Mohon tunggu...
Eko Wurianto
Eko Wurianto Mohon Tunggu... Guru - Si Tukang Ngeteh

Seneng Ngeteh dan Ngobrol Ngalor Ngidul

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Desa Telah Menjadi Kota

9 Oktober 2023   21:33 Diperbarui: 9 Oktober 2023   21:49 195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rumah Sastro Carik ramai sekali. Saudara-saudaranya yang dari kota pulang ke desa untuk memperingati 1000 hari meninggalnya ibu mereka. Mereka pulang bersama pasangan dan anak-anak.

Setelah selesai peringatan 1000 hari mendiang ibu mereka, mereka tak langsung pulang. Mungkin sekalian diambil cuti panjang agar bisa berkumpul bersama keluarga besar.

Setiap pagi, kakak adik saudara Sastro Carik itu berjalan-jalan di jalan-jalan kampung saya. Dengan sarungan dan kaosan mereka bertegur sapa dengan teman-teman kecil mereka di kampung. Nampak santai sekali.

Di sore hari, anak-anak mereka yang seumuran SD-SMP ikut-ikutan bermain layangan di pematang sawah bersama dengan anak-anak kampung saya.

Ketahuan kalau mereka tidak pernah bermain layangan sebelumnya. Berkali-kali mereka berusaha menerbangkan layangan itu, tapi tak terbang-terbang juga.

Akhirnya mereka hanya rela duduk-duduk di pematang sawah melihat layangan-layangan anak-anak kampung yang berwarna-warni meliuk-liuk di langit.

Akhirnya setelah semingguan di kampung, Sabtu kemarin saudara-saudara Sastro Carik pulang ke kota. Kebetulan Sabtu pagi itu saya sepedaan keliling kampung. Olahraga kecil-kecilan. Pas saya lewat depan rumah Sastro Carik, pas juga mereka bersiap-siap berangkat ke kota.

"Nyuwun pamit Pak Estu."

"Lho, kok kesesa kondur. Kok buru-buru pulang to Mas Luhung?"

"Buru-buru gimana to Pak? Sudah seminggu lho di sini. Yah sebetulnya kados wegah-wegaho pulang ke kota Pak. Kalau dituruti, malas pulang ke kota. Tapi gimana lagi, penghidupannya terlanjur di kota Pak."

"Yah, memang berat mas meninggalkan kampung halaman. Tapi kan masih bisa pulang kapan saja to mas?"

"Ha nggih Pak Estu. Nuwun sewu, dalem pareng rumiyin. Kalepatanipun."

Saudara-saudara Sastro Carik itu satu persatu menyalami saya. Saya ikut nguntapake keberangkatan mereka hingga mobil-mobil mereka hilang di tikungan.

"Pinarak riyin Pak Estu."

Sastro Carik menawari saya untuk singgah sebentar di rumahnya untuk sekedar minum teh. Saya mengiyakan tawaran itu. Wong saya juga sudah kemringet setelah mengitari kampung beberapa kali. Mungkin pagi ini sudah cukup sepedaannya. Waktunya istirahat sambil ngobrol dan ngeteh pagi.

"Saudara-saudara Pak Sastro ini berhasil semua ya di kota."

"Alhamdulillah Pak. Berkat kerja keras Bapak, ibu dan bantuan orang banyak, akhirnya kami ini bisa hidup layak."

"Kalau saya lihat-lihat, saudara-saudara njenengan itu bukan hanya hidup layak Pak. Pasti hidup mewah di kota itu."

"Waduh Pak Estu, itu lak menurut njenengan to? Njenengan tidak tahu to mereka itu sambatnya ngaru napung. Berkeluh kesah tentang kehidupan mereka di kota."

"Lho...lho...lho. Wong berpenghasilan lebih dari cukup, apa-apa ada dan punya, kok masih berkeluh kesah, piye to?"

"Bukan perkara penghasilan Pak Estu. Kalau masalah itu tentu mereka lebih makmur daripada saya yang di sini. Masalah itu lho yang sekarang lagi ramai di TV. Polusi udaranya itu lho."

"Oalah...."

"Nggih kok. Mau ambegan saja sudah repot kalau di kota. Napas jadi sesak. Mau berangkat ngantor macet. Pulang ngantor macet. Waktu habis di jalan."

"Weladalah..."

 "Belum lagi masalah-masalah lain. Katanya cari sekolah anak juga sudah mulai susah di kota."

"Lha iki nganeh-nganehi. Kota kok kekurangan sekolah."

"Nggak kekurangan sekolah Pak Estu. Tapi duka lah. Kemarin mereka itu cerita panjang lebar. Isinya keluhan semua. Jadi susah nangkep maksud mereka."

"Oooo..."

"Luhung tadi lak juga berkeluh kesah pada Pak Estu to?"

"Yang mana lho? Nggak kok."

"Tadi kan Luhung bilang kayak malas gitu pulang ke kota. Tapi terpaksa karena penghidupan mereka di kota."

"Oh iya. Bener."

"Bahkan ada salah seorang keponakan saya itu yang merengek-rengek ke orang tuanya agar tidak pulang ke kota. Pindah saja ke desa menjadi petani katanya."

"Alaahh, keinginan sesaat anak-anak itu."

Cericit segerombolan burung emprit hinggap di pohon mangga depan rumah Sastro Carik. Tak lama gerombolan berisi ratusan burung itu terbang bersama-sama ke arah selatan.

Di selatan sana ada sawah yang padinya sudah mulai menguning. Burung-burung itu pasti mau mengais rezeki ke sawah. Berlomba dengan helaan petani.

Kok kemudian saya sadar. Orang kota mana bisa menikmati cericit burung emprit? Ini adalah kemewahan yang hanya dinikmati orang desa.

Orang desa mungkin ingin menikmati dinginnya Mall. Tapi sebaliknya, orang kota sudah bosan dengan Mall. Mereka malah rindu ingin jalan-jalan di pematang sawah.

Hadeh cilaka kalau orang-orang kota itu bosan hidup di kota dan berbondong-bondong pindah ke desa. Harga tanah pasti akan tambah mahal. Sawah-sawah pasti akan ditumbuhi rumah-rumah. Naga-naganya, desa akan kehilangan ciri khasnya.

Ujug-ujug saya merasa takut. Buru-buru saya pamitan ke Sastro Carik dan memutuskan kembali sepedaan menyusuri pematang sawah yang lebar sebelum desa berubah menjadi kota.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun