Mohon tunggu...
Elhaq2005
Elhaq2005 Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Terus Belajar, berpikir, dan membaca

Pelajar yang berjuang membuang tabiat malasnya

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Nikah Mut'ah dalam Kacamata Imam Madzhab

22 April 2022   12:52 Diperbarui: 22 April 2022   13:02 375
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Kata nikah sudah terikat dengan manusia sejak dahulu kala. Mulai zaman Nabi Adam as hingga anak cucu nanti, praktek nikah akan tetap dilakukan umat manusia. Hal ini tidak dapat dihindari karena menikah merupakan satu-satunya cara untuk meneruskan keturunan. Selain itu, hanya dengan menikahlah seseorang dapat mencurahkan fitrah cintanya dengan halal.

Nikah merupakan sebuah akad yang dilakukan untuk menyatukan dua insan dengan tujuan melaksanakan sunah Rasulullah saw serta melanjutkan keturunan ke generasi berikutnya. Akad nikah ini merupakan ritual sakral yang biasa diselimuti dengan suasana haru dan bahagia. Namun tidak semua pernikahan diselimuti dengan suasana tersebut.

Beberapa diantaranya hanya dilakukan atas dorongan nafsu belaka seperti praktek nikah mut'ah yang sempat dilegalkan pada masa Rasulullah saw. Hingga saat ini, nikah mut'ah masih dilakukan oleh beberapa kalangan. Kalangan yang paling terang-terangan melakukan praktek pernikahan ini adalah kalangan Syi'ah.

Perlu diketahui nikah mut'ah adalah pernikahan yang dikaitkan dengan tempo. Atau lebih lengkapnya pernikah ini juga didefinisikan dengan sebuah pernikahan yang dibatasi oleh waktu dengan bayaran sebuah upah atas istimta' yang telah dilakukan serta dijalankan tanpa adanya wali dan dua saksi.

Sesuai dengan namanya, tujuan dari pernikahan ini memang hanya sekedar untuk mengambil manfaat, kenikmatan, atau kelezatan dari seorang wanita, bukan untuk meneruskan keturunan.  

Penyebab dari kelegalan nikah mut'ah pada zaman Rasulullah saw adalah karena dalam kondisi berperang, jauh dari pelukan istri, dan digunakan untuk meredam hasrat yang kian membrutal sedangkan berpuasa tidak efektif sebab kondisi peperangan itu sendiri.

Mengenai hukum nikah mut'ah ini, para ulama fikih, baik dari kalangan Syafi'iyah, Malikiyah, Hanafiyah, maupun Hanabilah telah sepakat akan keharaman untuk mempraktekkannya dengan alasan mereka masing-masing.
Menurut kalangan Syafi'iyah jelas melarang nikah mut'ah karena praktek nikah ini banyak menyalahi kriteria pernikahan yang sah dalam madzhab mereka. 

Pertama, pernikahan jenis ini dilakukan tanpa adanya wali dan saksi yang mana kedua hal tersebut merupakan rukun dari rukun-rukun nikah. Kedua, dalam nikah mut'ah terdapat pengajuan syarat yang fasid (merusak), yakni pengajuan tempo yang selalu disertakan dalam akad nikah mut'ah. Ketiga, akad yang dipakai dalam nikah tersebut terkadang tidak memakai shigot yang sah, yakni menggunaka lafdz inkah atau tazwij, melainkan lafadz istimta' atau tamattu'.

Dalam madzhab Malilikiyah memang tidak menjadikan saksi sebagai salah satu rukun dari ruku-rukun nikah. Namun wali tetap harus dihadirkan ketika akad. Alasan kedua adalah karena akad dalam nikah mut'ah dikaitkan dengan tempo atau waktu. Hanya saja ada perbedaan pendapat mengenai apakah akad nikah ini rusak tanpa adanya talak setelah melakukan hubungan intim atau setelahnya.

Pendapat mengenai rukun-rukun nikah yang masyhur dalam madzhab Hanafiyah memang mengatakan bahwa rukun-rukun nikah hanya ada dua, yakni ijab dan qobul. 

Namun sebagian ulama dari kalangan mereka mengatakan bahwa saksi harus dihadirkan ketika akad agar dapat menghindari tuduhan zina, bukan untuk melindungi akad ketika ada penginkaran karena perlindungan akad akan tercipta secara otomatis dengan cara menghadirkan saksi. Alasan lain mengenai keharaman nikah mut'ah adalah karena dikaitkan dengan waktu atau tempo.

Sedangkan madzhab Hanabilah mengatakan bahwa nikah mut'ah tidak diperbolehkan karena dalam praktek nikah tersebut tidak berbuhungan dengan hukum-hukum yang berlaku dalam nikah yang sah seperti talak, dzihar, li'an, waris, 'iddah wafat dan meneruskan nasab sehingga nikah tersebut juga tidak berhubungan dengan keabsahan. Selain itu, lagi-lagi alasan dari keharaman nikah model ini adalah karena adanya pengaitan waktu atau tempo.

Dari sekian banyak alasan akan  keharaman nikah mut'ah, sebenarnya para ulama fikih dari empat madzhab tersebut melarang praktek nikah tersebut karena banyaknya hadis-hadis Rasulullah yang melarang praktek nikah mut'ah ini.

Memang, para fuqoha' sempat sepakat mengenai hukum kebolehannya jika ditarik dalam situasi, kondisi, dan zaman di mana Rasulullah pernah memperbolehkannya. Hal ini sudah disinggung dalam Al-Qur'an surah An-Nisa' ayat 24 berikut ini:

{ (24)} [: 24]
"Dan wanita-wanita yang bersuami, kecuali hamba-hamba sahaya yang kamu miliki. Itu sebagai ketetapan Allah atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari istri-istri dengan harta kamu untuk memelihara kesucian, bukan untuk berzina. Maka, istri-istri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka imbalannya sebagai suatu kewajiban; dan tidaklah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang telah kamu saling merelakannya, sesudah menentukan kewajiban itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana."

Penyebab turunnya surah An-Nisa' ayat dua puluh empat itu sendiri menurut hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Abu Daud, Imam at-Tirmizi, dan Imam Nasa'i adalah karena pada saat itu Abu Sa'id al-Khudriy bersama sahabat lain tengah mendatangi para tahanan wanita dari perang 'Authas. Namun mereka kecewa karena ternyata mereka telah bersuami.  

Oleh karena itu mereka bertanya pada Rasulullah dan turunlah ayat tersebut.

Oleh sebab itu, pihak Syi'ah biasa memakai dalil Al-Qur'an tersebut  untuk melakukan pembelaan atas praktek yang kerap mereka lakukan itu. Selain itu, mereka juga menambahkan qoul Ibnu Abbas sebagai penguat pendapat mereka. 

Dengan kata lain mereka menggunakan dua dalil atas praktek nikah mut'ah yang kerap mereka lakukan. Pertama, mereka menggunakan dalil surah An-Nisa' di atas. Dan kedua, mereka menggunakan qoul Ibnu Abbas.
Dalil yang pertama dijelaskan oleh imam as-Syi'ah al-Imamiyah. 

Beliau menyatakan bahwa kasus pernikahan pada surah An-Nisa' ayat dua puluh empat tersebut merupakan nikah mut'ah dan diperbolehkan karena hal tersebut merupakan rukshah (keringanan) pada periode awal Islam. Praktek nikah tersebut diizinkan oleh Rasulullah saw sebab jauhnya para mujtahid dari istri-istri mereka serta khawatir akan terjerumus pada perzinaan..  

Pendapat tersebut ditentang oleh imam ad-Daruquthni dengan meriwayatkan hadis dari Ali bin Abi Thalib:
(: 381)

"Dari Ali ra, bahwa nabi Muhammad saw melarang nikah mut'ah dan daging keledai yang jinak saat tahun khaybar."

Argumen beliau didukung oleh Umar ra dengan menunjukkan banyak hadis tentang keharaman nikah mut'ah hingga hari kiamat. Sedangkan menurut Dr. Wahbah Zuhayli, nikah mut'ah yang diperbolehkan oleh imam as-Syi'ah al-Imamiyah itu memiliki banyak persyaratan yang tidak diterapkan dalam praktek-praktek nikah tersebut di masa kini karena kebanyakan orang yang melaksanakan pernikahan model ini tidak bertujuan untuk menikah. 

Oleh sebab itu, pihak laki-laki tidak memiliki kewajiban untuk memenuhi hal-hal yang wajib sebab wathi selain upah untuk pihak perempuan. Dan pihak perempuan tidak dikenai masa 'iddah.

Mungkin kalangan Syi'ah akan menolak argument seperti ini mentah-mentah dengan alasan dalil yang digunakan untuk menyalahkan mereka hanya sebatas hadis, sedangkan mereka menggunakan dalil Al-Qur'an. Namun perlu diketahui bahwa tidak semua ayat dalam Al-Qur'an bias digunakan sebagai patokan hukum. 

Hal ini lebih disebabkan karena dalam ulum Al-Qur'an, terdapat konsep nasikh dan mansukh. Maksudnya ada sebagian ayat dari ayat-ayat Al-Qur'an yang isinya dihapus oleh ayat lain.

Namun, dalam beberapa kasus ada ayat Al-Qur'an yang dinasikh oleh sebuah hadis, seperti kasus kali ini. Hal ini sama persis seperti surah An-Nur ayat dua yang yang menjelaskan had (hukuman) cambuk bagi orang-orang yang berzina dan dinasikh oleh hadis yang diriwayatkan oleh Ubadah bin Shamit:
(3/ 1316)
(1690) : :

"Ambilah dariku! Ambillah dariku! Sesungguhnya Allah telah menjadikan sebuah jalan bagi mereka. Perjaka dengan perawan (zina ghairu muhshon) dihukum seratus kali cambukan dan diasingkan selama setahun. Sedangkan duda dengan janda (zina muhshon) dihukum seratus kali cambukan dan rajam."

