Entah, saudara kandungnya itu gugur pada pertempuran Jatisari atau pertempuran di Wonosari yang mengakibatkan lima korban mati. Namun yang pasti, pada akhir cerita tentang gelora pahit-manis masa muda Nini berpesan untuk membakar diri -- memanfaatkan waktu sebaik mungkin dan tidak menghabiskan usia dengan perbuatan sia-sia.Â
Singkat kata, jangan membuang prinsip hidup orang Jawa: hidup harus menyala, menjadi lilin-lilin di desa --- betapapun peradaban bangsa makin maju.
Bukankah dengan perubahan peradaban bangsa Indonesia, banyak orang tertipu oleh mimpi menjadi obor Monas Ibu Kota daripada menjadi lilin-lilin di desa? Bahkan orang kampung yang tidak pernah merasakan bangku sekolah pun tahu bangsa yang besar tidak dapat dibangun oleh orang-orang yang tertidur!
Hujan tidak turun hari ini. Hanya angin Februari yang mengembus dingin. Aku tidak lagi merasa terpukul oleh kematiannya. Dan, mungkin memang aku tidak pernah merasa terpukul oleh kematiannya. Aku tidak menangis sebagaimana anak-anak dan cucu lain.Â
Apakah dunia yang menuju ke kehancuran ini telah mendidik manusia menjadi makhluk yang tumpul perasaan? Apakah memang hatiku sudah membatu dan mengeras?
Apakah kematian memang harus disesali dan ditangisi? Benarkah mati pada usia tua tidak semenyenangkan mati pada usia di bawah lima tahun?
Ya, menjelang kematiannya Nini memang sangat menderita. Sekali waktu sepupuku yang biasa merawatnya pernah kumintai kabar kondisi kesehatan Nini. Aku terlalu sibuk bekerja di Yogyakarta, sehingga tidak dapat menengok dia, meskipun jarak Kebumen-Yogya cukup. Uang tabunganku selalu cepat habis untuk membeli tetek-bengek kebutuhan hidup. Kalaupun ada yang tersisa, tidaklah cukup untuk ongkos pulang-pergi.
Sepupuku mengabarkan sesuatu yang tidak pernah kusangka. Perempuan tua yang kukenal rajin beribadah pada saat pikun dan kelumpuhan belum mendera itu terpasang susuk di tubuhnya. Ia menjelaskan susuk yang terpasang di wajah Nini itulah yang membuatnya menderita. Berhari-hari Nini tidak bisa tidur dan selalu meminta pulang. Susuk itu harus diambil agar kematian Nini berjalan lancar.
Aku bisa mengerti -- tidak menyalahkan dan membenarkan kelakuan Nini pada masa muda, meskipun memang menurut agama Islam perbuatan itu dilaknat. Namun tentu orang tidak bisa menyalahkan begitu saja, tanpa mengerti alasan dia memilih jalan keliru itu.Â
Apakah orang bisa membayangkan kemiskinan, kesulitan ekonomi selama masa penjajahan, Orde Lama, Orde Baru, hingga akhir Nini dapat berdagang tidak memberikan pilihan? Ya, mungkin setelah tahun 2000 keadaan ekonomi membaik dan seharusnya Nini membuang susuk pelaris. Namun apakah perempuan tua itu masih mengingat perbuatan cela yang mungkin telah lama sekali pada masa muda?
Hujan tak turun hingga malam makin larut. Bunyi kereta terdengar jelas dari kejauhan. Apakah Nenek sudah naik ke surga? Apakah surga menerima istri seorang pemberontak? Kenapa hujan tak turun? Apakah arwah-arwah di langit begitu tega dan menganggap kematian Nini hanyalah kematian yang kering dan biasa? Apakah hujan memang pertanda baik itu?!