Pos ronda malam ini kedatangan Pak RT Nottoprodjo. Itu memang sudah menjadi komitmennya sejak berkampanye menjelang pemilihan ketua RT 4 tahun yang lalu. Saat itu dia berjanji akan selalu memperhatikan dan memenuhi kebutuhan warganya bahkan sebelum warganya tahu kalau mereka membutuhkan itu. Lha apa ora ampuh!
Dia membawa satu kresek lorek penuh ganyong rebus. Ditawarkannya ganyong itu kepada kami sambil berbicara tentang pentingnya ketahanan dan kedaulatan pangan.
"Kita harus menghentikan ketergantungan pada beras. Lha Indonesia itu nggak kekurangan bahan pangan lho. Ganyong ini salah satunya."
Dia lalu mengambil satu potong ganyong berukuran sedang, mengupas dan menggigitnya.
"Lho, rasanya segar dan ada manis-manisnya. Di saat beras sedang mahal-mahalnya seperti sekarang, kita ya nggak perlu risau wong kita punya ganyong. Sehat dan bergizi."
Suara kress...kress...kress... keluar dari mulutnya yang mengunyah ganyong. Kedengaran begitu nikmat dan nampak mat betul.
"Ora usah nggresula tidak usah mengeluh kalau harga beras naik. Untuk memenuhi kebutuhan karbo kita kan punya ganyong ini, ketela, ubi, jagung, garut, gadhung, kimpul, talas dan gembili."
"Eeee...lha mboten maregi lho Pak RT. Tidak bikin kenyang."
"Itu karena kita itu sudah biasa makan beras. Sebetulnya yo bikin kenyang. Tapi persepsi kita itu sudah terbentuk ratusan tahun bahwa kalau belum makan nasi itu ya sama saja belum makan."
"Sejak ratusan tahun kita itu dipaksa makan beras. Padahal awalnya kita itu mengkonsumsi bahan makanan lokal sesuai musim. Ya itu tadi, ganyong, ketela, ubi, jagung, garut, gadhung, kimpul, talas dan gembili."
"Ya namanya lidah. Awalnya yo mesti nggak enak makan nasi itu. Wong biasa makan bentul. Tapi setelah beratus-ratus tahun yo akhirnya lidah bisa menemukan letak kelezatan nasi itu. Terus akhirnya emoh makan yang lainnya."