Mohon tunggu...
E Fidiyanto
E Fidiyanto Mohon Tunggu... Jurnalis - Wartawan Muda

Menulis dengan Hasrat

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Ketiban Ndaru

16 Februari 2019   11:41 Diperbarui: 16 Februari 2019   11:47 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Malam ini aku seperti ketiban ndaru. Zainudin berniat membuka cabang kedai susunya di wilayah Pantura. Ia menyerahkan semuanya padaku untuk mengelola usahanya. Orang Jawa menyebutnya, "ketiban ndaru", pada seseorang yang mendapat rejeki tiba-tiba. Ndaru berarti anugrah atau rezeki. Itikad baik ini membuatku semangat untuk cepat kawin. Berkali-kali aku ucapkan matur sembah nuwun kepada Zainudin. Ya, sebuah kepercayaan akan sulit didapat dari orang lain.
"Nanti kamu atur saja semuanya. Untuk resep nanti kita belajar sambil jalan. Hasil nanti kita bagi rata, oke?"
"Siap." ujarku semangat.

Selepas perbincangan yang berujung kesepakatan, ia pun pamit pulang. Alun-alun sudah mulai sepi. Lalu lalang orang-orang seperti lenyap di telan bumi. Pedagang mulai menutup lincaknya. Sebagian menyapu sampah sisa dagangan di sekitaran alun-alun. Mulai sepi. Muda-mudi pulang dari senggamanya di pojok-pojok gelap, juga di tepi pantai. Atau mungkin di hotel kelas melati. Kadang mereka kepergok razia Satpol PP saat tengah membuka kutang perempuannya. Tapi tidak untuk hotel bintang tiga atau bintang lima langganan para pejabat dan pebisnis, yang aman dari kejaran razia. Ini masuk dalam pikiranku, mengapa mereka hanya berani merazia hotel melati. Sungguh tidak adil bukan? Mungkin ini yang lagi-lagi aku katakan sesuatu yang kontras.

"Iya secepatnya saya ke situ, Zu." Aku menutup telepon dari Zubaidah yang mengabarkan anaknya tengah di rawat di rumah sakit. Beberapa hari tak berkabar rupanya Zidan tengah terbaring di rumah sakit. Aku menghela nafas, mengapa Zubaidah baru berkabar soal ini. Sedang kusangka ia baik-baik saja.

Sampai di rumah sakit aku kembali bersua dengan Anita Dewi yang wajahnya mulai menyiratkan kelelahan. Bedaknya mulai luntur oleh keringat yang masih tersisa di keningnya. Polesan lipstik di bibirnya mulai memudar. Aku berbincang sedikit tentang kabarnya yang beberapa hari ini pun hilang. Kedua wanita ini, jarang sekali berkabar. Aku menuju ruang Cendana, tempat Zidan dirawat, Anita memanggilku.
"Minggu ini aku libur, gimana kalau kita jalan lagi?" Ajaknya.
Aku mengangguk. "Kabari saja nanti." Ia tersenyum. "Hati-hati pulangnya, selamat istirahat." Sambungku setelah kutahu jadwal Anita hari ini masuk sif siang.

Bunyi derit pintu yang kubuka mengejutkanku atas Zubaidah. Sungguh tak pernah kusangka. Ia tengah menyuapi Zidan. Ia mengenakan gamis warna merah tua. Kepalanya dibalut kerudung kembang-kembang warna merah jambu. Sungguh pemandangan indah. Ia menyambutku dengan senyum yang anggun.
"Masuk, Mas." Pintanya. Sementara mataku masih terbelalak tak percaya. Wajahnya nampak lebih cantik setelah ia berkerudung. Terbesit di pikiranku, sungguh hebat orang itu, mampu mengubah penampilan Zubaidah lebih baik.
Jika aku diperkenankan bertemu orang itu, aku akan berguru kepadanya. Untuk tahu bagaimana caranya mengubah penampilan seseorang yang lebih beradab dan penuh kesopanan. Karena memang, semua orang pada hakikatnya ingin selalu berubah menjadi yang lebih baik.

Usai menyuapi Zidan dan ia terlelap di balik sakitnya, berkali-kali Zubaidah mengucap terimakasih. Entah apa maksudnya. Ia masih tersenyum. Sesekali memandangku dalam-dalam.

"Kamu memang benar mengubah jalan hidupku. Mulai dari pola pikirku sebagai orang yang selalu mengharap belas kasihan hingga seperti keadaanku saat ini," ungkap Zubaidah dengan nada berat. Matanya berkaca-kaca. Sementara aku belum mengerti apa yang ia ungkapkan.

"Semua orang memang nggak pernah mau  dirinya menggelandang dalam ketidakpastian. Tidak tahu jalan hidupnya mau ke mana. Pada dasarnya semua orang punya tujuan hidup," timpalku. "Lalu, siapa orangnya yang membuat kamu berpenampilan begini, Zu?"

Ia tersenyum. "Ada, orang itu sangat hebat. Ia menyadarkanku, meski ia tak pernah berkata-kata." Jawabnya. Aku masih berpikir sesuatu yang ia maksudkan. "Pokoknya orang itu sangat hebat. Aku pun kagum kepadanya." Sambung Zubaidah sambil memandangi langit-langit ruangan yang bau obat-obaran. Setelahnya, ia diam cukup lama. Aku pun diam. Seketika ruangan ini hening. Zubaidah menundukkan kepalanya dan mengayunkan kakinya di tempat ia duduk.

"Aku masih penasaran dengan orang yang kamu maksud," kataku memecah keheningan malam. Ia menoleh ke arahku yang duduk di kursi terpisah. Dan lagi-lagi ia tersenyum simpul.
"Orang itu sangat baik. Bukan cuma aku yang ia bantu, tapi banyak orang," Zubaidah kembali diam. Menarik nafas dalam-dalam. "Orang itu memiliki kumis yang hampir setiap minggu dikerok. Ya mungkin biar terlihat muda," sambungnya sambil melirikku. Senyum tersimpul malu.

Dari perkataannya, sudah kutebak. Yang ia maksud adalah aku. Namun, mengapa Zubaidah menganggapku yang merngubah penampilannya lebih santun. Padahal aku tak pernah berkata-kata soall itu. Ia masih tersenyum memandangku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun