".........." Ia semakin basah dengan air mata, semakin dalam sesenggukan. Ingin sekali aku mengusap air mata itu. Tapi apa dayaku, aku hanya bisa memandangnya. Wajahnya selalu indah untuk dipandang (bagi ku).
"Aku berjalan turun dan segera meninggalkan gedung. Aku tak kuasa menahan takut dan bingung, serta trauma... melihat Farani tergeletak dan berlumur darah...."
"Aku ga tahu do... harus berbuat apa, aku takut.... benar-benar takut... aku malah meninggalkanya..." Ia menarik tanganku, menggenggamnya dan berusaha meyakinkan. Meraih tanganku dan memeluk dalam dekapannya. Andai saja, momen ini bukan dalam keadaan seperti ini. Pasti sudah kekecup kening jilbabnya, dan membisikkan 'Nimma, Yudo akan selalu di sini untuk Nimma'.
"Paginya, aku mendengar kejadian itu, tanpa ada orang yang tahu apa yang sebenarnya terjadi..."
Setelah beberapa percakapan kecil penutup pertemuan kami, ia berkata lirih padaku, minggu depan ia akan pindah ke kota Padang ikut dengan ayahnya yang bekerja di sana. Ia takut berada di sini, masih trauma. Kemudian, samar-samar ia berbisik, sebelum pergi ia ingin bertemu denganku sabtu malamnya, di gedung itu. Di atap tertinggi, lantai paling atas. Sepertinya Nimma mengerti bahasa mataku yang memandangnya dengan agak melotot heran. Bertanya, 'kenapa harus disitu? Tidak adakah tempat yang lebih seram lagi?' Ia menjawab pula dengan tatapan matanya 'aku hanya ingin memberanikan diri di tempat itu untuk terakhir kalinya, juga meminta maaf mungkin Farani mendengarku.
***********************
Hari ini, Sabtu tanggal 17 Januari 2004. Setahun yang lalu adalah hari sabtu tanggal 18 Januari 2003. Malam itu, tepat malam itu, gadis itu meninggal jatuh dari ketinggian gedung. Sama seperti hari ini, ketika ia gadis yang mengisi sebagian hatiku (meskipun ia tak pernah tahu), berdiri di tepi paling atas atap gedung kampus ini. Kehilangan kertas yang mungkin sangat berharga dalam hidupnya. Ia ingin mengucapkan kata selamat tinggal. Dan semoga tidak untuk selamanya.
***********************
Ternyata satu hari bukan waktu yang cukup untuk mengembalikan kertas itu, aku telah berbohong. Memang seperti inilah aku, selalu menganggap hal-hal dengan mudah dan sederhana untuk diselesaikan. Tapi, setidaknya sebelum ia pergi ke kota lain, aku berjanji akan mengembalikan kertas itu. Hampir satu minggu aku mencoba semua manipulasi dan rekayasa untuk mengembalikan kertas itu. Dari mulai mencari bahan baku kertas pengganti yang sesuai, hingga mengeringkan kertas Nimma yang basah dengan alat microwave oven yang ada di lab. Meskipun begitu, hasilnya masih berupa tulisan kusut tak jelas, kertas kumal, dan bentuknya yang amat buruk. Tapi itu sudah lebih dari cukup membantu. Aku mampu menyalinnya di kertas yang lebih baik dengan caraku.
Hal yang paling sulit adalah mengidentifikasi salinan sidik jari itu. Aku sampai harus berfikir selama dua hari penuh seperti orang kesurupan mencari konsep ini 'x-ray scanner'. Dengan bantuan sinar x yang biasa digunakan untuk memeriksa pasien kanker otak, tulang retak, atau apalah, yang kata mereka bilang mesin rontgen, akan dengan mudah mendapatkan bentuk salinan sidik jari itu meskipun gambar yang dihasilkan berupa gambar grayscale (gambar hitam putih seperti pada klise foto). Itu sudah cukup. Izin menggunakan alat ini di lab kedokteran adalah hal yang paling sulit dari yang lain.
Ya, aku sudah sedikit menyelamatkan kertas ini. Tapi ini masih jauh dari selesai, aku harus menyalinnya dalam kertas yang lebih baik lagi, dengan bentuk yang sama dan serupa dengan kertas Nimma. Urusan ini harus diselesaikan. Kertas itu harus dikembalikan. Karena dengan terungkapnya kasus kematian Farani, mungkin akan membuat Nimma tersenyum kembali seperti sediakala. Melepaskan Nimma dari rasa bersalah yang selama ini membelenggunya.