Mohon tunggu...
Eko Nurwahyudin
Eko Nurwahyudin Mohon Tunggu... Lainnya - Pembelajar hidup

Lahir di Negeri Cincin Api. Seorang kader Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Rayon Ashram Bangsa dan Alumni Program Studi Hukum Tata Negara UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Motto : Terus Mlaku Tansah Lelaku.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Spirit Kapitalisme yang Gembos dan Agama sebagai Kompresor Etos (Resensi Buku Mohammad Sobary, Kesalehan Sosial)

1 Mei 2021   16:52 Diperbarui: 1 Mei 2021   17:00 264
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hubungan kota dan desa yang intens, telah memantik mentalitas baru yang disebut semangat kapitalisme. Konsep semangat kapitalisme didefinisikan sebagai suatu jenis tindakan sosial yang melibatkan pengejaran keuntungan maksimum dengan perhitungan rasional. 

Selanjutnya, Sobary mengajak pembaca membaca jejak perkembangan Suralaya dan menguji motivasi dasar dari penduduk yang berdagang, apakah mereka melakukannya hanya untuk survive ataukah mereka melihat hal tersebut dengan pisau bedah yang ada di dalam agama, yaitu sebagai ibadah sesuai doktrin-doktrin agama (Islam) pada hubungan keagamaan dan tingkah laku ekonomi. Sobary juga menguji "etos" dalam "kesalehan" dan "tingkah laku ekonomi" di desa Suralaya (halaman 18-19).

Proses mejadikan Suralaya sebagai kota yang ditangkap Sobary ternyata memunculkan pemahaman kesalehan. Bahwa kesalehan diartikan sebagai etos atau pandangan hidup yang khas dari suatu golongan (dalam hal ini golongan pengusaha kelas rendah yang sangat rendah pendidikannya) ialah kemampuan orang dalam menyeimbangkan ushalli (salat) dengan usaha. 

Adapun berkaitan dengan konsepsi kerja, dalam pandangan orang Suralaya, Haji Saptir menyatakan bahwa kerja keras adalah salah satu ajaran Islam (halaman 185). Hal ini dapat dibandingkan dengan gagasan Barat bahwa "waktu adalah uang". Bahkan, perioritas mereka terhadap tuntutan kehidupan konkret dapat dikatakan---menurut istilah Guntur (salah seorang penduduk)---sebagai kesalehan sosial.

Memulai pembicaraan tentang perbedaan kesalehan ritual dan kesalehan social, Sobary mengajak pembaca menelusuri bagaimana penduduk Suralaya yang terdesak spirit kapitalisme yang dibawa oleh kaum menengah urban telah menjadikan agama sebagai sumber spirit tandingan untuk membalikkan keadaan atau sekadar survive secara subsisten. 

Adapun besaran dorongan doktrin agama dan etos kerja keras sangat nampak pada praktik ibadah haji. Ibadah haji dalam pandangan umat Islam Suralaya yang ditemukan Sobary ternyata tidak hanya dimaknai sebagai menunaikan rukun Islam (ushalli/kesalehan ritual) namun kecenderungan terbesar justru sebagai meningkatkan derajat sosial. 

Sebagai contoh kuatnya doktrin agama tercermin pada syair lama Betawi "ya Allah Ya Robbi, Berilah saya untung yang lebih. Biar bisa pergi ke haji, ziarah ke kuburan Nabi" (halaman 181). 

Di sini doa didahulukan untuk kelancaran keuntungan maksimal usahanya, agar sebagian laba dari usahanya dibaktikan kepada Tuhan. Pergi haji, bagi sebagian orang dimaknai, tidak hanya untuk meningkatkan prestise moral, melainkan juga karena adanya keuntungan-keuntungan sosio-ekonomi yang dinikmati (halaman 194). Seperti dalam berdagang seorang haji lebih dipercaya daripada yang belum haji. 

Sebagai penutup, Sobary mengemukakan poin yang sangat penting, jawaban atas pertanyaan besar buku ini. Kalau agama, sebagai sistem sosial yang terbuka telah menjadi pendorong bagi spirit kapitalisme penduduk Suralaya mundur, lantas sejauh mana laju aktivitas ekonomi penduduk Suralaya berjalan? Apakah lantas spirit kapitalisme menjadi solusi atas hal tersebut

Berbeda dengan Max Weber mengenai teori Etika Protestan dan Spirit Kapitalisme yang mendongkrak bisnis, Sobary menguraikan bahwa terdapat tiga penjelasan struktural dan satu penjelasan non-struktural yang menjadikan kegagalan penduduk Suralaya mengembangkan kegiatan bisnis kecil mereka menjadi bisnis besar. 

Pertama, mereka dihadapkan pada keterbatasan-keterbatasan pemasaran yang berat. Luas operasi pasar mereka sempit hanya di dalam desa dan daya beli penduduk desa tentu tidaklah besar. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun