Mohon tunggu...
Eko Nurwahyudin
Eko Nurwahyudin Mohon Tunggu... Lainnya - Pembelajar hidup

Lahir di Negeri Cincin Api. Seorang kader Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Rayon Ashram Bangsa dan Alumni Program Studi Hukum Tata Negara UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Motto : Terus Mlaku Tansah Lelaku.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Nini Pergi ke Surga

15 Agustus 2020   08:34 Diperbarui: 16 Agustus 2020   16:02 166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Eko Nurwahyudin

Kebumen, 26 Februari 2019. Sore diselimuti getir. Aku tiba setelah Nini dikebumikan.

Tajam semerbak kembang telon dan minyak jenazah menahan keinginanku untuk segera masuk ke kamarnya. Aku lunglai, rebah di kursi kayu yang biasa ia duduki. Pandanganku kosong di tengah kesibukan di sekelilingku. 

Pikiranku mengembara, mengikuti keliaran gejolak jiwa. Sedih, terpukul, kehilangan, dan kesal akan keterlambatan timbul-tenggelam dengan pengandaian-pengandaian tak jelas.

Hujan tak turun sore ini. Entah mengapa hujan tak turun. Mungkinkah di kerajaan langit tidak ada tangis kebahagiaan menyambut kematian Nini? Mengapa arwah-arwah di atas sana begitu tega? Apakah karena Nini berpulang pada usia sangat tua, sehingga kematian seolah dianggap biasa? 

Apakah akan lain kalau yang mati adalah seorang bayi yang baru saja lahir yang bahkan belum dapat membuka mata? Apakah hujan akan turun teramat deras, pertanda sukacita para penghuni langit atas keberuntungan sang bayi yang baru saja mati?

Memang sering kudengar ada penceramah mengatakan seorang bayi yang mati akan langsung dapat tempat di surga. Ia tidak perlu menjawab pertanyaan-pertanyaan di dalam kubur. 

Toh seorang bayi belum dapat omong dan bohong pun tidak perlu mampir ke neraka sebab ia belum mengerti dosa. Kematian pada usia di bawah lima tahun itulah nikmat! Singkat kata, mati pada usia tua bukanlah sesuatu yang enak bagi penceramah itu!

Angin berembus agak kencang mengempaskan debu ke udara. Mengempaskan pula kesedihanku. Angin yang berembus seenaknya itu hanya mengurai kesan akhir Februari yang dingin.

Terdengar lamat-lamat dari arah dapur perempuan-perempuan membicarakan biaya selamatan. Obrolan mereka pun terdengar tidak teratur. 

Sesekali terselip cerita di luar nalar yang mengiringi kematian Nini. Kebanyakan cerita mereka yang kudengar adalah tentang firasat. Aku juga mendapat firasat menjelang kematian Nini. Sama seperti kematian Nenek, ibu dari bapakku. 

Menjelang kematiannya, aku sulit sekali tidur, digelayuti resah, dan sesekali terpikir sebentar hal-hal yang berkait dengan kematian.

Sial, orang yang mendapat firasat tidak dapat membacanya dan setelah kematian barulah mereka menyadari hal itu. Ibu termasuk yang mendapat firasat sama seperti aku dan ia beruntung karena dapat tiba lebih dulu -- meskipun ia tiba saat kondisi Nini tengah sekarat. 

Ibu berkesempatan menorehkan bakti anak kepada orang tuanya dan menerima kali terakhir cinta orang tua kepada anaknya: permintaan, pemberian maaf dan doa untuk keselamatan, keberkahan hidup. Sial, akulah yang termasuk penerima firasat, tidak dapat membacanya dan tiba terlambat. Kesialan berlapis yang menimpaku ini berkecamuk.

Aku menyelonong hendak menceritakan pula alasanku tiba terakhir daripada cucu-cucu yang lain. Namun aku tertahan oleh pertanyaan-pertanyaan yang memberondongku.

"Kenapa kamu tak kasihan kepada Nini?"

"Kenapa baru datang sekarang?"

"Kenapa kamu berusaha membenarkan keterlambatanmu?"

Tiga pertanyaan itu menghunjamku keras. Keras, makin keras mendekati kamar Nini yang melompong. Niatku nimbrung dalam obrolan di dapur kendur. Aku tak kuat nyali, meskipun dapat saja aku abai terhadap kasur tua di kamarnya. Kasur tua yang tabah menampung beban tubuh lumpuh perempuan tua.

Rumah Nini yang kecil telah disekat menjadi tiga bagian sebagai warisan itu menjadikan dapur sangat dekat dengan kamarnya. Melihat dari jauh mereka yang mengobrol di dapur, aku tak habis pikir bagaimana bisa mereka tidak terusik.

Bagaimana bisa mereka dengan cepat melupakan di kasur tua kamar yang melompong itu pernah terkulai perempuan tua yang lumpuh menderita oleh borok di beberapa bagian tubuhnya dan sering berteriak meminta pulang lantaran kepikunannya?

Aku rebah berbaring di lincak memandang jam dinding yang kacau. Jarum detiknya tidak bergerak maju, tersendat. Aku masih dapat melihat gerakan yang lemah dan masih dapat mendengar bunyi detaknya. Seperti itukah keadaanmu kemarin, Ni?

Di luar tampaknya orang-orang tengah mengaso. Aku menerka dari suara-suara santai yang jelas terdengar. Mereka mengobrol perihal yang sama; tentang firasat-firasat yang telah lewat.

Juga tentang kejadian mistis yang tidak disangka beberapa detik setalah nafas terakhir Nini. Aku tidak tertarik cerita itu. Satu hal yang membuatku tertarik adalah para lelaki yang mengobrol di emperan kelewat santai. Beberapa kali terdengar gelak tawa di tengah obrolan mereka.

Kenapa orang-orang begitu cepat beralih perasaan? Apakah memang mati pada usia tua patut dianggap biasa? Kenapa orang-orang di sini tidak bisa menangis? Kenapa aku juga tidak menangis? Apakah kematian tidak semengerikan yang dibayangkan? Namun bukankah kematian pada usia di bawah lima tahun itulah nikmat, sedangkan mati pada usia tua bukanlah sesuatu yang enak?

Tidak, aku tidak sepenuhnya sepakat. Aku tidak sepakat pada penceramah model begitu, seakan mencoba mengabaikan nikmat lain seperti umur. Apakah bayi yang mati lebih beruntung daripada orang yang mati pada usia tua?

Bahkan seorang ibu yang baru kehilangan bayi itu akan nelangsa dan dalam hati kecil berkata, "Kasihan kamu, Nak, umurmu begitu singkat. Orang-orang belum mendapat cintamu, belum merasakan kepemimpinanmu, dan kamu belum mengenal kami dan merasakan cinta kami."

Namun aku tidak dapat menutupi, mati pada usia tua pun tidak sama bahagia. Aku masih mengingat betul saat pernikahan Siti, kakak sepupuku, Nini tampak murung di kursi kayunya. Lagipula tidak banyak yang dapat perempuan yang mungkin lahir (karena orang sezaman tidak mengerti tanggal lahirnya, bahkan anak pertamanya juga) pada akhir penjajahan Belanda itu. 

Dengkulnya yang mulai keropos tidak dapat membuatnya berjalan jauh. Bahkan sekadar turun dari undak-undakan dan berjalan ke panggung pengantin tidak dapat Nini lakukan tanpa bantuan orang lain.

Nini hanya duduk di kursi kayu, menatap sekeliling yang sibuk. Sesekali dari mata tuanya yang keabu-abuan, aku dapat menangkap kekeringan hidup. Aku menemaninya duduk. Aku memulai basa-basi sekadarnya, berharap kegairahan muncul. Mustahil! Memang mustahil. Tidak ada kegairahan yang dapat ditimbulkan dari basa-basi!

Aku memutar otak, berpikir apa kiranya yang dapat membuat dia bergairah kembali?! Tentu saja sejarah hidup. Aku menanyakan riwayatnya; bagaimana hidup dan mati di bawah pendudukan fasis Jepang?

"Langka sandang," jawabnya berulang-ulang. "Orang-orang yang mati tidak dibungkus kain mori, tetapi tikar pandan."

Setelah kukejar dengan pertanyaan-pertanyaan, kuketahui jawaban terakhir tidaklah berlaku umum. Lebih tepat yang Nini maksudkan teruntuk tentara yang gugur di medan juang dan rakyat miskin.

Belum juga tanda kegairahan tersirat di air mukanya, aku menanyakan perihal Nini dijadikan Mat Syuhada sebagai istri. Pertanyaanku kali ini tidak mendapat jawaban sebab Nini melantur -- menunjukkan letak rumah masa kecilnya dan rumah yang dia bangun bersama suaminya.

Nini juga menjelaskan pernah mengungsi, meninggalkan rumah bersama penduduk yang lain, saat Agresi Militer Belanda. Namun ingatannya yang melemah tidak dapat menjelaskan secara pasti kondisi pertempuran. Ceritanya lebih lanjut banyak menguraikan tentang teror bumi hangus pun sama. 

Belakangan sedikit kuketahui kekalahan Belanda di Jembatan Kedung Bener Jatisari, desanya ini, awal Januari 1949, membuat satu kompi pasukan Belanda pada 10 Januari 1949 bergerak menuju ke Somolangu. 

Terjadilah pertempuran dengan taktik supit udang di Gunung Pager Kodok yang menjadi titik pengadangan antara satu batalion pasukan Angkatan Oemat Islam melawan satu kompi pasukan Belanda. Belanda kalah telak dalam petempuran itu dan membumihanguskan Tanahsari di kemudian hari.

Aku menatapnya lagi. Kegairahan telah sedikit terpancar di wajahnya yang kisut. Aku tidak dapat menakar berapa sering ia merasakan sepi. Namun terlampau sering ia cuma diperhatikan alakadarnya -- makan dan kesehatan fisiknya belaka.

Apakah anak-anaknya yang telah berumah tangga dan cucunya yang lain pernah memperhatikan kemalangannya itu -- hidup dengan selalu mempertanyakan kapan kematian akan menjemput secara lembut seperti keluarga dan teman-temannya yang telah tiada? Betapa bersalah aku hanya sekali dalam hidup memperhatikannya sejauh ini!

Jam masih berdetak sekarat. Aku geregetan. Sekonyong-konyong aku beranjak mengambil kursi di emperan untuk menurunkan jam dinding tua itu, mencopot baterai lama yang soak, lalu mengatur ulang waktunya. Kegiatan seperti itu mungkin dapat mengalihkan pikiranku yang kusut atau mungkin bisa menimbulkan kesenangan tersendiri.

"Bukan masalah baterainya. Memang dasar mesin jam itu sudah rusak! Biarkan saja!" ujar seorang sepupu.

Perintah dari sepupu itu kembali mengingatkan aku betapa usahaku memang sia-sia belaka. Aku mungkin salah menganggap usahaku menghibur Nini waktu itu telah menimbulkan kegairahan hidup, meski berkesan remang.

Apakah Nini memang telah menerima sepenuhnya kesepian sebagai sahabat penghabisan umurnya, sehingga ia tidak takut dan bersikap biasa pada kematian?

Bukan. Bukan lantaran ia menganggap hal itu karena takdir belaka, melainkan lebih dibentuk oleh sejarah hidup yang getir. Seperti saat Nini menceritakan saudara kandungnya, Pardi, yang gugur di medan juang.

"Pardi dulu juga tentara AOI. Dulu pas perang pakai bambu runcing lawan tentara Belanda yang pakai bedil. Pardi tertembak mati," ujarnya datar.

Entah, saudara kandungnya itu gugur pada pertempuran Jatisari atau pertempuran di Wonosari yang mengakibatkan lima korban mati. Namun yang pasti, pada akhir cerita tentang gelora pahit-manis masa muda Nini berpesan untuk membakar diri -- memanfaatkan waktu sebaik mungkin dan tidak menghabiskan usia dengan perbuatan sia-sia. 

Singkat kata, jangan membuang prinsip hidup orang Jawa: hidup harus menyala, menjadi lilin-lilin di desa --- betapapun peradaban bangsa makin maju.

Bukankah dengan perubahan peradaban bangsa Indonesia, banyak orang tertipu oleh mimpi menjadi obor Monas Ibu Kota daripada menjadi lilin-lilin di desa? Bahkan orang kampung yang tidak pernah merasakan bangku sekolah pun tahu bangsa yang besar tidak dapat dibangun oleh orang-orang yang tertidur!

Hujan tidak turun hari ini. Hanya angin Februari yang mengembus dingin. Aku tidak lagi merasa terpukul oleh kematiannya. Dan, mungkin memang aku tidak pernah merasa terpukul oleh kematiannya. Aku tidak menangis sebagaimana anak-anak dan cucu lain. 

Apakah dunia yang menuju ke kehancuran ini telah mendidik manusia menjadi makhluk yang tumpul perasaan? Apakah memang hatiku sudah membatu dan mengeras?

Apakah kematian memang harus disesali dan ditangisi? Benarkah mati pada usia tua tidak semenyenangkan mati pada usia di bawah lima tahun?

Ya, menjelang kematiannya Nini memang sangat menderita. Sekali waktu sepupuku yang biasa merawatnya pernah kumintai kabar kondisi kesehatan Nini. Aku terlalu sibuk bekerja di Yogyakarta, sehingga tidak dapat menengok dia, meskipun jarak Kebumen-Yogya cukup. Uang tabunganku selalu cepat habis untuk membeli tetek-bengek kebutuhan hidup. Kalaupun ada yang tersisa, tidaklah cukup untuk ongkos pulang-pergi.

Sepupuku mengabarkan sesuatu yang tidak pernah kusangka. Perempuan tua yang kukenal rajin beribadah pada saat pikun dan kelumpuhan belum mendera itu terpasang susuk di tubuhnya. Ia menjelaskan susuk yang terpasang di wajah Nini itulah yang membuatnya menderita. Berhari-hari Nini tidak bisa tidur dan selalu meminta pulang. Susuk itu harus diambil agar kematian Nini berjalan lancar.

Aku bisa mengerti -- tidak menyalahkan dan membenarkan kelakuan Nini pada masa muda, meskipun memang menurut agama Islam perbuatan itu dilaknat. Namun tentu orang tidak bisa menyalahkan begitu saja, tanpa mengerti alasan dia memilih jalan keliru itu. 

Apakah orang bisa membayangkan kemiskinan, kesulitan ekonomi selama masa penjajahan, Orde Lama, Orde Baru, hingga akhir Nini dapat berdagang tidak memberikan pilihan? Ya, mungkin setelah tahun 2000 keadaan ekonomi membaik dan seharusnya Nini membuang susuk pelaris. Namun apakah perempuan tua itu masih mengingat perbuatan cela yang mungkin telah lama sekali pada masa muda?

Hujan tak turun hingga malam makin larut. Bunyi kereta terdengar jelas dari kejauhan. Apakah Nenek sudah naik ke surga? Apakah surga menerima istri seorang pemberontak? Kenapa hujan tak turun? Apakah arwah-arwah di langit begitu tega dan menganggap kematian Nini hanyalah kematian yang kering dan biasa? Apakah hujan memang pertanda baik itu?!

Pertanyaan-pertanyaan itu timbul-tenggelam dalam kepala. Bunyi kereta lain di kejauhan tiba-tiba mengingatkanku pada masa kecil. Ketenangan mulai menguasai jiwaku. Aku teringat dulu sebelum keluarga kami kembali ke Jakarta, Nini hanya membekali keluarga kami dengan doa.

Bukankah ini hari pertama kematiannya? Artinya, Nini belum naik ke surga? Apakah Nini yang pikun tersesat? Lantas, di mana Nini?

Bunyi kereta lain dari jauh meyakinkan aku: Nini tidak naik ke surga, tetapi bagimu, keluargamu, dan orang-orang baik yang mengenalnya, Nini adalah surga itu.

Yogyakarta, 18 Maret 2019
Catatan : Cerpen ini pernah dimuat sebelumya oleh Kalam Kopi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun