Kedua, meskipun memiliki bakat, gigih, dan semangat berdagang tinggi namun mereka beroperasi secara perorangan, tidak dapat membentuk organisasi komersial.Â
Ketiga, semangat dan etos mereka tidak kalah dengan etos Protestan di Barat, hanya saja semua pengaruh keagamaan diserap lebih dahulu ke dalam budaya Betawi. Dalam hal ini, pengaruh agama tidak secara langsung membentuk tingkah laku ekonomi penduduk Suralaya, tetapi melalui budaya Betawi lebih dulu.Â
Keempat, sebagai alasan non-struktural, mereka tidak memiliki cukup modal. (halaman 255-256). Singkatnya, bukanlah kelemahan mental, misalnya, tiadanya etos, melainkan kelemahan struktural.
Buku ini menarik dibaca oleh siapa pun karena Sobary memberikan kacamata kepada pembaca untuk mengamati budaya-budaya yang mengakar, pun budaya yang terbentuk akibat perubahan sosial yang drastis menimpa kehidupan masyarakat.
Eko Nurwahyudin, alumni Hukum Tata Negara UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
catatan: resensi ini pernah dimuat oleh Alkalam.id pada 23 Oktober 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H