Mohon tunggu...
Eko Wurianto
Eko Wurianto Mohon Tunggu... Guru - Si Tukang Ngeteh

Seneng Ngeteh dan Ngobrol Ngalor Ngidul

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Wong Aku Kok

18 Oktober 2023   09:16 Diperbarui: 18 Oktober 2023   09:21 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pos ronda malam ini kedatangan Pak RT Nottoprodjo. Itu memang sudah menjadi komitmennya sejak berkampanye menjelang pemilihan ketua RT 4 tahun yang lalu. Saat itu dia berjanji akan selalu memperhatikan dan memenuhi kebutuhan warganya bahkan sebelum warganya tahu kalau mereka membutuhkan itu. Lha apa ora ampuh!

Dia membawa satu kresek lorek penuh ganyong rebus. Ditawarkannya ganyong itu kepada kami sambil berbicara tentang pentingnya ketahanan dan kedaulatan pangan.

"Kita harus menghentikan ketergantungan pada beras. Lha Indonesia itu nggak kekurangan bahan pangan lho. Ganyong ini salah satunya."

Dia lalu mengambil satu potong ganyong berukuran sedang, mengupas dan menggigitnya.

"Lho, rasanya segar dan ada manis-manisnya. Di saat beras sedang mahal-mahalnya seperti sekarang, kita ya nggak perlu risau wong kita punya ganyong. Sehat dan bergizi."

Suara kress...kress...kress... keluar dari mulutnya yang mengunyah ganyong. Kedengaran begitu nikmat dan nampak mat betul.

"Ora usah nggresula tidak usah mengeluh kalau harga beras naik. Untuk memenuhi kebutuhan karbo kita kan punya ganyong ini, ketela, ubi, jagung, garut, gadhung, kimpul, talas dan gembili."

"Eeee...lha mboten maregi lho Pak RT. Tidak bikin kenyang."

"Itu karena kita itu sudah biasa makan beras. Sebetulnya yo bikin kenyang. Tapi persepsi kita itu sudah terbentuk ratusan tahun bahwa kalau belum makan nasi itu ya sama saja belum makan."

"Sejak ratusan tahun kita itu dipaksa makan beras. Padahal awalnya kita itu mengkonsumsi bahan makanan lokal sesuai musim. Ya itu tadi, ganyong, ketela, ubi, jagung, garut, gadhung, kimpul, talas dan gembili."

"Ya namanya lidah. Awalnya yo mesti nggak enak makan nasi itu. Wong biasa makan bentul. Tapi setelah beratus-ratus tahun yo akhirnya lidah bisa menemukan letak kelezatan nasi itu. Terus akhirnya emoh makan yang lainnya."

"Padahal, kalau kita makan makanan lokal sesuai musim, akan terwujud yang namanya diversifikasi pangan. Keanekaragaman pangan. Ini lebih sehat daripada hanya makan nasi saja."

"Ck..ck..ck..ck... pancen hebat Pak RT ini. Bukan hanya pakar pemerintahan tapi juga pakar sejarah, terus pakar gizi juga. Jatah jegeg."

"Ooo yo jelas, wong aku kok!"

Kami senyam senyum mendengar Pak RT yang sedang membanggakan dirinya sendiri itu.

"Terus apa kira-kira program Pak RT untuk menjaga ketahanan dan kedaulatan pangan ini?"

"Nah, itu sudah saya pikirkan berhari-hari dan akan saya sampaikan pada arisan bapak-bapak dan arisan ibu-ibu pada tanggal 10 bulan depan."

"Apa itu Pak?"

"Saya akan menghimbau para warga untuk menanami lahan pekarangannya yang masih kosong dengan bahan makanan lokal itu. Benihnya, bibitnya, umbi dan steknya Pak RT yang sediakan. Tinggal ambil dan tanam di pekarangan."

"Terus nanti kita akan kampanyekan dan kita galakkan pemanfaatan bahan makanan lokal untuk konsumsi dalam acara-acara keluarga dan RT."

"Maksudnya Pak?"

"Yo nanti semua kegiatan keluarga seperti kondangan, pernikahan, dan macam-macam itu kita himbau agar makanan yang disediakan adalah makanan-makanan lokal itu tadi. Terus acara-acara RT seperti arisan, kegiatan keagamaan, kita upayakan konsumsinya adalah makanan-makanan lokal."

"Panjenengan pancen ngaten."

Kata Ngatimin Dingklik sambil mengacungkan jempol kepada Pak RT Nottoprodjo. Tapi Satemo Dokar juga buru-buru menimpali.

"Mbok sabar Pak RT. Pelan-pelan, jangan buru-buru. Anak-anak kita itu kan sudah terlanjur makan cilok, cireng, cimol dan yang sebangsanya yang gurih-gurih itu to Pak."

"Lha kalau ujug-ujug diganti makanan yang hambar seperti itu saya khawatir malah bubruk. Nggak ada yang makan. Ujung-ujungnya malah buang-buang makanan."

Ngatimin yang sudah terlanjur ngefans sama Pak RT langsung bertanya.

"Jangan-jangan kamu sendiri yang nggak siap makan makanan-makanan lokal Mo?"

"Oooo yo jelas. Lha saya suka banget mi instan lauk telur dadarnya Yu Semimanis lho. Kalau Yu Semi terus jualan pala pendhem karena mie-nya nggak laku lak blaik to Min."

Pak RT yang baru saja menyelesaikan ganyong keduanya terus berkata.

"Ini nggak buru-buru lho Pak Mo. Malah kita harus bergegas segera mempraktikkan mengkonsumsi bahan makanan lokal itu. Ini bukan masalah kita nggak kuat beli beras. Tapi kita harus segera melatih  dan mendidik lidah-lidah anak-anak kita itu agar terbiasa makan makanan lokal yang sehat."

"Wah...wah...wah...Pak RT kita ini lho. Kok yo all round. Apa-apa isa. Serba bisa. Sekarang malah tambah pakar pendidikan lho."

"Ooo lha, yo jelas. Wong aku kok."

Semua orang tertawa kecuali Satemo Dokar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun