Sial, orang yang mendapat firasat tidak dapat membacanya dan setelah kematian barulah mereka menyadari hal itu. Ibu termasuk yang mendapat firasat sama seperti aku dan ia beruntung karena dapat tiba lebih dulu -- meskipun ia tiba saat kondisi Nini tengah sekarat.Â
Ibu berkesempatan menorehkan bakti anak kepada orang tuanya dan menerima kali terakhir cinta orang tua kepada anaknya: permintaan, pemberian maaf dan doa untuk keselamatan, keberkahan hidup. Sial, akulah yang termasuk penerima firasat, tidak dapat membacanya dan tiba terlambat. Kesialan berlapis yang menimpaku ini berkecamuk.
Aku menyelonong hendak menceritakan pula alasanku tiba terakhir daripada cucu-cucu yang lain. Namun aku tertahan oleh pertanyaan-pertanyaan yang memberondongku.
"Kenapa kamu tak kasihan kepada Nini?"
"Kenapa baru datang sekarang?"
"Kenapa kamu berusaha membenarkan keterlambatanmu?"
Tiga pertanyaan itu menghunjamku keras. Keras, makin keras mendekati kamar Nini yang melompong. Niatku nimbrung dalam obrolan di dapur kendur. Aku tak kuat nyali, meskipun dapat saja aku abai terhadap kasur tua di kamarnya. Kasur tua yang tabah menampung beban tubuh lumpuh perempuan tua.
Rumah Nini yang kecil telah disekat menjadi tiga bagian sebagai warisan itu menjadikan dapur sangat dekat dengan kamarnya. Melihat dari jauh mereka yang mengobrol di dapur, aku tak habis pikir bagaimana bisa mereka tidak terusik.
Bagaimana bisa mereka dengan cepat melupakan di kasur tua kamar yang melompong itu pernah terkulai perempuan tua yang lumpuh menderita oleh borok di beberapa bagian tubuhnya dan sering berteriak meminta pulang lantaran kepikunannya?
Aku rebah berbaring di lincak memandang jam dinding yang kacau. Jarum detiknya tidak bergerak maju, tersendat. Aku masih dapat melihat gerakan yang lemah dan masih dapat mendengar bunyi detaknya. Seperti itukah keadaanmu kemarin, Ni?
Di luar tampaknya orang-orang tengah mengaso. Aku menerka dari suara-suara santai yang jelas terdengar. Mereka mengobrol perihal yang sama; tentang firasat-firasat yang telah lewat.