Mohon tunggu...
Eko Wurianto
Eko Wurianto Mohon Tunggu... Guru - Si Tukang Ngeteh

Seneng Ngeteh dan Ngobrol Ngalor Ngidul

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Mengapa Anak Zaman Dulu Suka Menggambar Pemandangan Gunung Kembar?

3 Oktober 2023   21:08 Diperbarui: 8 Oktober 2023   22:15 1168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar Pemandangan yang Legendaris oleh Eko Wurianto/Dok Pribadi

Entah kena angin apa, tiba-tiba saja Satemo Dokar melontarkan pertanyaan yang nganeh-nganehi ini di pos ronda:

"Min, kamu pernah memperhatikan nggak apa yang digambar anakmu yang masih sekolah di SD itu?"

"Yo selalu lah. Memang kenapa?"

"Pernah nggak anakmu menggambar pemandangan seperti yang kita gambar waktu SD dulu. Gambar pemandangan dua gunung, lalu di tengahnya ada matahari terbit, terus di depan gunung itu ada sawah."

"Terus di atas gunungnya ada burung-burung yang terbang."

Kami semua tertawa mengenangkan masa-masa SD dulu. Zaman itu, kalau ditugasi menggambar oleh guru, rata-rata kami satu kelas akan menggambar gambar yang sama. Ya pemandangan gunung kembar itu  tadi.

"Yo nggak lah, Kok kaya anak produk 70an saja lho. Gambar anakku sekarang werna-werna. Ada gambar penyanyi korea lagi konser. Ada gambar kucingnya yang lagi nonton TV. Bahkan ia pernah menggambar calon anggota DPR yang bannernya bertebaran di pinggir-pinggir jalan."

"Wah...wah...wah... Anak zaman sekarang. Kok zaman dulu kita tidak kepikiran untuk menggambar yang aneh-aneh ya?"

Iya, ya. Kenapa kok kita nggak pernah memikirkan kenapa kita dulu menggambar pemandangan yang serupa ya? Di mana-mana anak SD saat itu gambar pemandangannya pasti yang itu-itu juga.

"Kalian jangan menganggap hanya gambar anak-anak itu saja yang sama. Pada orang dewasa, banyak juga yang sama di mana-mana."

"Apa lho, Pak Sastro?"

"Coba lihat KTPmu, Min."

Ngatimin Dingklik mengeluarkan KTPnya dari dompet lalu menyerahkannya kepada Sastro Carik. Sastro Carik mengamati KTP itu beberapa saat, lalu menunjukkannya pada orang-orang.

"Coba lihat tanda tangan Ngatimin ini. Ini tanda tangan sejuta umat. Sudah jelas namanya Ngatimin Dingklik, tapi huruf pertama tanda tangannya seperti huruf J. Banyak orang yang tanda tangannya seperti ini."

Tanda Tangan Sejuta Umat oleh Eko Wurianto/Dok Pribadi
Tanda Tangan Sejuta Umat oleh Eko Wurianto/Dok Pribadi
"Welah, betul...betul. Bahkan saya pernah lihat orang yang Namanya Dewi Misyu Nivers, tapi tanda tangannya ya seperti huruf J itu tadi terus di bagian lingkaran J di bawah itu dikasih inisial D. Ha..ha..ha..."

Kami tertawa bersama-sama lagi. Ngatimin Dingklik mencoba membela diri.

"Ya zaman dulu kan pergaulan terbatas to, Mo. Saya lihat Bapak saya tanda tangannya diawali huruf J, Pak Lik saya juga begitu. Ya sudah saya ikutan juga."

Saya yang sedari tadi hanya ikut tertawa-tawa akhirnya tergoda untuk ikut buka suara.

"Gini lho ya. Dulu perbedaan itu tabu. Atas nama stabilitas, semua-muanya harus sama. Harus seragam."

"Nopo nggih to Pak Estu?"

"Perbedaan itu nggak boleh karena akan mengganggu keharmonisan. Ajaran ini terus disampaikan di mana-mana. Awalnya orang takut untuk berbeda. Lama-lama ajaran ini menempel di otak bawah sadar manusia."

"Dan akhirnya diterima begitu saja?"

"Ya otomatis. Orang akhirnya menganggap berbeda itu tidak baik. Bahkan dosa. Orang nggak bisa kritis lagi. Segala yang dari atas itu sudah pasti baik dan benar. Segala sesuatu yang berbeda dengan yang dari atas itu tadi sudah pasti salah."

Saya mengatakan kata "atas" dengan menggerak-gerakkan kedua telunjuk saya di depan muka.

"Pas njenengan bilang kata atas tadi kok sambil nekuk-nekuk jari telunjuk to Pak? Apa maksudnya?"

"Maksud saya kata atas tadi bermakna khusus, Min."

"Alah Miiin. Ngono wae kok ora ngerti. Gitu saja nggak tahu."

Beberapa saat terjadi saur manuk antara Ngatimin dan Satemo. Setelah mereka berhenti, saya melanjutkan lagi.

"Karena orang sudah tidak mau lagi berbeda dengan orang lain, akhirnya mulai dari anak-anak sampai orang dewasa hanya mengulang-ulang apa yang sudah mereka lihat. Pemandangan atau tanda tangan itu cuma beberapa contoh saja."

"Membeo atau kalau kata orang Jawa ngalen. Ikut kemana saja air mengalir."

"Syukurlah sekarang sudah mulai ada tanda-tanda orang tidak lagi suka cuma ikut-ikutan ya? Sudah berani berbeda. Sedikit-sedikit mulai belajar kritis. Contohnya ya anakmu itu tadi Min. Sudah menggambar orang Korea segala."

"Eh, belum semua lho Pak Estu. Saya kemarin lihat foto-foto yang dishare ibu-ibu di grup RT."

"Foto yang mana?"

Pose Foto Bersama yang Lagi Disukai, Nunjuk ke Arah yang Sama oleh Eko Wurianto/Dok Pribadi
Pose Foto Bersama yang Lagi Disukai, Nunjuk ke Arah yang Sama oleh Eko Wurianto/Dok Pribadi
"Itu lho, foto pas ibu-ibu Dasawisma dolan-dolan ke Pantai. Salah satu fotonya itu kan ada pose pas ibu-ibu itu sama-sama nunjuk ke kanan. Saya tertawa lho lihat foto itu. kuwi kabeh kok nduding nengen ki, ndudingi apa sakjane. Terus biasanya orang menunjuk ke sesuatu itu kan tujuannya mau memberi tahu sesuatu kepada orang lain. Lha kalau semua orang menunjuk ke satu arah, lha sing arep didudohi kuwi po nini among kaki amonge?"

Kami tertawa terpingkal-pingkal sampai lemas mendengar perkataan Ngatimin Dingklik itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun