Mohon tunggu...
Al Amien El Faroosyah
Al Amien El Faroosyah Mohon Tunggu... -

Asli dari Kediri.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tanondazo, Eisaa Kun!

19 November 2016   17:35 Diperbarui: 19 November 2016   17:43 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di dunia ini ada orang-orang cerdas yang tak mendapatkan pendidikan seperti pada umumnya. Bagaimana mereka bisa menjadi secerdas itu, aku juga tidak sepenuhnya paham. Mereka bukan lahir pada generasi digital sehingga tidak menaruh minat pada internet. Tidak juga pada koran-koran, karena koran yang mereka dapat adalah dari bungkus nasi pecel. Tapi mereka memang bisa calistung: membaca merek pupuk, menulis nama di rapor anak, dan menghitung takaran pakan konsentrat sapi perah. Generasi yang lahir tahun 50-an ini barang kali mewarisi kecerdasan dari pejuang perang. Pikirku begitu. Ambillah contoh, Kakek Bandi.

"Mbah, Sampeyan apa nggak takut ditangkap jaga wana?" Tanya seorang lelaki pada Kakek Bandi. Yang dimaksud dengan ditangkap adalah karena Kakek Bandi ini kadang (sering) mengambil daun-daun pohon sengon di hutan produksi. Terang saja kalau sengon tak punya daun, tak bisa menjulang tinggi. Lelaki yang sedang menunggu itu juga mengira-ngira jawaban dari Kakek Bandi. Pikirnya, jawabannya akan "Ya takut, lah!" atau "Nggak takut, lah! Mereka yang takut."

"Harusnya memang aku ditangkap. Tapi kalau aku bisa nangkap orang-orang model kamu ini, aku nggak jadi ditangkap. Wong kamu juga nggantholi godhong sengon."

Lelaki yang bertanya tadi melongo. Bagaimana tiba-tiba lelaki itu terseret dalam jawaban Kakek Bandi, masih belum masuk ke akalnya. Rasanya seperti melempar joran pancing lalu ikut tercebur diseret ikan. Kakek Bandi meledak hahaha-nya.

Orang-orang macam Kakek Bandi adalah salah satu dari beragam jenis orang yang ditemui kakakku saat menawarkan alat pel dari pintu ke pintu. Kakakku memang lulusan teknik lingkungan, jadi masih berhubungan dengan alat pel. Menurutnya begitu. Aku juga setuju.

Kalau hari sudah petang, kakakku pulang ke rumah kontrakan di sebelah garasi Bus Pelita. Lepas melempar sarung sekembalinya dari masjid, ia bisa di mana saja: warung kopi, terminal, pom bensin, atau angguk-angguk di teras menatap bangku bambu seperti malam ini. Di atas bangku, cangkir kopi tanpa tatakan menemani notebook. Syahdu. Uap meliuk-liuk seperti penari legong hendak lari, takut oleh mata kakakku. Notebook silver itu sunyi tapi menyala, seolah bingung hendak apa

 Otak i5 di dalamnya hendak bertanya balik,"Mau jadi apa aku di tangan salesman alat pel?" Kakakku meraih tas selempang kecil, mengeluarkan kartu-kartu berwarna hijau, membaca, menindis-nindis tombol angka. Kalau saja kakakku dengan sukarela membuka aplikasi task manager bagian performance, angka nol pada processor usage akan menandakan bahwa notebook itu mencibir kakakku dengan jumawa, "Kau gila kalau hanya menyuruh-nyuruh aku dengan rumus =sum(B55:B63)." Kakakku diam. Diterimanya saja cibiran itu dengan terus menindis-nindis lagi tuts angka. Lepas puas, ia beranjak. "Setoran dulu," pamitnya padaku sambil menenteng tas dan kartu-kartu tagihan kredit. Di ruang tamu, aku mengangguk. Netbook 10" di depanku meraung-raung gelisah oleh sebab kipasnya tak mampu mengusir gerah.

***

Sore hari. Hujan sesiang tadi membuat udara agak dingin. Beberapa lembar daun pohon mangga tersebar di halaman. Bunga dan pentil mangga juga rontok sebagian, aku dorong-dorong dengan sapu lidi supaya masuk pengki. Di gerbang rumah, kakakku bertabik salam lalu masuk rumah. Melintasi sampingku, wangi parfum menguar. Sejak menjadi salesman, baunya menjadi wangi (atau karena wangi lantas ia jadi salesman?). Kakakku ke belakang rumah. Mendengar bunyi "ctrek!" kenop kompor, aku menduga akan ada serbuk kopi yang berteriak kepanasan disiram dalam cangkir.

Seperti kemarin, lepas petang kakakku menghadap bangku bambu. Kali ini kopinya sudah tinggal ampas. Agak aneh petang ini, karena kakakku tak pernah bisa duduk lama tanpa kopi. Ia masih manggut-manggut. Notebooknya mengedipkan-ngedipkan kursor. Aku sendiri di ruang tamu bersungut-sungut. Netbookku pingsan kepanasan. Komputer berumur 6 tahun ini mungkin sudah lelah setelah meraung-raung minta ganti. Aku melirik celah jendela, beranjak keluar ke teras. Kakakku melirik pun tidak, saat aku berdiri menghadap pohon mangga. Supaya keganjilan petang ini impas, aku membuka bicara.

"Mau nggambar?" Begitu tanyaku.

"He?" Kakakku menghentikan jari-jarinya yang sejak tadi memilin stylus pen. "Nggak," lanjutnya tertahan. Dicopotnya layar notebook dari dockingnya. Aku melongo melihat layar itu ternyata bisa dipisah dari keyboardnya. Melihat mataku berbinar macam setan melihat surga, diserahkannya layar (atau sekarang jadi tablet?) padaku. Aku menyambutnya dengan dua tangan laksana menerima gulungan titah raja.

"Hmm, tadi siang aku nyales di gunung," katanya. Aku mendengar, tapi hampir lupa untuk menanggapinya. Sebagian otakku masih lengket pada benda canggih berwarna perak abu-abu itu. Kakko ii,edan! kataku dalam hati. "He?" tanggapku gagap,"bukannya dari kemarin memang nyales di gunung?" Kakakku tertawa. Aku curiga tawanya disebabkan tingkahku yang udik. Aku berdehem, berusaha memindah perhatian pada lawan bicara. Tanganku masih menggerayangi barang lebar itu, lalu mataku melirik-liriknya lagi. Kakakku menyerahkan stylus pen. Aku berdehem-dehem lagi.

"Ya sih, memang dari minggu kemarin nyales di gunung. Tapi ini beda, orangnya keren" kata kakakku. Aku mengernyit. Sudah berkali-kali aku mendengar ceritanya saat disambut seperti sanak saudara ketika hendak menawarkan alat pel. Orang-orang gunung memang begitu: mempersilakan duduk, membuatkan kopi atau teh, bercerita, menanggapi dengan meriah, mengajak turut serta makan siang dengan nasi dari padi yang ditumbuk dengan alu (aku pernah mencicipi nasi macam itu dan kalau seumur hidup harus makan nasi itu saja mungkin aku mau). Kalau pun akhirnya mereka tidak membeli alat pel, orang-orang gunung itu tidak membuat-buat alasan aneh untuk menolak. Menurut kakakku, mereka mau kredit atau tidak kakakku tetap akan pulang dengan senang (dan kenyang?). Konon, pernah ia pulang dibekali sesisir pisang. Salesman pulang bawa pisang.

Ketika kakakku melanjutkan pembicaraan itu, aku mendengar bahwa yang berbeda adalah anak perempuan dari orang gunung yang tadi siang didatanginya. Aku menyipitkan mata dengan curiga, jangan-jangan ini berhubungan dengan kisah romantisnya yang sejauh ini masih kandas. Ia menepis mentah-mentah dugaanku, meskipun aku tidak menanyakannya (jangan-jangan sekarang ia juga bisa membaca pikiran orang?). Setelah membantah-bantah, ia melengos begitu saja.

"Setoran" lagi katanya meninggalkan aku di teras rumah. Aku tak peduli karena di tanganku masih kupegang benda yang menarik. Layarnya menyala bening ketika stylus aku senggol-senggolkan. Di bagian docking, kulihat ada lubang oval bergigi logam. Konon itu adalah reversible USB port yang tidak kenal kata terbalik ketika bertemu pasangannya. Aku kembalikan layar pada docking, lalu jari-jariku berlompatan di atas tuts seperti kanak-kanak mendapat kasur baru.

Tiga hari berlalu sejak malam itu. Dengan ogah-ogahan aku menuruti ajakan kakakku untuk menemui orang gunung yang diceritakannya. Kalau saja aku tahu bahwa pulang dari sana akan kehujanan, aku pasti menolaknya mentah-mentah dari awal. Berboncengan sepeda motor, kami menuju ke rumah yang dikelilingi pohon-pohon rindang itu. Sang empunya rumah sedang memetik mangga di halaman. Mempelam gendut-gendut itu sebentar kemudian sudah dihidangkan di depan kami. Rasanya sewangi aromanya. Sambil mengunyah, aku mengelilingkan pandangan. Di bangku luar, samping dinding bata, duduk seorang kanak-kanak perempuan.

Mungkin seusia anak kelas 3 atau 4. Dengan asyik ia memainkan tangan di atas kertas, sesekali menengok ke atas ke depan. Aku tidak memperhatikan betul apa yang dibicarakan kakakku dan pemilik rumah, tahu-tahu mereka beranjak dari duduknya. "Lho? Mau ke mana?" tanyaku. Kakakku menjawab dengan gerakan dagunya saja. Aku mengekor di belakangnya, mendekati bangku kanak-kanak itu. Dari dekat, terlihatlah yang sedang dilakukannya. Ia tengah memindah alam ke atas kertas di tangannya dengan pensil warna.

Aku mengingat-ingat bingkai-bingkai pigura di ruang tamu tadi, lalu melihat perempuan kecil itu lagi. Kakakku mengulas senyum, manggut-manggut kepala sambil berbincang pada si kecil bernama Mira itu. Saat aku memperhatikan bagaimana kakakku melihat kanak-kanak itu menggambar, aku merasa seperti dilempar ke masa lalu: dua orang guru berpakaian abu-abu berdiri tersenyum melihat anak kecil menggores-gores kertas dengan pensil warna di sebuah bangunan kelas bergaya Belanda, di dekat alun-alun kota. Dua orang berdiri itu bernama Tjuk dan Himawan. Satu orang guru seni, satu guru bahasa, tapi keduanya sama-sama punya hidup yang dipenuhi seni rupa. Anak kecil di depan mereka adalah kakakku.

Maka saat itu kakakku tidak hanya sedang melihat anak kecil menggambar. Ia sedang melihat dirinya sendiri, hampir dua puluh tahun silam. Tentu saja, bukan berarti sedang mengenakan rok seperti Mira.

***

Kami pulang seperti kucing persia disiram air: kempis dan berkumis. Aku menggerutu yang terdengar seperti mengeong. Sebaliknya kakakku. Sepertinya ia tak sedikit pun dongkol oleh hujan. Esok harinya ia memasukkan notebook canggihnya ke dalam tas saat berangkat kerja. "Aku pulang malam" katanya. Belakangan aku tahu bahwa ia mengajari Mira menggores-goreskan stylus pen pada layar canggih itu. Seminggu dua kali kakakku pasti pulang jam delapan malam. Senin--Selasa, notebook itu selalu menginap di rumah Mira. Aku semula menganggapnya sudah gila, tapi ia membungkamku dengan "Kalau dilatih tapi nggak dibiarkan terbiasa, Mira nggak akan jadi seniman hebat. Dia menggambar di media fisik bisa, jadi digital juga harus bisa." Aku diam mendengar itu, tapi diam-diam setuju.

Satu pekan berlalu, malam-malam ia pulang menyungging senyum. "Eh, Mira mau diajari IPA juga tuh! Rabu--Kamis kamu ke sana ya" kata kakakku. Sebenarnya aku agak curiga, jangan-jangan ini cuma siasat supaya aku mengambil notebook yang menginap di hari Senin--Selasa, sementara kakakku hanya perlu diam menyesap kopi tubruk di bangku bambu teras rumah. Tapi aku segera lupa pada asumsiku itu karena mengajar IPA selalu membuatku terlihat lebih muda (menurutku begitu).

Begitulah kami setelahnya. Senin--Selasa kakakku mengajari Mira menggambar. Rabu--Kamis aku mengajak Mira bermain dengan kedok belajar IPA. Senin--Selasa, Mira menyenggol-nyenggolkan stylus pada layar. Rabu--Kamis, aku terbengong-bengong pada imajinasi seniman tentang sains. Kadang-kadang, aku minta bantuannya untuk membuat ilustrasi buku sainsku yang tak kunjung usai. Oh, aku dan kakakku tidak dapat upah. Kami dapat insentif yang lebih bagus: beras dari padi yang ditumbuk dengan alu.

Begitu jugalah kehidupan yang dijalani notebook kakakku di tangan tiga nyawa: salesman, penulis bodoh, dan kanak-kanak yang akan mengubah masa depan.

Malam itu kakakku tengah setoran kredit. Aku menimang-nimang stylus pen di depan layar notebook. Menurutku, sekarang kemampuannya lebih terpakai dengan baik. Tapi di depanku sendiri, ia juga masih pongah. Aku melotot padanya, bertanya "Oi! Oi! Kau senang sekarang, tidak hanya dipakai menghitung =sum(B55:B63)?"

"Ya, anak kecil itu lumayan. Aku cocok di tangannya. Tapi di tanganmu aku tak banyak berguna. Hmpff!" katanya mencibir. Aku tak terima. Kubalas,"Kau ingat waktu Mira bertanya kenapa kau tak bersuara seperti komputer di sekolahnya kan? Aku menjelaskan dengan baik waktu itu. Rasa-rasanya di tanganku kau juga berguna."

"Ah! Kau hanya comot-comot dari internet lalu mengulangnya pada Mira."

Bebal benar notebook ini, pilirku. "Aku menerjemahkannya tahu! Lalu aku membuatkannya peraga seperti LiquidLoop-mu!"

"Peraga?" kata notebook itu kaget. Aku juga kaget karena sebenarnya peraga yang kumaksud masih belum jadi. Peraga itu adalah selang-selang berisi air yang kulilit pada tepi gelas, lalu kusambung pada pompa akuarium. Konsepku menurutku lumayan mirip aslinya, hanya belum jadi.

"Yah, peraganya memang belum jadi" kataku seperti maling kena jerat. "Em, begini... Kau punya otak i5 yang bagus, ingatan yang luas, layar yang jernih," aku berdehem, "kau bahkan tidak teriak-teriak seperti netbookku yang lama kalau kepanasan."

"Kau tidak berada di tangan yang tak berguna, tahu! Kau punya Mira. Kau punya kakakku yang tak akan putus asa sampai Mira jadi orang hebat. Kau juga punya aku, meskipun tak banyak berguna."

"Kenapa yang terakhir pelan?" tanyanya. "Kau tak percaya pada dirimu sendiri?!" Aku melotot.

"Diam kau!" bentakku (sepelan mungkin agar aku tak dikira gila karena bicara pada notebook). "Aku cuma bisa hal-hal yang sederhana," aku mengambil stylus pen dari docking, menggenggam, lalu menatap notebook itu.

"Dakara, tanomu yo, Eisaa kun! Boku mo, mirai wo kaemasu! Tetsudai kurenai ka?" kataku. Entah oleh apa, tiba-tiba notebook itu tak lagi mencibir, mengangguk kecil. "Sa! Ganbatte!"

"Kau tak pernah bilang bisa bahasa Jepang" katanya. "Kau tak pernah tanya" kataku. Kami tertawa.

"Tanondazo, Eisaa kun!"

***

Eisaa: Acer. Kun (Jpg): Panggilan untuk anak laki-laki.

Dakara, tanomu yo, Eisaa kun! Boku mo, mirai wo kaeru ga dekiru! Tetsudai kurenai ka?: Karena itu, aku minta padamu, Acer kun! Aku juga bisa mengubah masa depan! Tolong ya?

Tanondazo: Aku berharap banyak padamu.

Sampeyan (Jw): Kamu.

Jaga wana: Polisi hutan.

Nggantholi (Jw): Mengait dengan sabit.

Godhong (Jw): Daun.

Menindis: Menekan.

Manggut-manggut: Angguk-angguk kepala.

Kakko ii (Jpg): Keren, bagus.

Sumber: funblogging.web.id
Sumber: funblogging.web.id

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun