Mohon tunggu...
Eko Hartono
Eko Hartono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Freelance

Menulis cerpen, artikel, novel, naskah drama, dan skenario film. Pengalaman di dunia kepenulisan lebih dari 25 tahun.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Istri Suamiku

17 Desember 2021   12:39 Diperbarui: 17 Desember 2021   12:46 217
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

            Aku diam sebentar sambil menggigit bibirku dan menahan lahar yang hendak menjebol dinding ketegaranku. Dengan menarik satu napas dalam, aku kemudian berkata, "Ceraikan aku, Mas!"

            "Apa???" Mas Bambang tersentak kaget.

            "Ceraikan aku. Titik!" tandasku.

            Mas Bambang mendesah panjang sambil menggeleng. Kulihat bola matanya berkaca-kaca. Pecah menjadi beling menancap dalam batinku. Perih!

***

            Aku sudah pikirkan matang-matang ketika memutuskan untuk bercerai dari mas Bambang. Meski pahit, tapi ini adalah harga yang harus ditebus atas semua yang terjadi. Aku tahu, ini sangat berat. Bukan untuk hatiku sendiri, tapi juga anak-anak. Aku tak peduli, orang akan menganggap aku terlalu emosional dan tidak memikirkan perkembangan jiwa serta masa depan anak-anakku. Justru aku ingin melatih anak-anakku untuk menerima kenyataan pahit ini. Mereka mesti tahu, bahwa hidup ini tidak selamanya mulus dan berisi keindahan.

            Lebih baik mereka mengecap buah pahit kehidupan dari pada harus hidup dalam bayang-bayang kepalsuan dan kebobrokan. Agar mereka bisa tumbuh menjadi manusia yang lebih kuat dan tegar. Tidak lemah dan cengeng menghadapi badai atau prahara. Apalah artinya mereka hidup utuh sebagai sebuah keluarga, tapi di balik itu ada kebobrokan yang tersimpan. Aku tidak bisa hidup berpura-pura, menganggap seolah tidak terjadi apa-apa.

            Mungkin ada solusi yang lebih fair, aku berbagi suami dengan Sari demi menjaga keutuhan keluargaku. Karena hal itu diperbolehkan oleh agama. Tapi sekali lagi, hatiku tak sanggup melakukannya. Bukan aku tak mau berkorban, tapi kurasakan hal itu hanya akan memperbesar beban dalam hatiku. Aku tak sanggup hidup dengan bayangan perempuan lain dalam pelukan suamiku. Lagi pula aku tak yakin, mas Bambang bisa bersikap adil untuk membagi cinta dan perhatiannya!

            Selama ini aku sudah mampu hidup mandiri, tanpa bergantung pada suami. Aku punya pekerjaan dan sanggup menghidupi anak-anakku, meski tanpa suami. Jadi tak ada masalah jika aku harus berpisah dengan mas Bambang. Justru aku ingin memberikan kesempatan mas Bambang untuk menunaikan kewajiban dan tanggung jawabnya kepada Sari dan bayi yang dikandungnya. Mereka lebih membutuhkan kehadiran mas Bambang dari pada diriku! (*)

 

Cerpen ini pernah diterbitkan di Majalah Diffa

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun