Aku diam sebentar sambil menggigit bibirku dan menahan lahar yang hendak menjebol dinding ketegaranku. Dengan menarik satu napas dalam, aku kemudian berkata, "Ceraikan aku, Mas!"
      "Apa???" Mas Bambang tersentak kaget.
      "Ceraikan aku. Titik!" tandasku.
      Mas Bambang mendesah panjang sambil menggeleng. Kulihat bola matanya berkaca-kaca. Pecah menjadi beling menancap dalam batinku. Perih!
***
      Aku sudah pikirkan matang-matang ketika memutuskan untuk bercerai dari mas Bambang. Meski pahit, tapi ini adalah harga yang harus ditebus atas semua yang terjadi. Aku tahu, ini sangat berat. Bukan untuk hatiku sendiri, tapi juga anak-anak. Aku tak peduli, orang akan menganggap aku terlalu emosional dan tidak memikirkan perkembangan jiwa serta masa depan anak-anakku. Justru aku ingin melatih anak-anakku untuk menerima kenyataan pahit ini. Mereka mesti tahu, bahwa hidup ini tidak selamanya mulus dan berisi keindahan.
      Lebih baik mereka mengecap buah pahit kehidupan dari pada harus hidup dalam bayang-bayang kepalsuan dan kebobrokan. Agar mereka bisa tumbuh menjadi manusia yang lebih kuat dan tegar. Tidak lemah dan cengeng menghadapi badai atau prahara. Apalah artinya mereka hidup utuh sebagai sebuah keluarga, tapi di balik itu ada kebobrokan yang tersimpan. Aku tidak bisa hidup berpura-pura, menganggap seolah tidak terjadi apa-apa.
      Mungkin ada solusi yang lebih fair, aku berbagi suami dengan Sari demi menjaga keutuhan keluargaku. Karena hal itu diperbolehkan oleh agama. Tapi sekali lagi, hatiku tak sanggup melakukannya. Bukan aku tak mau berkorban, tapi kurasakan hal itu hanya akan memperbesar beban dalam hatiku. Aku tak sanggup hidup dengan bayangan perempuan lain dalam pelukan suamiku. Lagi pula aku tak yakin, mas Bambang bisa bersikap adil untuk membagi cinta dan perhatiannya!
      Selama ini aku sudah mampu hidup mandiri, tanpa bergantung pada suami. Aku punya pekerjaan dan sanggup menghidupi anak-anakku, meski tanpa suami. Jadi tak ada masalah jika aku harus berpisah dengan mas Bambang. Justru aku ingin memberikan kesempatan mas Bambang untuk menunaikan kewajiban dan tanggung jawabnya kepada Sari dan bayi yang dikandungnya. Mereka lebih membutuhkan kehadiran mas Bambang dari pada diriku! (*)
Â
Cerpen ini pernah diterbitkan di Majalah Diffa