Pilihan itu tergolong terobosan taktis dan bermakna strategis untuk hasil dakwah jangka panjang. Harap diketahui bahwa para kyai dan ulama produk pendidikan pesantren menjadi kelompok elit minoritas berpengaruh dengan spesialisasi dalam pemahaman agama dan ketinggiannya dalam akhlak (budi pekerti) serta dianggap mempunyai kelebihan dalam aspek batiniyah.
Pemahaman agama dan tuntutan akhlak mereka diperoleh dengan mengambil referensi kitab-kitab klasik produk para ulama salaf dari Timur Tengah. Untuk dapat mengakses secara sempurna kandungan ilmunya tentu memerlukan proses penguasaan kaidah gramatika bahasa Arab melalui ilmu nahwu dan sorof.Â
Setidaknya para santri yang ingin mumtaz pendidikan dasarnya harus hafal dan paham kitab juru miyah - tasrif kemudian imritiy beserta kitab-kitab pendukungnya. Lalu yang paling fenomenal hafal 1000 bait kitab alfiyah. Setelah itu baru mengikuti kajian puluhan hingga ratusan kitab fiqih, aqidah, akhlaq, tasawuf dan lain-lain.
Melihat tahapan yan begitu berat tidak semua santri pondok pesantren bisa melewati tahapan proses dengan baik. Sehingga kehadiran kitab-kitab klasik berbahasa lokal menjadi penting. Kedalaman dan keluasan pemahaman agama tak akan tersebar luas tanpa perantara referensi bermutu dengan bahasa setempat.
Peran Penting Kyai Soleh Darat
Berbekal pengetahuan yang dalam serta pengalaman yang luas memudahkannya untuk mendakwahkan kepada masyarakat umum. Boleh jadi meratanya praktik peribadatan ala pesantren di wilayah Jawa bagian tengah dan timur saat ini berkat beredarnya kitab-kitab karya Kyai Soleh Darat melalui perantara para kyai kampung.
Kehadiran risalah dan naskah tulisan tangan Kyai Soleh Darat sampai batas tertentu telah turut mendamaikan perselisihan klasik antar kelompok yang dipicu perbedaan intensitas pelaksanaan ketaatan formal. Konflik laten itu sendiri sebenarnya berakar panjang dalam sejarah yang terkait banyak aspek meliputi seting politik, kepentingan ekonomi dan terutama pengelompokan sosiologis.Â
Jika dirunut dari sejarah masa lalu eksistensi golongan besar masyarakat asli yang sudah mapan dengan fondasi sistem kepercayaan lama mulai terusik kehadiran para tokoh penyiar agama baru di penghujung kekuasaan imperium Majapahit.Â
Diliputi rasa bangga dengan kontruksi peradaban besar dan budaya adiluhung yang ditopang ajaran keimanan pribumi melahirkan resistensi besar yang diakibatkan oleh berhasil masuknya beberapa aktor kunci penyebar agama baru (orang islam menyebutnya: para wali) ke dalam lingkungan istana raja.
Letupan-letupan skala kecil maupun besar secara sporadis tentu terjadi walaupun tercatat dalam sejarah dakwah yang dilakukan oleh para penyiar agama islam dilakukan secara damai.Â