Mohon tunggu...
Elhaq2005
Elhaq2005 Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Terus Belajar, berpikir, dan membaca

Pelajar yang berjuang membuang tabiat malasnya

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Nikah Mut'ah dalam Kacamata Imam Madzhab

22 April 2022   12:52 Diperbarui: 22 April 2022   13:02 375
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pemberian upah tersebut tidak dapat dianggap sebagai mahar karena mahar wajib sebab adanya akad nikah dan biasa diberikan di awal sehingga ayat di atas itu mengindikasikan kebolehan melakukan akad mut'ah.

Dalil kedua serta argumen-argumen yang menyertainya itu juga tidak dibenarkan begitu saja. Pasalnya, dalil kedua tersebut bertetangan dengan pendapat dari jumhur ulama' dari kalangan Hanafiyah, Malikiyah, Syafi'iyah, dan Hanabilah. Mereka banyak memakai dalil hadis dari Ali ra, Rabi' bin Sabrah, dan lain-lain.

Mengenai potongan ayat yang bermakna (Maka, istri-istri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka imbalannya sebagai suatu kewajiban), mereka mengatakan bahwa pembahasan dalam ayat tersebut masih berkaitan dengan hubungan pernikahan yang asli (sah) karena pembahasan di awal surah An-Nisa' tersbut masih membahas seputar pernikahan.

Di awal surah, Allah swt telah menyebutkan wanita-wanita yang haram untuk dinikahi (mahram) kemudian memperbolehkan wanita-wanita selain mereka dengan melalui jalur pernikahan yang mana temuat dalam potongan ayat yang bermakna (Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari istri-istri dengan harta kamu). 

Maksud dari menggunakan harta dalam ayat tersebut adalah menggunkan harta untuk melakukan pernikahan (membayar mahar). Adapun penyebutan kewajiban untuk memberikan upah itu sedari awal memang dimaknai sebagai mahar seperti pada Al-Qur'an surah An-Nisa' ayat 25  dan surah Al-Ahzab ayat 50.

Jadi, yang dimaksud dengan istimta' pada potongan ayat yang bermakna (Maka, istri-istri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka imbalannya sebagai suatu kewajiban) adalah istimta' (jima') dalam hubungan pernikahan, bukan akad ijarah atau sewa.

Jikalau pun pihak Syi'ah tetap bersikukuh pada dalil kedua, maka melakukan akad sewa untuk manfaat farji (mut'ah) itu tidak ada bedanya dengan akad yang dilakukan dalam kegiatan prostitusi.
Kenyataan bahwa nikah mut'ah pernah dihalalkan oleh Rasulullah saw memang tidak dapat dibantah.

Namun kita juga tidak boleh keras kepala jika memang sudah terjadi taghayyur al-hukmi pada kasus tersebut hanya demi memuaskan hawa nafsu belaka. 

Kenyataannya, nikah mut'ah pada masa Raulullah saw dilegalkan karena menjadi rukhshah sebab alasan-alasan seperti kondisi berperang dan hal-hal yang telah disebukan sebelumnya. Selain itu banyak hadis-hadis yang berisi keterangan bahwa praktek pernikahan tersebut telah diharamkan untuk selama-lamanya sejak peristiwa Fathu al-Makkah. 

Dengan kata lain, nikah mut'ah pada zaman milenial seperti sekarang tidak boleh dilakukan sebab tiadanya alasan-alasan diperbolehkannya pernikahan tersebut serta banyak riwayat hadis dan pendapat para ulama yang mengharamkan  nikah mut'ah ini

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun