Mohon tunggu...
Eko Nurwahyudin
Eko Nurwahyudin Mohon Tunggu... Lainnya - Pembelajar hidup

Lahir di Negeri Cincin Api. Seorang kader Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Rayon Ashram Bangsa dan Alumni Program Studi Hukum Tata Negara UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Motto : Terus Mlaku Tansah Lelaku.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Spirit Kapitalisme yang Gembos dan Agama sebagai Kompresor Etos (Resensi Buku Mohammad Sobary, Kesalehan Sosial)

1 Mei 2021   16:52 Diperbarui: 1 Mei 2021   17:00 264
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Judul : Kesalehan Sosial

Penulis : Mohammad Sobary

Penerbit : LKiS

Cetakan : Pertama, Agustus 2007

Tebal : xvi + 280 halaman

ISBN : 979-25-5261-8

Kapitalisme yang menggelendoti negara berkembang telah merangsang industrialisasi berdiri bahkan ke wilayah-wilayah dengan sistem kekerabatan yang intim sekalipun. Migrasi kelas menengah perkotaan ke kampung-kampung di sekitrnya telah turut menyumbang perubahan sosial masyarakat setempat dan turut andil dalam prolerarianisasi para petani setempat. 

Dua faktor yang dirasakan kampung-kampung sekitar kota seringkali memunculkan respon gagap penduduk setempat. Demi mengatasi kegagapan sekaligus mencegah terjadinya kepanikan, maka agama sebagai sistem sosial mulai mengambil peran. Perubahan sosial penduduk kampung dan kehadiran agama inilah yang dipotret oleh Mohammad Sobary dalam bukunya Kesalehan Sosial, seorang peneliti sekaligus budayawan.

Sobary menggambarkan perubahan yang dramatis di desa Suralaya dan penghuninya atas tekanan dua kota besar, Tangerang dan Jakarta yang sudah penuh sejak tahun 1970-an. 

Berkembangnya berbagai pekerjaan di luar bidang pertanian, buyarnya bentuk-bentuk kehidupan sosial desa yang tradisional (diikuti munculnya bentuk-bentuk baru organisasi sosial untuk menanggulanginya), dan runtuhnya sebagian struktur politik pedesaan merupakan dampak yang timbul dari proses proletarianisasi (halaman 2).

Sementara itu, perluasan kota terus dilaksanakan dengan pemekaran kota urban spawl Jabodetabek. Wilayah-wilayah pinggiran diserap secara fisik dan kultural ke dalam kehidupan Jakarta (halaman 10) tak terkecuali Suralaya. Simbol-simbol perubahan seperti pedagang kecil, pabrik genteng, peternakan ayam, jasa ojek dan perbengkelan (las, reparasi motor, atau sepeda), serta perumahan menjadi alat ukur perubahan sosio-kultural masyarakat, terpolarisasinya masyarakat serta tarik menarik medan ekonomi dan agama.

Hubungan kota dan desa yang intens, telah memantik mentalitas baru yang disebut semangat kapitalisme. Konsep semangat kapitalisme didefinisikan sebagai suatu jenis tindakan sosial yang melibatkan pengejaran keuntungan maksimum dengan perhitungan rasional. 

Selanjutnya, Sobary mengajak pembaca membaca jejak perkembangan Suralaya dan menguji motivasi dasar dari penduduk yang berdagang, apakah mereka melakukannya hanya untuk survive ataukah mereka melihat hal tersebut dengan pisau bedah yang ada di dalam agama, yaitu sebagai ibadah sesuai doktrin-doktrin agama (Islam) pada hubungan keagamaan dan tingkah laku ekonomi. Sobary juga menguji "etos" dalam "kesalehan" dan "tingkah laku ekonomi" di desa Suralaya (halaman 18-19).

Proses mejadikan Suralaya sebagai kota yang ditangkap Sobary ternyata memunculkan pemahaman kesalehan. Bahwa kesalehan diartikan sebagai etos atau pandangan hidup yang khas dari suatu golongan (dalam hal ini golongan pengusaha kelas rendah yang sangat rendah pendidikannya) ialah kemampuan orang dalam menyeimbangkan ushalli (salat) dengan usaha. 

Adapun berkaitan dengan konsepsi kerja, dalam pandangan orang Suralaya, Haji Saptir menyatakan bahwa kerja keras adalah salah satu ajaran Islam (halaman 185). Hal ini dapat dibandingkan dengan gagasan Barat bahwa "waktu adalah uang". Bahkan, perioritas mereka terhadap tuntutan kehidupan konkret dapat dikatakan---menurut istilah Guntur (salah seorang penduduk)---sebagai kesalehan sosial.

Memulai pembicaraan tentang perbedaan kesalehan ritual dan kesalehan social, Sobary mengajak pembaca menelusuri bagaimana penduduk Suralaya yang terdesak spirit kapitalisme yang dibawa oleh kaum menengah urban telah menjadikan agama sebagai sumber spirit tandingan untuk membalikkan keadaan atau sekadar survive secara subsisten. 

Adapun besaran dorongan doktrin agama dan etos kerja keras sangat nampak pada praktik ibadah haji. Ibadah haji dalam pandangan umat Islam Suralaya yang ditemukan Sobary ternyata tidak hanya dimaknai sebagai menunaikan rukun Islam (ushalli/kesalehan ritual) namun kecenderungan terbesar justru sebagai meningkatkan derajat sosial. 

Sebagai contoh kuatnya doktrin agama tercermin pada syair lama Betawi "ya Allah Ya Robbi, Berilah saya untung yang lebih. Biar bisa pergi ke haji, ziarah ke kuburan Nabi" (halaman 181). 

Di sini doa didahulukan untuk kelancaran keuntungan maksimal usahanya, agar sebagian laba dari usahanya dibaktikan kepada Tuhan. Pergi haji, bagi sebagian orang dimaknai, tidak hanya untuk meningkatkan prestise moral, melainkan juga karena adanya keuntungan-keuntungan sosio-ekonomi yang dinikmati (halaman 194). Seperti dalam berdagang seorang haji lebih dipercaya daripada yang belum haji. 

Sebagai penutup, Sobary mengemukakan poin yang sangat penting, jawaban atas pertanyaan besar buku ini. Kalau agama, sebagai sistem sosial yang terbuka telah menjadi pendorong bagi spirit kapitalisme penduduk Suralaya mundur, lantas sejauh mana laju aktivitas ekonomi penduduk Suralaya berjalan? Apakah lantas spirit kapitalisme menjadi solusi atas hal tersebut

Berbeda dengan Max Weber mengenai teori Etika Protestan dan Spirit Kapitalisme yang mendongkrak bisnis, Sobary menguraikan bahwa terdapat tiga penjelasan struktural dan satu penjelasan non-struktural yang menjadikan kegagalan penduduk Suralaya mengembangkan kegiatan bisnis kecil mereka menjadi bisnis besar. 

Pertama, mereka dihadapkan pada keterbatasan-keterbatasan pemasaran yang berat. Luas operasi pasar mereka sempit hanya di dalam desa dan daya beli penduduk desa tentu tidaklah besar. 

Kedua, meskipun memiliki bakat, gigih, dan semangat berdagang tinggi namun mereka beroperasi secara perorangan, tidak dapat membentuk organisasi komersial. 

Ketiga, semangat dan etos mereka tidak kalah dengan etos Protestan di Barat, hanya saja semua pengaruh keagamaan diserap lebih dahulu ke dalam budaya Betawi. Dalam hal ini, pengaruh agama tidak secara langsung membentuk tingkah laku ekonomi penduduk Suralaya, tetapi melalui budaya Betawi lebih dulu. 

Keempat, sebagai alasan non-struktural, mereka tidak memiliki cukup modal. (halaman 255-256). Singkatnya, bukanlah kelemahan mental, misalnya, tiadanya etos, melainkan kelemahan struktural.

Buku ini menarik dibaca oleh siapa pun karena Sobary memberikan kacamata kepada pembaca untuk mengamati budaya-budaya yang mengakar, pun budaya yang terbentuk akibat perubahan sosial yang drastis menimpa kehidupan masyarakat.

Eko Nurwahyudin, alumni Hukum Tata Negara UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

catatan: resensi ini pernah dimuat oleh Alkalam.id pada 23 Oktober 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun