Menyelam pada arus pemikiran baru pun sama bahayanya. Kalau tak pandai menyelam bisa-bisa seseorang kembung sendiri. Saya pernah awal semeseter satu menyelami tokoh Paulo Freire dengan bukunya Pendidikan Kaum Tertindas dan menyelami tokoh Ivan Illich dengan bukunya Bebaskan Masyarakat dari Belenggu Sekolah. Hasilnya? Tentu saja saya kembung hampir saja kehabisan nafas dan bablas. Tuntas membaca dua karya pemikir pendidikan itu dan melihat metode perkuliahan ditambah pula beberapa dosen yang perangainya tak saya sukai membuat saya ogah-ogahan masuk kelas.Â
Bagi saya ruang kelas perkuliahan ketika itu tak lebih baik dari kuburan. Saya menanggap apa yang bisa diharapkan dari pendidikan yang diindustrikan macam pabrik pencetak buruh? Apa bisa lahir tokoh besar dari pendidikan yang tidak membebaskan - yang monoton dengan pembelajaran yang melulu di ruang kalas, pembelajaran yang satu arah, atau diampu beberapa dosen yang punya watak otoriter? Singkat kata, jadilah saya lebih sering membuat atau ikut belajar di kelompok diskusi-diskusi kecil. Dengan kata lain, hampir saja saya kewajiaban dan janji bakti kepada Emak-Bapak yakni kuliah, lulus dan dapat ijazah bablas begitu saja. Saya masih tertolong dari arus pemikiran yang tidak cakap saya sikapi itu.
Menembus Jerumus ArusÂ
Kemapanan adalah arus yang tenang. Barangkali memang debit alirnya begitu saja, tetapi tanpa kewaspadaan manusia bisa saja tergelincir dan berakhir. Salah satu kemapanan yang kini saya waspadai tak lain kemapanan bekerja.
Setiap orang termasuk saya tentu punya visi ke depan untuk meraih pekerjaan yang mapan. Namun tak jarang, faktor-faktor ekonomi, sosial, hukum, politik turut membuat visi itu tertunda. Walhasil mereka yang memiliki visi harus menjalani hidup bekerja seadanya - dengan formula jam kerja yang mapan / monoton, upah yang begitu-begitu saja, tugas yang begitu-begitu saja. Bagi mereka yang baru terserap di dunia kerja, tentu semangat mereka besar untuk membuktikan kesungguhan kerjanya. Namun ketika mereka mulai menyadari adanya stagnasi jenjang karier, stagnasi bertambahnya skill, tanggungan keluarga, pun diperparah kebijakan pemerintah yang membuat posisi pekerja rentan PHK tentu saja membuat orang mengubur dalam-dalam visi mereka meraih pekerjaan impian yang mapan.Â
Banyak saya temukan pada diri teman saya. Mereka umunya terbagi dengan beberapa karakter. Ada tipikal nerimo ing pandum yang sangat fatalistik, ada tipikal teman yang termasuk orang-orang kalah seperti yang dijelaskan James C. Scott dalam bukunya Senjatanya Orang-Orang Kalah. Teman tipikal itu cenderung kebanyakan sambat namun tak sudi diajak bergerak bahkan kalau sudah tidak bisa memanage jagad alit dan jagad gedhe dirinya bisa-bisa burnout! Ada teman kerja tipikal manusia arit, ada teman kerja tipikal manusia kerambit, dan banyak lainnya yang barangkali akan saya ulas lebih jauh pada tulisan berikutnya.
Singkat kata, dalam dunia kerja yang sedang saya alami, saya melihat adanya jerumus arus kemapanan. Kemapanan yang tanpa disadari hanya akan menghabiskan umur.
Lantas bagaimana seorang dapat menjaga terhadap kemapanan tersebut? Agaknya orang musti belajar dari renungan sang penebang kayu yang dikisahkan Anthony de Mello SJ dalam Doa Sang Katak I. Ia mengkisahkan bahwa ada seorang pembelah kayu, yang terus-menerus menyia-nyiakan waktu dan tenaga membelahi kayu dengan kapak tumpul. Apa sebab? Tak lain sang penebang kayu menganggap bahwa ia tidak punya waktu untuk berhenti dan mengasah kapak itu.
Belajar dari renungan penebang kayu itu, saya mengerti bahwa seseorang harus menciptakan ketidakmapanannya sendiri dalam jerumus arus kemapanan. Termasuk saya dalam hal ini, bahkan sejak mulai bekerja, di sela waktu istirahat dan libur selalu belajar meningkatkan kualitas diri. Terus mlaku tansah lelaku.
Yogyakarta, 22 Januari 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H