"Aku pamit pulang." Aku berpamitan dengan Zainudin usai ngobrol ngalor ngidul di kedainya."Mau ke kota?" tanya Zainudin yang masih menjabat tanganku.Aku mengangguk. "Aku ikut, ya?" pintanya.
Zainudin pun membuntutiku. Ia mengenakan jaket kulit warna hitam dan sepatu kulit. Kaki yang akrab dengan lumpur sawah kini dibungkus sepatu yang gagah. Mungkin akan banyak perempuan yang meliriknya di alun-alun nanti. Dandanannya keren. Wangi parfumnya pun tercium dari radius sepuluh meter. Tak kalah keren, kumis tipisnya. Alisnya tebalnya mirip ulat bulu yang hampir tabrakan di keningnya, ia tutupi dengan kacamata hitam.
"Lama aku baru ke sini lagi." katanya. Ia menarik nafas cukup dalam.
"Ini tempat favoritku saat menjelang malam begini. Aku banyak menghabiskan waktu di sini." aku menyahutinya.
Aku pun menceritakan berbagai hal ketika Haryanto, kawanku masih bugar. Sering ngopi di alun-alun sekedar mengobrolkan ketidakwajaran yang terjadi saat ini. Yang sangat nyata, kemiskinan yang masih menjadi nomor satu. Padahal, segala potensi kekayaan alam yang melimpah ruah, adalah kekuatan hebat untuk sebuah kemajuan tanpa mengasingkan segala kebudayaan yang ada. Kata 'miskin' seolah sanggup menimbulkan perdebatan batin. Sedang di sini tak sedikit yang bisa makan enak dan tidur nyenyak. Tak sedikitpun aku merasa benar, hakikatnya siapapun yang merasa dirinya benar, sesungguhnya ialah yang paling jauh dari kebenaran. Juga siapapun yang merasa tinggi, sesungguhnya ialah orang yang paling rendah.
Hingga larut malam Zubaidah tak menampakkan wujudnya. Saat aku ngobrol dengan Zainudin, mataku menjelajahi sekitaran alun-alun, berharap temukan Zubaidah untuk kukenalkan dengan Zainudin. Sambil menyeruput teh poci, Zainudin melihat sekeliling alun-alun. Tatapan mata penuh arti. Kacamata hitamnya ia buka, ia gantungkan di antara kerah bajunya. Matanya berbinar seolah menyiratkan jutaan kenangan. Mimik wajahnya tak menampakkan ekspresi. Wajahnya hambar. Aku tak berani menanyakan apapun, kubiarkan ia liar dengan kenangannya. Dengan suara berat setelah saling diam beberapa lama, ia mulai bersuara.
"Di tempat ini..., di tempat ini, dulu aku banyak menghabiskan waktu. Sudah lama ini aku baru kembali lagi," katanya terbata-bata. Suaranya lirih.
"Ya, tentunya setiap orang punya kenangan di suatu tempat. Dan ketika kembali ke tempat itu, kenangan akan menggerogoti otak kita," timpalku.
Ia mengangguk. Hembusan nafas panjang ia keluarkan begitu pelan, seolah mengeluarkan semua beban yang menjadikan ia teringat dengan segala kenangannya. Ia pun mengubah posisi duduknya. Dari bersila. Kini Zainudin menyanggakan tubuhnya di kedua tangannya yang menapak tanah di belakangnya. Ia memandangi langit malam. Matanya seolah tengah menghitung jumlah bintang yang tak beraturan. Ia menghiraukan hiruk pikuk alun-alun yang ramai musik dangdut koplo. Juga nyanyian para pengamen kentrung. Kerlap-kerlip lampu warna-warni sama sekali tak membuyarkan perenungannya. Tak lama, Zainudin menyulut rokok kereteknya. Asap putih menyembul dari mulutnya. Kemudian, mengambang dan tersapu angin. Aku mengamatinya sedari tadi.
"Ada yang bisa kubantu?" tanyaku tiba-tiba. Aku kurang betah dengan suasana begini.
Ia menatapku. "Nggak ada." Ia tersenyum. "Ada yang kau tunggu? Dari tadi gelisah begitu." sambungnya.
"Iya perempuan yang biasanya ke sini nggak ada. Mau aku kenalkan ke Mas Zainudin."
Ia tertawa. "Ada-ada saja."
"Perempuan ini montok, bahenol, euh... buah dadanya perfect. Pokoknya mantap. Kalau lihat mungkin tertarik." selorohku. Ia hanya tersenyum sambil menggelengkan kepalanya.
Bukan lautan hanya kolam susah
Indonesia selalu banyak masalah
Dari kasus KKN sampai narkoba
Dari Maluku sampai malu semua
Bukan lautan hanya kolam susah
Tanah adat terjadi huru-hara
Apa sebab apa sebabnya kenapa?
Katanya rakyat kecil minta merdeka
Orang bilang tanah kita tanah surga
Kok korupsi dan kolusi membudaya
Orang bilang negeri ini reformasi
Masih banyak tikus-tikus berdasi
Ini salah siapa ini dosa siapa
Anda tak bisa jawab, kami geleng kepala
Ayo kita tanyakan sama tukang teh kotak
Apa itu teh kotak, teknologi bodoh dan botak
Lantunan kentrung dinyanyikan seorang bocah kecil yang tiba-tiba berdiri di depanku dan Zainudin yang masih menikmati teh poci. Lagu kolam susu yang digubah jadi lagu kritikan yang memang sedang terjadi saat ini. Tanpa takut bocah itu menyanyikannya lantang. Usai menyanyi ia pun minta uang. Sebelumnya aku memintanya duduk dan bersama menikmati teh poci dan tempe mendoan yang kupesan lagi. Wajarnya anak jalanan yang lusuh tampilannya, ia mengenakan kaos oblong warna merah marun, rambut sang sengaja diwarnai. Namun setelah kuajak ngobrol, rupanya bocah itu sangat santun bertutur kata. Sikapnya tak sesemerawut penampilannya. Ia punya tata krama.
Malam ini aku seperti ketiban ndaru. Zainudin berniat membuka cabang kedai susunya di wilayah Pantura. Ia menyerahkan semuanya padaku untuk mengelola usahanya. Orang Jawa menyebutnya, "ketiban ndaru", pada seseorang yang mendapat rejeki tiba-tiba. Ndaru berarti anugrah atau rezeki. Itikad baik ini membuatku semangat untuk cepat kawin. Berkali-kali aku ucapkan matur sembah nuwun kepada Zainudin. Ya, sebuah kepercayaan akan sulit didapat dari orang lain.
"Nanti kamu atur saja semuanya. Untuk resep nanti kita belajar sambil jalan. Hasil nanti kita bagi rata, oke?"
"Siap." ujarku semangat.
Selepas perbincangan yang berujung kesepakatan, ia pun pamit pulang. Alun-alun sudah mulai sepi. Lalu lalang orang-orang seperti lenyap di telan bumi. Pedagang mulai menutup lincaknya. Sebagian menyapu sampah sisa dagangan di sekitaran alun-alun. Mulai sepi. Muda-mudi pulang dari senggamanya di pojok-pojok gelap, juga di tepi pantai. Atau mungkin di hotel kelas melati. Kadang mereka kepergok razia Satpol PP saat tengah membuka kutang perempuannya. Tapi tidak untuk hotel bintang tiga atau bintang lima langganan para pejabat dan pebisnis, yang aman dari kejaran razia. Ini masuk dalam pikiranku, mengapa mereka hanya berani merazia hotel melati. Sungguh tidak adil bukan? Mungkin ini yang lagi-lagi aku katakan sesuatu yang kontras.
"Iya secepatnya saya ke situ, Zu." Aku menutup telepon dari Zubaidah yang mengabarkan anaknya tengah di rawat di rumah sakit. Beberapa hari tak berkabar rupanya Zidan tengah terbaring di rumah sakit. Aku menghela nafas, mengapa Zubaidah baru berkabar soal ini. Sedang kusangka ia baik-baik saja.
Sampai di rumah sakit aku kembali bersua dengan Anita Dewi yang wajahnya mulai menyiratkan kelelahan. Bedaknya mulai luntur oleh keringat yang masih tersisa di keningnya. Polesan lipstik di bibirnya mulai memudar. Aku berbincang sedikit tentang kabarnya yang beberapa hari ini pun hilang. Kedua wanita ini, jarang sekali berkabar. Aku menuju ruang Cendana, tempat Zidan dirawat, Anita memanggilku.
"Minggu ini aku libur, gimana kalau kita jalan lagi?" Ajaknya.
Aku mengangguk. "Kabari saja nanti." Ia tersenyum. "Hati-hati pulangnya, selamat istirahat." Sambungku setelah kutahu jadwal Anita hari ini masuk sif siang.
Bunyi derit pintu yang kubuka mengejutkanku atas Zubaidah. Sungguh tak pernah kusangka. Ia tengah menyuapi Zidan. Ia mengenakan gamis warna merah tua. Kepalanya dibalut kerudung kembang-kembang warna merah jambu. Sungguh pemandangan indah. Ia menyambutku dengan senyum yang anggun.
"Masuk, Mas." Pintanya. Sementara mataku masih terbelalak tak percaya. Wajahnya nampak lebih cantik setelah ia berkerudung. Terbesit di pikiranku, sungguh hebat orang itu, mampu mengubah penampilan Zubaidah lebih baik.
Jika aku diperkenankan bertemu orang itu, aku akan berguru kepadanya. Untuk tahu bagaimana caranya mengubah penampilan seseorang yang lebih beradab dan penuh kesopanan. Karena memang, semua orang pada hakikatnya ingin selalu berubah menjadi yang lebih baik.
Usai menyuapi Zidan dan ia terlelap di balik sakitnya, berkali-kali Zubaidah mengucap terimakasih. Entah apa maksudnya. Ia masih tersenyum. Sesekali memandangku dalam-dalam.
"Kamu memang benar mengubah jalan hidupku. Mulai dari pola pikirku sebagai orang yang selalu mengharap belas kasihan hingga seperti keadaanku saat ini," ungkap Zubaidah dengan nada berat. Matanya berkaca-kaca. Sementara aku belum mengerti apa yang ia ungkapkan.
"Semua orang memang nggak pernah mau  dirinya menggelandang dalam ketidakpastian. Tidak tahu jalan hidupnya mau ke mana. Pada dasarnya semua orang punya tujuan hidup," timpalku. "Lalu, siapa orangnya yang membuat kamu berpenampilan begini, Zu?"
Ia tersenyum. "Ada, orang itu sangat hebat. Ia menyadarkanku, meski ia tak pernah berkata-kata." Jawabnya. Aku masih berpikir sesuatu yang ia maksudkan. "Pokoknya orang itu sangat hebat. Aku pun kagum kepadanya." Sambung Zubaidah sambil memandangi langit-langit ruangan yang bau obat-obaran. Setelahnya, ia diam cukup lama. Aku pun diam. Seketika ruangan ini hening. Zubaidah menundukkan kepalanya dan mengayunkan kakinya di tempat ia duduk.
"Aku masih penasaran dengan orang yang kamu maksud," kataku memecah keheningan malam. Ia menoleh ke arahku yang duduk di kursi terpisah. Dan lagi-lagi ia tersenyum simpul.
"Orang itu sangat baik. Bukan cuma aku yang ia bantu, tapi banyak orang," Zubaidah kembali diam. Menarik nafas dalam-dalam. "Orang itu memiliki kumis yang hampir setiap minggu dikerok. Ya mungkin biar terlihat muda," sambungnya sambil melirikku. Senyum tersimpul malu.
Dari perkataannya, sudah kutebak. Yang ia maksud adalah aku. Namun, mengapa Zubaidah menganggapku yang merngubah penampilannya lebih santun. Padahal aku tak pernah berkata-kata soall itu. Ia masih tersenyum memandangku.
"Karena matamu yang suka jelalatan dan sering melototi dadaku, pantatku yang kamu bilang mirip tempayan, semua lekuk tubuhku. Aku pikir, daripada aku terus menambah dosamu dan lelaki lain, lebih baik aku tutupi dengan setelan serba panjang. Sambil belajar juga jadi perempuan baik. Dan sudah sepantasnya aku berterimakasih..."
Aku melongo mendengarkan perkataan Zubaidah. Aku tak lagi bisa berkata.
"Sebetulnya, laki-laki itu bergantung pada perempuan. Itulah hakikatnya. Setidaknya dosa laki-laki akan berkurang kalau semua perempuan menjaga penampilan." sambung Zubaidah.
Kupikir betul apa yang Zubaidah katakan. Bisa dibayangkan, jika di kota ini semua perempuan muslim bersetelan seperti Zubaidah, ini seperti pemandangan di pesantren. Kota ini jadi kota santri. Melihat setelan Zubaidah, aku teringat perkataan orangtua Anita yang telah memintaku untuk membuat dirinya berhijab. Sudah hampir setengah tahun aku mengiyakan permintaan orangtuanya. Namun sudah selama ini aku belum ngobrol dengan Anita. Mungkin hari Minggu nanti, saat jalan berdua.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H