"Kaca depan rumah pecah dan pagar halaman rumahnya rusak Rek" sambung Agus dengan aksen Timor Timur-nya yang medok.
"Makin menjadi-jadi aja rezim ini." putus Elba.
 "Oke, segera selesaikan tugas kita agar aksi solidaritas pada mereka segera di dengar masyarakat internasional. Habis ini aku keluar dulu ya mau ambil surat dari tempatku bekerja" lanjut Elba hendak sekalian pamit.
"Oke fren..." jawab mereka serentak.
"Pastikan gelar aksi dan pentas drama teater tidak mundur dari jadwal tanggal 25 Mei 1996" tegas Elba pada teman-teman seperjuangannya.
"Siap kamerad." Jawab serentak kawan dengan idiom khas aktivis muda yang sedang mencari jatidiri.
Singkat cerita aksi itu pun sukses digelar dan mendapat liputan media daerah dan nasional. Beberapa dosen asing yang mengajar di Salatiga juga mendokumentasikan aksi itu yang barangkali menjadi bahan karya jurnalistiknya yang akan dimuat di jurnal-jurnal internasional.
Banyaknya aktivitas Elba mebuat dirinya tidak terlalu perhatian pada urusan pribadinya. Pekerjaan pokoknya di satu perusahaan nasional, kuliahnya yang telat, aktivismenya di pergerakan menghabiskan waktunya dan penyaluran kecintaannya pada menulis esai dan artikel untuk dimuat di media massa.
Kalau sudah menemui kelelahan Elba biasanya berkunjung ke teman-teman lamanya kala bersama-sama nyantri di salah satu pondok pesantren salaf di wilayah Sleman Yogyakarta.Â
Nama pesantrennya Al Falahiyah berlokasi di dusun Mlangi. Dari situ ia seakan menemukan dunia baru yang untuk beberapa waktu hilang. Suasana disitu sanggup menyembuhkan luka di sekujur tubuh dan meluruhkan duka lara di dinding hatinya.