"Coba lihat KTPmu, Min."
Ngatimin Dingklik mengeluarkan KTPnya dari dompet lalu menyerahkannya kepada Sastro Carik. Sastro Carik mengamati KTP itu beberapa saat, lalu menunjukkannya pada orang-orang.
"Coba lihat tanda tangan Ngatimin ini. Ini tanda tangan sejuta umat. Sudah jelas namanya Ngatimin Dingklik, tapi huruf pertama tanda tangannya seperti huruf J. Banyak orang yang tanda tangannya seperti ini."
"Welah, betul...betul. Bahkan saya pernah lihat orang yang Namanya Dewi Misyu Nivers, tapi tanda tangannya ya seperti huruf J itu tadi terus di bagian lingkaran J di bawah itu dikasih inisial D. Ha..ha..ha..."
Kami tertawa bersama-sama lagi. Ngatimin Dingklik mencoba membela diri.
"Ya zaman dulu kan pergaulan terbatas to, Mo. Saya lihat Bapak saya tanda tangannya diawali huruf J, Pak Lik saya juga begitu. Ya sudah saya ikutan juga."
Saya yang sedari tadi hanya ikut tertawa-tawa akhirnya tergoda untuk ikut buka suara.
"Gini lho ya. Dulu perbedaan itu tabu. Atas nama stabilitas, semua-muanya harus sama. Harus seragam."
"Nopo nggih to Pak Estu?"
"Perbedaan itu nggak boleh karena akan mengganggu keharmonisan. Ajaran ini terus disampaikan di mana-mana. Awalnya orang takut untuk berbeda. Lama-lama ajaran ini menempel di otak bawah sadar manusia."
"Dan akhirnya diterima begitu saja?"