"Jadi sudah berapa lama kamu kerja di rumah sakit?" Tanyaku. Ia masih menatapku tak biasa. "Hai..." ucapku sambil melambaikan tangan di depan mukanya. Ia terperangah.Â
Sadar dari lamunannya. "Jenggot kamu seksi," katanya tiba-tiba. "Jadi sudah berapa lama kamu kerja di rumah sakit?" Aku mengulang pertanyaan. "Eh, maaf. Sudah hampir setahun." Jawabnya singkat. Mukanya memerah. Simpul senyum manis di bibirnya.
Ia tersenyum. Dan kembali memainkan sendok dengan cangkir kopinya. Berkali-kali bunyi aduan sendok dan cangkir yang sedari tadi mengiringi obrolan di gubuk warung kopi.
Menjelang sore, aku mengajaknya pulang. Namun ada hal berbeda saat di perjalanan. Anita memegang pinggangku cukup erat. Pikirku, ia takut dengan jalanan dengan turunan tajam, lagi curam kanan kirinya.Â
Tapi, saat perjalanan berangkat tidaklah seperti ini. Bahkan ia berani memelukku dari belakang hingga sangat terasa empuk buah dadanya. Kepalanya menyender di punggungku, hingga membuatku terasa berat membelokkan setang sepeda motorku.
Pukul lima sore aku mampir di rumah Anita. Lagi-lagi disuguhi kopi. Sambutan hangat oleh orangtuanya membuatku betah berlama-lama. Aku pun sempat ngobrol ngalor ngidul dengan orangtuanya yang kira-kira umurnya belum sampai empat lima.Â
Rupanya, ia anak semata wayang dan sangat dimanja olehnya. "Jangan bosan main kemari. Jangan sungkan." katanya ramah saat aku berpamitan. "Bikin biar Anita berhijab." bisik ibu Anita saat kucium punggung tangannya.
Sepanjang perjalanan pulang ada yang terus bergetar. Namun aku tak mempedulikannya. Setelah kulihat layar poselku, lebih dari seratus panggilan dari Zubaidah. Ia pasti sangat marah lantaran aku tak berkabar padanya. Kepergianku dengan Anita pun tanpa ia tahu. Ah, dia bukan sesiapa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H