Argumen beliau didukung oleh Umar ra dengan menunjukkan banyak hadis tentang keharaman nikah mut'ah hingga hari kiamat. Sedangkan menurut Dr. Wahbah Zuhayli, nikah mut'ah yang diperbolehkan oleh imam as-Syi'ah al-Imamiyah itu memiliki banyak persyaratan yang tidak diterapkan dalam praktek-praktek nikah tersebut di masa kini karena kebanyakan orang yang melaksanakan pernikahan model ini tidak bertujuan untuk menikah.Â
Oleh sebab itu, pihak laki-laki tidak memiliki kewajiban untuk memenuhi hal-hal yang wajib sebab wathi selain upah untuk pihak perempuan. Dan pihak perempuan tidak dikenai masa 'iddah.
Mungkin kalangan Syi'ah akan menolak argument seperti ini mentah-mentah dengan alasan dalil yang digunakan untuk menyalahkan mereka hanya sebatas hadis, sedangkan mereka menggunakan dalil Al-Qur'an. Namun perlu diketahui bahwa tidak semua ayat dalam Al-Qur'an bias digunakan sebagai patokan hukum.Â
Hal ini lebih disebabkan karena dalam ulum Al-Qur'an, terdapat konsep nasikh dan mansukh. Maksudnya ada sebagian ayat dari ayat-ayat Al-Qur'an yang isinya dihapus oleh ayat lain.
Namun, dalam beberapa kasus ada ayat Al-Qur'an yang dinasikh oleh sebuah hadis, seperti kasus kali ini. Hal ini sama persis seperti surah An-Nur ayat dua yang yang menjelaskan had (hukuman) cambuk bagi orang-orang yang berzina dan dinasikh oleh hadis yang diriwayatkan oleh Ubadah bin Shamit:
(3/ 1316)
(1690) : :
"Ambilah dariku! Ambillah dariku! Sesungguhnya Allah telah menjadikan sebuah jalan bagi mereka. Perjaka dengan perawan (zina ghairu muhshon) dihukum seratus kali cambukan dan diasingkan selama setahun. Sedangkan duda dengan janda (zina muhshon) dihukum seratus kali cambukan dan rajam."
Selain itu, argumen mereka yang didasarkan Al-Qur'an itu sangat tidak konsisten sebab mereka masih menganggap Al-Qur'an yang sekarang atau Al-Qur'an yang dihimpun oleh Utsman bin Affan terjadi banyak pengurangan atau penghapusan. Dengan kata lain seharusnya untuk mendasari argumen di atas, Â mereka tidak memakai dalil Al-Qur'an yang mereka anggap banyak kekurangannya.
Dalil kedua yang mereka gunakan adalah mengikuti qoul (pendapat) dari Ibnu 'Abbas. Diceritakan bahwa Ibnu 'Abbas ra memperbolehkan nikah mut'ah dan mendapat banyak dukungan dari sahabat Atha' dan Thawus.Â
Mereka memakai hujjah dengan dzahir potongan ayat surah an-Nisa' yang bermakna (Maka, istri-istri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka imbalannya sebagai suatu kewajiban) dengan menarik tiga kesimpulan.
Pertama, dalam redaksi ayat di atas itu menggunakan lafaz istimta' bukan lafaz nikah. Dengan kata lain pembahasan dalam ayat tersebut hanya seputar istimta'.
Kedua, perintah Allah swt untuk memberikan upah menunjukkan kalau akad yang digunakan dalam kasus di atas adalah akad ijarah (sewa) sehingga wajib memberikan upah atas manfaat farji (berhubungan intim).
Ketiga, perintah dari Allah untuk memberi upah setelah beristimta' (berhubungan intim) itu menandakan bahwa ayat tersebut memang benar-benar membicarakan tentang akad ijarah atau mut'ah.