Mohon tunggu...
Muhamad Luthfi Aditya
Muhamad Luthfi Aditya Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Average Political Science Enjoyer

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Proses Pembentukan Undang-Undang di Indonesia: Peran Mahkamah Konstitusi dan Partisipasi Publik

23 Februari 2024   01:53 Diperbarui: 23 Februari 2024   01:56 194
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

5. Persetujuan DPR:

Setelah melalui pembahasan dan perdebatan, DPR kemudian melakukan pemungutan suara untuk menyetujui atau menolak RUU tersebut. Untuk RUU yang memerlukan perubahan konstitusi, perubahan harus disetujui oleh dua pertiga anggota DPR.

6. Persetujuan DPD (Jika Diperlukan):

Untuk RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah atau perubahan batas wilayah, DPD (Dewan Perwakilan Daerah) juga harus memberikan persetujuan atau terlibat.

7. Pengesahan Presiden:

Setelah disetujui oleh DPR dan, jika diperlukan, DPD, RUU tersebut kemudian disampaikan kepada presiden untuk disahkan. Presiden memiliki hak untuk menandatangani RUU menjadi undang-undang atau mengembalikannya kepada DPR untuk revisi.

8. Publikasi dan Implementasi:

Terakhir Setelah disahkan oleh presiden, undang-undang tersebut harus dipublikasikan dan menjadi efektif. Undang-undang tersebut kemudian dapat diterapkan di seluruh Indonesia sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang tersebut.

Peran Mahkamah Konstitusi Dalam Proses Pembentukan Undang Undang

Keberadaan Mahkamah Konstitusi (MK) ke dalam kerangka konstitusional Indonesia berfungsi untuk mengaktualisasikan sistem pemisahan kekuasaan, dengan hadirnya sistem checks and balances. Sistem ini dirancang sedemikian rupa sehingga setiap cabang kekuasaan dapat menjalankan wewenang dan membatasi kekuasaan cabang-cabang kekuasaan lainnya, yang bertujuan untuk mencegah penyelewengan kewenangan oleh badan-badan kekuasaan yang independent. Pada dasarnya proses peninjauan yudisial (judicial review) hanya dapat dilakukan secara efektif di negara yang menjunjung tinggi prinsip-prinsip negara hukum dan bukan dominasi parlemen. Dalam negara yang menganut sistem supremasi parlemen, hasil hukum yang dihasilkan tidak dapat diganggu gugat, karena parlemen merupakan cerminan dari kedaulatan rakyat. Hal ini sejalan dengan prinsip Trias Politica yang dikemukakan oleh Montesquieu, yang menekankan perlunya mencegah pemusatan kekuasaan negara pada satu lembaga atau One handed centered. Dalam Trias Politica juga adanya sistem checks and balances, yang memungkinkan lembaga-lembaga pemerintah atau negara untuk saling mengawasi dan mengoreksi tindakan satu sama lain dalam batas-batas kewenangan yang ditentukan oleh konstitusi.

Judicial review atau peninjauan yudisial sendiri merupakan istilah yang umum digunakan untuk menggambarkan otoritas Mahkamah Konstitusi untuk menilai undang undang terhadap UUD. Ada dua jenis pengujian baik secara teori maupun praktik yaitu yang pertama ada pengujian formil (formale toetsingsrecht) dan pengujian materiil (materiele toetsingsrecht). Setiap undang-undang atau peraturan harus tunduk pada prinsip-prinsip dan ketentuan-ketentuan yang selaras dalam UUD 1945 tanpa ada pertentangan. Undang-undang yang bertentangan dengan UUD 1945 dapat di cancel melalui judicial review atau peninjauan yudisial oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun