Mohon tunggu...
Al Amien El Faroosyah
Al Amien El Faroosyah Mohon Tunggu... -

Asli dari Kediri.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tanondazo, Eisaa Kun!

19 November 2016   17:35 Diperbarui: 19 November 2016   17:43 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"He?" Kakakku menghentikan jari-jarinya yang sejak tadi memilin stylus pen. "Nggak," lanjutnya tertahan. Dicopotnya layar notebook dari dockingnya. Aku melongo melihat layar itu ternyata bisa dipisah dari keyboardnya. Melihat mataku berbinar macam setan melihat surga, diserahkannya layar (atau sekarang jadi tablet?) padaku. Aku menyambutnya dengan dua tangan laksana menerima gulungan titah raja.

"Hmm, tadi siang aku nyales di gunung," katanya. Aku mendengar, tapi hampir lupa untuk menanggapinya. Sebagian otakku masih lengket pada benda canggih berwarna perak abu-abu itu. Kakko ii,edan! kataku dalam hati. "He?" tanggapku gagap,"bukannya dari kemarin memang nyales di gunung?" Kakakku tertawa. Aku curiga tawanya disebabkan tingkahku yang udik. Aku berdehem, berusaha memindah perhatian pada lawan bicara. Tanganku masih menggerayangi barang lebar itu, lalu mataku melirik-liriknya lagi. Kakakku menyerahkan stylus pen. Aku berdehem-dehem lagi.

"Ya sih, memang dari minggu kemarin nyales di gunung. Tapi ini beda, orangnya keren" kata kakakku. Aku mengernyit. Sudah berkali-kali aku mendengar ceritanya saat disambut seperti sanak saudara ketika hendak menawarkan alat pel. Orang-orang gunung memang begitu: mempersilakan duduk, membuatkan kopi atau teh, bercerita, menanggapi dengan meriah, mengajak turut serta makan siang dengan nasi dari padi yang ditumbuk dengan alu (aku pernah mencicipi nasi macam itu dan kalau seumur hidup harus makan nasi itu saja mungkin aku mau). Kalau pun akhirnya mereka tidak membeli alat pel, orang-orang gunung itu tidak membuat-buat alasan aneh untuk menolak. Menurut kakakku, mereka mau kredit atau tidak kakakku tetap akan pulang dengan senang (dan kenyang?). Konon, pernah ia pulang dibekali sesisir pisang. Salesman pulang bawa pisang.

Ketika kakakku melanjutkan pembicaraan itu, aku mendengar bahwa yang berbeda adalah anak perempuan dari orang gunung yang tadi siang didatanginya. Aku menyipitkan mata dengan curiga, jangan-jangan ini berhubungan dengan kisah romantisnya yang sejauh ini masih kandas. Ia menepis mentah-mentah dugaanku, meskipun aku tidak menanyakannya (jangan-jangan sekarang ia juga bisa membaca pikiran orang?). Setelah membantah-bantah, ia melengos begitu saja.

"Setoran" lagi katanya meninggalkan aku di teras rumah. Aku tak peduli karena di tanganku masih kupegang benda yang menarik. Layarnya menyala bening ketika stylus aku senggol-senggolkan. Di bagian docking, kulihat ada lubang oval bergigi logam. Konon itu adalah reversible USB port yang tidak kenal kata terbalik ketika bertemu pasangannya. Aku kembalikan layar pada docking, lalu jari-jariku berlompatan di atas tuts seperti kanak-kanak mendapat kasur baru.

Tiga hari berlalu sejak malam itu. Dengan ogah-ogahan aku menuruti ajakan kakakku untuk menemui orang gunung yang diceritakannya. Kalau saja aku tahu bahwa pulang dari sana akan kehujanan, aku pasti menolaknya mentah-mentah dari awal. Berboncengan sepeda motor, kami menuju ke rumah yang dikelilingi pohon-pohon rindang itu. Sang empunya rumah sedang memetik mangga di halaman. Mempelam gendut-gendut itu sebentar kemudian sudah dihidangkan di depan kami. Rasanya sewangi aromanya. Sambil mengunyah, aku mengelilingkan pandangan. Di bangku luar, samping dinding bata, duduk seorang kanak-kanak perempuan.

Mungkin seusia anak kelas 3 atau 4. Dengan asyik ia memainkan tangan di atas kertas, sesekali menengok ke atas ke depan. Aku tidak memperhatikan betul apa yang dibicarakan kakakku dan pemilik rumah, tahu-tahu mereka beranjak dari duduknya. "Lho? Mau ke mana?" tanyaku. Kakakku menjawab dengan gerakan dagunya saja. Aku mengekor di belakangnya, mendekati bangku kanak-kanak itu. Dari dekat, terlihatlah yang sedang dilakukannya. Ia tengah memindah alam ke atas kertas di tangannya dengan pensil warna.

Aku mengingat-ingat bingkai-bingkai pigura di ruang tamu tadi, lalu melihat perempuan kecil itu lagi. Kakakku mengulas senyum, manggut-manggut kepala sambil berbincang pada si kecil bernama Mira itu. Saat aku memperhatikan bagaimana kakakku melihat kanak-kanak itu menggambar, aku merasa seperti dilempar ke masa lalu: dua orang guru berpakaian abu-abu berdiri tersenyum melihat anak kecil menggores-gores kertas dengan pensil warna di sebuah bangunan kelas bergaya Belanda, di dekat alun-alun kota. Dua orang berdiri itu bernama Tjuk dan Himawan. Satu orang guru seni, satu guru bahasa, tapi keduanya sama-sama punya hidup yang dipenuhi seni rupa. Anak kecil di depan mereka adalah kakakku.

Maka saat itu kakakku tidak hanya sedang melihat anak kecil menggambar. Ia sedang melihat dirinya sendiri, hampir dua puluh tahun silam. Tentu saja, bukan berarti sedang mengenakan rok seperti Mira.

***

Kami pulang seperti kucing persia disiram air: kempis dan berkumis. Aku menggerutu yang terdengar seperti mengeong. Sebaliknya kakakku. Sepertinya ia tak sedikit pun dongkol oleh hujan. Esok harinya ia memasukkan notebook canggihnya ke dalam tas saat berangkat kerja. "Aku pulang malam" katanya. Belakangan aku tahu bahwa ia mengajari Mira menggores-goreskan stylus pen pada layar canggih itu. Seminggu dua kali kakakku pasti pulang jam delapan malam. Senin--Selasa, notebook itu selalu menginap di rumah Mira. Aku semula menganggapnya sudah gila, tapi ia membungkamku dengan "Kalau dilatih tapi nggak dibiarkan terbiasa, Mira nggak akan jadi seniman hebat. Dia menggambar di media fisik bisa, jadi digital juga harus bisa." Aku diam mendengar itu, tapi diam-diam setuju.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun