Sejurus Arus, Tak Turut Hanyut
Bagi orang yang pernah mengalami kejadian hampir mati seperti saya, kehidupan justru menjadi bermakna. Keselamatan seolah menjadi hal utama yang diaminkan kepada Gusti Yang Maha Penjamin Aman, sehingga eling dan waspada tak lain jadi rumus pasti menanti antrian mati.
Alkisah, beginilah...
Saya pernah hampir mati beberapa kali. Kejadian itu tak hanya saya alami di jalanan tetapi juga saat mencari ikan. Kejadian itu terjadi kalau tak salah ketika saya masih kelas lima Sekolah Dasar.
Saat itu hari libur. Orang-orang kampung saya, tua-muda, laki-laki atau perempuan, emak-bapak atau anak-anak ramai betul mencebur ke kali Kulon (Barat) atau anak sungai Bengawan Solo. Ada yang memakai serok ikan atau sekadar gogo menggunakan kedua tangannya. Bocah-bocah seumuran saya biasanya mencari di pinggiran saja atau kalau nekat menengah ke yang lebih dalam musti mendekapi gedebog pisang yang ditebangi orang-orang. Pagi itu, jarang-jarang waktu senggang orang-orang hanyut dalam riuh pladu.
Semakin sepenggalah matahari justru semakin banyak orang yang datang. Teriakan-teriakan girang karena membawa pulang banyak ikan itulah yang mengundang orang lain yang tak tahu datang. Ikan putihan, wader bahkan patin lah yang memenuhi keramba maupun ember.
Saya dengan Kang Rizal ialah pendatang yang termasuk agak kesiangan. Setelah mengantongi izin dari orang tua kami, buru-buru kami pacu sepeda ke tangkis atau tanggul batas sawah, turun ke sawah melalui galengan dan menuruni perengan mencebur ke kali. Mula-mula kami cari saja ikan-ikan yang teler di pinggiran sesuai pesan orang tua kami maupun orang-orang tua yang di kali itu. Pesan mereka kepada kami tak jarang mereka imbuhi cerita magis seperti "Hati-hati jangan terlalu ke tengah nanti digondhol bajul putih atau buaya putih", atau "Pladu yang buat ikan-ikan yang teler ini karena ada siluman pada hajatan wewayanagan", dan lain sebagainya.
Mereka berhasil membuat kami takut. Toh bukankah memang lazim, penakut selalu menjadi orang-orang yang terpinggir dan tersingkir? Jadilah kami di pinggir dan hanya mendapat ikan wader dan putihan kecil-kecil.Â
Bosan mencari ikan di pinggir kami juga main gethe-gethekan dari gedebog pisang. Tentu gethek tak bisa dilakukan di pinggiran kali yang cethek atau dangkal. Kami menengah. Mitos bajul putih tersapih begitu saja.
Kami juga menyisir pinggir hingga daerah grojogan Kali Kulon. Di daerah air terjun buatan yang memisahkan daerah dalam dan dangkal inilah para pencari ikan lebih ramai dari daerah pinggir hilir. Ikan di sini juga lebih banyak didapat dan besar-besar.
Dan begitulah singkat cerita, di tepian grojogan itu saya sambil merangkul gedebog dengan lengan kiri dan siruk di tangan kanan mencoba mengambil ikan yang agak besar. Kaki saya masih menapak pada batu di pinggiran grojogan itu. Namun, saya rasai begitu saja batu di bawah kaki mengglinding begitu saja ambles ke semacam palung grojogan itu. Saya tersedot. Buru-buru saya buang saja serok dan lebih kuat mendekapi gedebog dengan kedua tangan.Â
Sialnya, gedebog justru kelelep. Barangkali memang karena saya panik atau memang berat masa tubuh saya dengan daya apung gedebog yang timpang saya juga membuang gedebog itu! Saya tenggelam.Â
Saya cuma berpikir antara mati dan hidup karena memang tak pandai renang. Saya renang sebisanya. Air berkecipak. Tapi entahlah saya masih selamat. Saya bisa menepi berpegang batu kali. Kawan-kawan kami berlarian. Sialnya mereka justru ketawa sebab mereka kira saya ikan besar yang kelenger.Â
Begitulah saya kapok. Mulai agak tenang saya mengajak Kang Rizal pulang sambil menenteng sedikit ikan dapatan. Sambil menyusur pinggir kali, kami mencekiki keapesan tadi. Sambil menyusuri kali, kami siruki ikan-ikan mabuk yang menepi. Sambil menyusuri kali kami hanyut dalam obrolan ngalor-ngidul sementara ikan-ikan mati dan ada sebagian tai hanyut. Hanyut.
Berenang, Menyelam dalam Jerumus Arus
Paling tidak setelah peristiwa di antara hidup dan mati ada suatu trauma yang terpatri di kepala saya bahwa hal yang harus selalu dilakukan adalah menjaga diri agar tidak hanyut. Orang musti pintar berenang maupun menyelam. Berenang artinya kita boleh saja mengikuti arus atau menentang arus tapi kita tak boleh terjerumus arus. Begitupun menyelam yang jadi kemampuan yang harus dimiliki seseorang. Menyelam artinya mengetahui kedalaman dengan tetapo menjaga jarak terhadap tenggelam. Saat kita berenang atau menyelam, kita diharuskan memiliki kesadaran vertikal, horisontal atau eling dan diharuskan mengaktifkan seluruh daya tubuh untuk waspada terhadap berbagai potensi bahaya seperti tengelam dan hanyut.
Dari tenggelam dan hampir hanyut di waktu dan ruang geografis itulah saya mulai waspadai arus-arus lain yang tidak tampak. Arus waktu perubahan zaman maupun arus ruang medan kepentingan menjadi salah dua dari sekian banyak arus yang saya waspadai sedari saat itu. Misalkan arus waktu perubahan zaman saya waspadai dengan cara terus belajar baik secara formal-institutif seperti belajar sungguh di sekolah maupun nonformal-dengan siapapun. Dan sungguh dalam hal ini saya sangat berterima kasih kepada Bapak dan Emak, karena merekalah yang telah sungguh memiliki kewaskitaan terhadap arus waktu perubahan zaman yang cepat sehingga benar-benar menuntaskan jenjang pendidikan kedua anaknya melebihi jenjang pendidikan mereka.Â
Adapun arus ruang medan kepentingan misalnya saya waspadai sejak kecil yakni terhadap masalah pertemanan. Saya manut menurut ajaran Emak, Bapak dan Para Kyai atau Guru bahwa seseorang musti berteman dengan siapapun tapi juga musti mengambil atau mempunyai sikap terhadap keputusan, sikap dan tindakan teman tersebut.Saya mempunyai juga teman-teman yang hobinya mo-limo tapi tetap menjaga jarak untuk tidak terpengaruh hobi mereka yang tidak tepat dan benar itu.Â
Dalam banyak hal meskipun saya tidak bisa menularkan yang baik dan ideal dari perilaku, sikap dan tindakan saya kepada mereka, toh dengan eling dan waspada artinya saya punya sikap yang jelas, para kawan saya yang mo-limo itu pun menghormati saya. Mereka bisa membaca batas-batas. Bahkan ada banya teman yang mereka senang mabuk, justru tidak ingin saya ikut-ikutan mabuk. Lebih jauh lagi, mereka melarang saya untuk mabuk!
Bahaya arus perubahan zaman dan ruang kepentingan yang dapat menenggelamkan dan menghanyutkan seseorang itu malah sudah diwanti-wanti Kanjeng Sunan Kalijaga dalam Serat Lokajaya, Lor 11.629. Dalam nukilan nasihat yang tercantum di dinding batu sekitar halaman Masjid UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta itulah, saya menemukan nasihat dasyat Kanjeng Sunan Kalijaga, "anglaras ilining banyu, angeli ananging ora keli". Nasihat tersebut bila diartikan secara sederhana bahwa selaraslah atau mengalurlah sesuai alir air, tetapi tidak hanyut.
Meskipun pernah mengalami tenggelam dan hampir hanyut di anak Sungai Bengawan Solo maupun sudah paham nasihat Kanjeng Sunan toh pada situasi tertentu saya sering mengalami tenggelam dan hampir hanyut. Seperti manakala dalam proses berorganisasi di kampus maupun proses berkenalan dengan arus pemikiran baru.
Pun, sudah menjadi kabar yang wajar apabila seorang organisatoris berenang di arus kekuasaan sebab salah satu misi bagi kader yakni menempati posisi-posisi strategis di kampus. Tujuannya mulianya tak lain mengamankan dan memperjuangkan nilai juang organisasi yang mereka ikuti. Tujuan lainya tak lain untuk memuaskan nafsu berkuasa (baik itu branding personal, meningkatkan kelas sosial mereka) si zoon politicon itu!
Saya salah satu yang sempat berenang di arus kekuasaan kampus, meskipun hanya sebagai anggota himpunan mahasiswa jurusan. Tapi perlu saya akui saya tidak pandai berenang dan sempat keram. Hampir tengelam di arus kekuasaan itu, saya pilih mentas.
Menyelam pada arus pemikiran baru pun sama bahayanya. Kalau tak pandai menyelam bisa-bisa seseorang kembung sendiri. Saya pernah awal semeseter satu menyelami tokoh Paulo Freire dengan bukunya Pendidikan Kaum Tertindas dan menyelami tokoh Ivan Illich dengan bukunya Bebaskan Masyarakat dari Belenggu Sekolah. Hasilnya? Tentu saja saya kembung hampir saja kehabisan nafas dan bablas. Tuntas membaca dua karya pemikir pendidikan itu dan melihat metode perkuliahan ditambah pula beberapa dosen yang perangainya tak saya sukai membuat saya ogah-ogahan masuk kelas.Â
Bagi saya ruang kelas perkuliahan ketika itu tak lebih baik dari kuburan. Saya menanggap apa yang bisa diharapkan dari pendidikan yang diindustrikan macam pabrik pencetak buruh? Apa bisa lahir tokoh besar dari pendidikan yang tidak membebaskan - yang monoton dengan pembelajaran yang melulu di ruang kalas, pembelajaran yang satu arah, atau diampu beberapa dosen yang punya watak otoriter? Singkat kata, jadilah saya lebih sering membuat atau ikut belajar di kelompok diskusi-diskusi kecil. Dengan kata lain, hampir saja saya kewajiaban dan janji bakti kepada Emak-Bapak yakni kuliah, lulus dan dapat ijazah bablas begitu saja. Saya masih tertolong dari arus pemikiran yang tidak cakap saya sikapi itu.
Menembus Jerumus ArusÂ
Kemapanan adalah arus yang tenang. Barangkali memang debit alirnya begitu saja, tetapi tanpa kewaspadaan manusia bisa saja tergelincir dan berakhir. Salah satu kemapanan yang kini saya waspadai tak lain kemapanan bekerja.
Setiap orang termasuk saya tentu punya visi ke depan untuk meraih pekerjaan yang mapan. Namun tak jarang, faktor-faktor ekonomi, sosial, hukum, politik turut membuat visi itu tertunda. Walhasil mereka yang memiliki visi harus menjalani hidup bekerja seadanya - dengan formula jam kerja yang mapan / monoton, upah yang begitu-begitu saja, tugas yang begitu-begitu saja. Bagi mereka yang baru terserap di dunia kerja, tentu semangat mereka besar untuk membuktikan kesungguhan kerjanya. Namun ketika mereka mulai menyadari adanya stagnasi jenjang karier, stagnasi bertambahnya skill, tanggungan keluarga, pun diperparah kebijakan pemerintah yang membuat posisi pekerja rentan PHK tentu saja membuat orang mengubur dalam-dalam visi mereka meraih pekerjaan impian yang mapan.Â
Banyak saya temukan pada diri teman saya. Mereka umunya terbagi dengan beberapa karakter. Ada tipikal nerimo ing pandum yang sangat fatalistik, ada tipikal teman yang termasuk orang-orang kalah seperti yang dijelaskan James C. Scott dalam bukunya Senjatanya Orang-Orang Kalah. Teman tipikal itu cenderung kebanyakan sambat namun tak sudi diajak bergerak bahkan kalau sudah tidak bisa memanage jagad alit dan jagad gedhe dirinya bisa-bisa burnout! Ada teman kerja tipikal manusia arit, ada teman kerja tipikal manusia kerambit, dan banyak lainnya yang barangkali akan saya ulas lebih jauh pada tulisan berikutnya.
Singkat kata, dalam dunia kerja yang sedang saya alami, saya melihat adanya jerumus arus kemapanan. Kemapanan yang tanpa disadari hanya akan menghabiskan umur.
Lantas bagaimana seorang dapat menjaga terhadap kemapanan tersebut? Agaknya orang musti belajar dari renungan sang penebang kayu yang dikisahkan Anthony de Mello SJ dalam Doa Sang Katak I. Ia mengkisahkan bahwa ada seorang pembelah kayu, yang terus-menerus menyia-nyiakan waktu dan tenaga membelahi kayu dengan kapak tumpul. Apa sebab? Tak lain sang penebang kayu menganggap bahwa ia tidak punya waktu untuk berhenti dan mengasah kapak itu.
Belajar dari renungan penebang kayu itu, saya mengerti bahwa seseorang harus menciptakan ketidakmapanannya sendiri dalam jerumus arus kemapanan. Termasuk saya dalam hal ini, bahkan sejak mulai bekerja, di sela waktu istirahat dan libur selalu belajar meningkatkan kualitas diri. Terus mlaku tansah lelaku.
Yogyakarta, 22 Januari 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H