Satu pekan berlalu, malam-malam ia pulang menyungging senyum. "Eh, Mira mau diajari IPA juga tuh! Rabu--Kamis kamu ke sana ya" kata kakakku. Sebenarnya aku agak curiga, jangan-jangan ini cuma siasat supaya aku mengambil notebook yang menginap di hari Senin--Selasa, sementara kakakku hanya perlu diam menyesap kopi tubruk di bangku bambu teras rumah. Tapi aku segera lupa pada asumsiku itu karena mengajar IPA selalu membuatku terlihat lebih muda (menurutku begitu).
Begitulah kami setelahnya. Senin--Selasa kakakku mengajari Mira menggambar. Rabu--Kamis aku mengajak Mira bermain dengan kedok belajar IPA. Senin--Selasa, Mira menyenggol-nyenggolkan stylus pada layar. Rabu--Kamis, aku terbengong-bengong pada imajinasi seniman tentang sains. Kadang-kadang, aku minta bantuannya untuk membuat ilustrasi buku sainsku yang tak kunjung usai. Oh, aku dan kakakku tidak dapat upah. Kami dapat insentif yang lebih bagus: beras dari padi yang ditumbuk dengan alu.
Begitu jugalah kehidupan yang dijalani notebook kakakku di tangan tiga nyawa: salesman, penulis bodoh, dan kanak-kanak yang akan mengubah masa depan.
Malam itu kakakku tengah setoran kredit. Aku menimang-nimang stylus pen di depan layar notebook. Menurutku, sekarang kemampuannya lebih terpakai dengan baik. Tapi di depanku sendiri, ia juga masih pongah. Aku melotot padanya, bertanya "Oi! Oi! Kau senang sekarang, tidak hanya dipakai menghitung =sum(B55:B63)?"
"Ya, anak kecil itu lumayan. Aku cocok di tangannya. Tapi di tanganmu aku tak banyak berguna. Hmpff!" katanya mencibir. Aku tak terima. Kubalas,"Kau ingat waktu Mira bertanya kenapa kau tak bersuara seperti komputer di sekolahnya kan? Aku menjelaskan dengan baik waktu itu. Rasa-rasanya di tanganku kau juga berguna."
"Ah! Kau hanya comot-comot dari internet lalu mengulangnya pada Mira."
Bebal benar notebook ini, pilirku. "Aku menerjemahkannya tahu! Lalu aku membuatkannya peraga seperti LiquidLoop-mu!"
"Peraga?" kata notebook itu kaget. Aku juga kaget karena sebenarnya peraga yang kumaksud masih belum jadi. Peraga itu adalah selang-selang berisi air yang kulilit pada tepi gelas, lalu kusambung pada pompa akuarium. Konsepku menurutku lumayan mirip aslinya, hanya belum jadi.
"Yah, peraganya memang belum jadi" kataku seperti maling kena jerat. "Em, begini... Kau punya otak i5 yang bagus, ingatan yang luas, layar yang jernih," aku berdehem, "kau bahkan tidak teriak-teriak seperti netbookku yang lama kalau kepanasan."
"Kau tidak berada di tangan yang tak berguna, tahu! Kau punya Mira. Kau punya kakakku yang tak akan putus asa sampai Mira jadi orang hebat. Kau juga punya aku, meskipun tak banyak berguna."
"Kenapa yang terakhir pelan?" tanyanya. "Kau tak percaya pada dirimu sendiri?!" Aku melotot.