"Ya, aku dengar" jawabku kecut. "Apakah pintu dan jendela sudah kau kunci?" tanyaku spontan. Ia mengangguk. Mendengar pertanyaanku yang janggal dan teramat jelas karena jarak mulutku dan telinganya hanya selebar jempol orang dewasa sontak membuatnya mencurigaiku lebih tajam. "O, rupanya memang kau hendak mencongkel mataku?!" tukasku.
      Ia jauhkan kepalanya dari mulutku dan sekonyong-konyong menampik tanganku.
      "Aku geli mendengar cerita konyolmu!" tegasnya.
Aku menghela nafas panjang, mencoba menenangkan pikiranku yang kacau dan pendek.
"Mana mungkin aku mencongkel mata kekasihku sendiri?" tanyanya meminta pembenaran.
Ditatapnya aku agak lama seolah ia tengah membagi keberaniannya. Kekikukanku terhadapnya karena menuduhnya yang bukan-bukan pun perlahan hilang. Ya, mata perempuan ini mengingatkanku pada mata tokoh khayal dalam novel yang dituliskan seorang tapol!
      "Ssstttt! Jendela kita masih diketuk-ketuk" ujar Rafika yang langsung beranjak.
      Rasa penasaran membuat ketakutannya hilang. Sambil membawa teplok, aku mengikuti tepat dibelakangnya. Mendekati jendela yang ia tunjukan, lebat hujan terdengar lebih keras. Rupanya angin sudah mulai berhenti.
      Kami masih terdiam di hadapan jendela yang diketuk kian keras. Tidak. Tidak. Suara ketukan ini tidak sama seperti orang berang yang diselimuti hasrat membunuh. Mungkin nyala lampu teplok ini yang memperbesar harapannya. Membuatnya mengetuk lebih keras.
      "Siapa disana?" tanyaku. Mendengar tidak ada jawaban aku berbisik kepada istriku, "Coba kau yang tanya"
      "Siapa disana?" tanya Rafika dengan tenang.