali kekuasaan Keluarga Tong.

Akan selalu ada hari-hari menyakitkan, dan kita tidak tahu kapan hari-hari itu akan menghantam kita. Tapi akan selalu ada hari- hari berikutnya, memulai bab-bab baru bersama matahari yang terbit. Tapi sungguh, jangan dilawan semua hari-hari menyakitkan itu, Nak. Jangan pernah kau lawan. Karena kau pasti kalah. Mau semuak apa pun kau dengan hari-hari itu, matahari akan tetap terbit indah... (hal. 339)

Ketahuilah, Nak, hidup ini tidak pernah tentang mengalahkan siapapun. Hidup ini hanya tentang kedamaian di hatimu. Saat kau mampu berdamai, maka saat itulah kau telah memenangkan seluruh pertempuran.

itulah kata-kata Tuanku Imam yang meresap ke dalam hati Bujang, hingga Bujang sadar bahwa tidak sepatutnya ia menjadi lemah karena rasa takut. Justru seharusnya ketakutan itu menjadi kekuatan terbesarnya untuk melanjutkan hidup.

Selain kearifan tentang memaknai hidup yang dituangkan dalam novel ini, Tere Liye juga memperkaya wawasan kita sebagai pembaca dengan pengetahuan mengenai Shadow Economy, dan banyaknya kebijaksanaan yang tersimpan dalam setiap ilmu beladiri yang dipelajari oleh Bujang. Kearifan dalam filosofi hidup seorang samurai, bahkan kearifan seorang penembak jitu.

Penembak yang baik selalu tahu kekuatan pistolnya, Bujang. Dia tahu pelurunya akan tiba dimana, bisa menembus apa saja, dan semua tabiat pistolnya. Bagi penembak, pistol ibarat kekasih hati, dia memahaminya dengan baik. Kau sudah tahu, mau sampai kapan pun peluru pistolmu akan terus menembus kaleng karena dia terlalu kuat. Maka jika misimu adalah memasukkan peluru ke dalam kaleng, pikirkan cara lain. Letakkan dua kaleng di sana, atau apapun yang bisa membuatnya melambat bukan malah berusaha menyesuaikan pistolmu. Karena kau yang harus memahami pistolmu, Bodoh, bukan benda mati yang memahamimu (hal. 178)

 

Novel ini mengajarkan kita bahwa pertempuran terbesar dalam hidup ini adalah pertempuran melawan diri sendiri, melawan rasa takut dan ego yang seringkali membutakan mata kita akan hakikat sejati kehidupan.

“Saat itu terjadi, kau telah pulang, Bujang. Pulang pada hakikat kehidupan. Pulang, memeluk erat semua kesedihan dan kegembiraan.” Kata Guru Bushi (Hal.388)

Bagi yang suka dengan dwilogi Negeri Para Bedebah dan Negeri di Ujung Tanduk, amat disarankan membaca novel ini. Namun jika anda lebih suka membaca kisah drama yang mengharu biru,  anda akan kecewa. karena sentuhan keharuan dalam novel ini sangat sedikit, hampir tidak berasa di tengah banyaknya ketegangan dan informasi baru mengenai dunia ilegal yang menjadi latar belakang di dalam novel ini.

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun