Pilihan cara damai oleh para wali dalam menyiarkan agama islam sebenarnya sangat tepat karena dengan cara itu bangunan tradisi dan budaya serta struktur soiologis masyarakat asli tetap terawat dengan baik. Bahwa kemudian terjadi clash lebih banyak disebabkan oleh faktor politik.
Proses islamisasi Jawa memang terus berjalan dan berkembang secara gradual dan tampak indah pada era itu. Sesekali memang terinterupsi oleh hasrat kekuasaan segolongan wali yang kasat mata dengan membidani lahirnya kesultanan Demak Bintoro yang bercorak formalistik.Â
Tetapi tak lama kemudian islamisasi tanah Jawa kembali ke jalur kultural setelah jatuhnya tahta Demak ke tangan Hadiwijaya dan memindahkannya ke Pajang yang bercorak islam kejawen.Â
Kemudian jalur kultural semakin kencang dengan tersingkirnya Hadiwijaya (Jaka Tingkir) dari istana Pajang oleh serbuan Panembahan Senopati yang kemudian mendirikan kesultanan Mataram Islam.
Terusir dari pusat kekuasaan Jaka Tingkir memilih menjadi pelayan umat di pantai utara Jawa mengembangkan dakwah kultural sebagai pengimbang kebijakan agama sarat muatan politik kraton. Dari situ Jaka Tingkir mengukuhkan dirinya sebagai ronggak kedua islam kultural setelah wali sanga (wali sembilan).
 Eksistensi islam kultural yang damai terus mengalami perkembangan luas dan mengakar pada tumbuhnya jaringan pesantren-pesantren besar Jawa yang di bagian timur hampir semua didirikan oleh anak turun Hadiwijaya yang juga mempunyai nama lain Sayid Abdurahman. Sampai berbilang abad dasar-dasar islam kultural tetap terpelihara melalui jaringan ulama pesantren hingga menemui kemapanannya sendiri (status quo).
Eksklusivitas kemudian terjadi lalu membentuk golongan santri (putihan) yang meninggalkan golongan besar masyarakat luas yang secara nominal memeluk agama islam. Tetapi golongan terakhir ini tertinggal mengikuti  graduasi pelaksanaan peribadatan cara pesantren.Â
Perbedaan ini tentu saja juga mempengaruhi cara pandangnya di banyak aspek sehingga memenuhi syarat terbentuknya golongan tersendiri. Ketegangan pun acapkali terjadi di sepanjang sejarah sosial pada era itu.
Sampai pada suatu masa lahir dan besar sosok pendamai Mbah Wali Kyai Soleh Darat. Melalui berbagai inovasi pemikiran di bidang dakwah yang keluar dari pakem tradisi pesantren salaf termasuk keputusannya menulis terjemahan kitab suci al-quran atas permintaan RA Kartini.Â
Tentu saja dengan bahasa Jawa. Inklusivitas pemikiran teologisnya juga kentara pada kutipan di buku Islam Doktrin dan Peradaban karya Dr. Nurcholis Madjid yang tahun 1992 terbitan Yayasan Wakaf Paramadina.
Setelah itu seolah menjadi takdirnya untuk memenuhi panggilan tugas menulis ulang aneka ragam kitab klasik dengan bahasa Jawa. Keputusan besar ini selain keberhasilan lainnya dalam mendidik santri-santrinya yang banyak menjadi ulama besar di tanah Jawa mengantarkannya pada posisi tonggak ketiga islam kultural yang oleh para ulama kontemporer di sebut Islam Nusantara.