Selain itu, argumen mereka yang didasarkan Al-Qur'an itu sangat tidak konsisten sebab mereka masih menganggap Al-Qur'an yang sekarang atau Al-Qur'an yang dihimpun oleh Utsman bin Affan terjadi banyak pengurangan atau penghapusan. Dengan kata lain seharusnya untuk mendasari argumen di atas,  mereka tidak memakai dalil Al-Qur'an yang mereka anggap banyak kekurangannya.

Dalil kedua yang mereka gunakan adalah mengikuti qoul (pendapat) dari Ibnu 'Abbas. Diceritakan bahwa Ibnu 'Abbas ra memperbolehkan nikah mut'ah dan mendapat banyak dukungan dari sahabat Atha' dan Thawus. 

Mereka memakai hujjah dengan dzahir potongan ayat surah an-Nisa' yang bermakna (Maka, istri-istri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka imbalannya sebagai suatu kewajiban) dengan menarik tiga kesimpulan.

Pertama, dalam redaksi ayat di atas itu menggunakan lafaz istimta' bukan lafaz nikah. Dengan kata lain pembahasan dalam ayat tersebut hanya seputar istimta'.

Kedua, perintah Allah swt untuk memberikan upah menunjukkan kalau akad yang digunakan dalam kasus di atas adalah akad ijarah (sewa) sehingga wajib memberikan upah atas manfaat farji (berhubungan intim).
Ketiga, perintah dari Allah untuk memberi upah setelah beristimta' (berhubungan intim) itu menandakan bahwa ayat tersebut memang benar-benar membicarakan tentang akad ijarah atau mut'ah.

Pemberian upah tersebut tidak dapat dianggap sebagai mahar karena mahar wajib sebab adanya akad nikah dan biasa diberikan di awal sehingga ayat di atas itu mengindikasikan kebolehan melakukan akad mut'ah.

Dalil kedua serta argumen-argumen yang menyertainya itu juga tidak dibenarkan begitu saja. Pasalnya, dalil kedua tersebut bertetangan dengan pendapat dari jumhur ulama' dari kalangan Hanafiyah, Malikiyah, Syafi'iyah, dan Hanabilah. Mereka banyak memakai dalil hadis dari Ali ra, Rabi' bin Sabrah, dan lain-lain.

Mengenai potongan ayat yang bermakna (Maka, istri-istri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka imbalannya sebagai suatu kewajiban), mereka mengatakan bahwa pembahasan dalam ayat tersebut masih berkaitan dengan hubungan pernikahan yang asli (sah) karena pembahasan di awal surah An-Nisa' tersbut masih membahas seputar pernikahan.

Di awal surah, Allah swt telah menyebutkan wanita-wanita yang haram untuk dinikahi (mahram) kemudian memperbolehkan wanita-wanita selain mereka dengan melalui jalur pernikahan yang mana temuat dalam potongan ayat yang bermakna (Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari istri-istri dengan harta kamu). 

Maksud dari menggunakan harta dalam ayat tersebut adalah menggunkan harta untuk melakukan pernikahan (membayar mahar). Adapun penyebutan kewajiban untuk memberikan upah itu sedari awal memang dimaknai sebagai mahar seperti pada Al-Qur'an surah An-Nisa' ayat 25  dan surah Al-Ahzab ayat 50.

Jadi, yang dimaksud dengan istimta' pada potongan ayat yang bermakna (Maka, istri-istri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka imbalannya sebagai suatu kewajiban) adalah istimta' (jima') dalam hubungan pernikahan, bukan akad ijarah atau sewa.

Jikalau pun pihak Syi'ah tetap bersikukuh pada dalil kedua, maka melakukan akad sewa untuk manfaat farji (mut'ah) itu tidak ada bedanya dengan akad yang dilakukan dalam kegiatan prostitusi.
Kenyataan bahwa nikah mut'ah pernah dihalalkan oleh Rasulullah saw memang tidak dapat dibantah.

Namun kita juga tidak boleh keras kepala jika memang sudah terjadi taghayyur al-hukmi pada kasus tersebut hanya demi memuaskan hawa nafsu belaka. 

Kenyataannya, nikah mut'ah pada masa Raulullah saw dilegalkan karena menjadi rukhshah sebab alasan-alasan seperti kondisi berperang dan hal-hal yang telah disebukan sebelumnya. Selain itu banyak hadis-hadis yang berisi keterangan bahwa praktek pernikahan tersebut telah diharamkan untuk selama-lamanya sejak peristiwa Fathu al-Makkah. 

Dengan kata lain, nikah mut'ah pada zaman milenial seperti sekarang tidak boleh dilakukan sebab tiadanya alasan-alasan diperbolehkannya pernikahan tersebut serta banyak riwayat hadis dan pendapat para ulama yang mengharamkan  nikah mut'ah ini

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun