Hari Minggu, balutan mendung aku berboncengan dengan seorang gadis yang mengajakku jalan tempo hari. Meski cuaca kurang cerah, tak menyurutkan niat si resepsionis rumah sakit yang cantik ini untuk menjelajahi puncak Malio bersamaku.Â
Terus terang, ini kali pertama aku berboncengan dengan gadis cantik. Biasanya, paling banter aku jalan sama Zubaidah yang sudah punya anak. Yang banyak orang menyangka aku adalah suaminya. Rupanya pukul tujuh pagi, Anita sudah dandan dan menungguku di beranda rumahnya.
Perjalanan kali ini akan memakan waktu cukup lama. Menyusuri perbukitan yang rimbun. Jejeran pohon pinus menyisakan bau yang menyengat di sepanjang jalan. Kabut putih masih membalut sela-sela ranting pohon.Â
Bebar-benar sejuk. Sesekali aku menarik nafas panjang menghirup udara segar yang sudah lama aku tak menikmatinya. Jalanan Pantura memang meninggalkan banyak polusi. Sepanjang jalan Anita bercerita soal apapun.Â
Sayangnya, perjalanan ke tempat wisata tersekat hujan lebat. Aku mampir di warung kopi langganan para penderes karet pinus. Di pinggiran jalan. Sudah sampai di puncak Malio. Puncak tertinggi di ujung barat daya Brebes.Â
Sekedar menghangatkan tubuh aku memesan kopi kesukaanku. Sementara Anita tampak sedikit basah. Hingga tembus warna kutangnya warna merah jambu motif kembang-kembang. Ia mulai kedinginan.Â
Di balik bajunya yang basah, kemungkinan bulu-bulu halus di sekitar puting susunya berdiri. Merinding aku membayangkannnya. Kulepas jaketku dan kukenakan pada Anita.Â
Sayang, aku tak mau ia jadi pemandangan gratis para lelaki penderes karet pinus. Memang, kadang wanita tak sadar dengan penampilannya yang memancing syahwat para lelaki, hingga timbullah kejahatan di mana-mana.
Ngomong soal kopi, yang kupesan tadi ternyata bagi orang Jawa mengandung filosofi: Kopi, sebuah akronim 'kopyor pikire' namun sepahit-pahitnya kopi masih ada rasa legi 'legawa ning ati', maka dari itu harus ditambakan gula 'gulangane rasa' yang berasal dari tebu 'anteb ing kalbu'.Â
Setelah itu diwadahi cangkir 'nyacangne pikir'. Dan jangan lupa disiram wedang 'wejangan sing marake padang'. Selanjutnya harus diudheg 'usahane ojo nganti mandeg'. Ditunggu sebentar biar agak adem 'atine digawe lerem'.Â
Yang terakhir, diseruput 'sedoyo rubedo bakal luput'. Itulah filosofi kopi yang dikaitkan dengan kehidupan manakala manusia hanya bisa berkeluh kesah.
Hujan sudah mulai reda. Sedari tadi Anita terdiam kedinginan. Rambutnya basah dan sedikit menutupi wajahnya yang anggun. Gincu di bibirnya yang belah manggis mulai luntur. Juga bedaknya.Â
Wajahnya disapu tisu yang ia bawa. Mungkin ia rasa percuma wajahnya dipoles produk pabrik tapi luntur diguyur hujan. Seketika wajahnya napak natural. Nah, aku lebih suka wanita tanpa make up.Â
Terlihat sederhana. Apalagi pipi Anita yang mirip kuning telor ceplok dengan sedikit lesung di sebelah kirinya membuat senyumnya makin manis. Ia melirikku. Aku pun menatapnya. Di gubuk warung pinggiran jalan ini aku bersamanya mulai ada kesan.Â
Aku menarik nafas panjang. "Kita lanjut lagi," ajakku. Ia merapikan bajunya dan mengibaskan rambutnya di depanku. Nampak sekali lehernya yang mulus.
"Baru kali ini aku pergi sejauh ini. Biasanya pulang dari rumah sakit ya cuma di rumah. Libur pun paling nyuci," kata Anita setelah menaklukan wisata Ranto Canyon. "Bagus pemandangan di sini." Sambungnya.
Saat menyusuri sungai di wisata tersebut, jantung terasa berdegup kencang. Memang, itu wisata minat khusus. Benar-benar menguji adrenalin. Sungai yang panjangnya ratusan meter dengan di kedua sisinya tebung yang tinggi serta medan yang curam, butuh nyali hebat untuk menaklukan wisata sungai bebatuan itu. Wisatawan dibantu banyak tour guide.Â
Dan saking mengerikan, tak sengaja tanganku memegang susu kanan Anita ketika hendak terjun di bebatuan setinggi tujuh meter. Arus yang cukup kuat.Â
Nafas rasanya kembang-kempis setelah lolos dari tantangan saat terjun bebas. Namun, wisata itu sudah mempertimbangkan segala kemungkinan dan menjamin keamanan. Meski baru dibuka tahun lalu, tapi tempat ini ramai dikunjungi. Juga aku dan Anita yang penasaran dengan serpihan surga di barat daya Brebes ini.
Anita tak marah ketika tak sengaja kupegang susu kanannya. Ia hanya menatapku lebih tajam. Tak lama tersenyum lagi. Mungkin ia menyadari faktor ketaksengajan ketika dalam ketakutan dan ketegangan. Aku pun merasa tak enak meski itu tak sengaja, tapi aku rasakan ketika memegangnya sungguh empuk mirip bakpao. Usai ganti baju, aku langsung ajak Anita ke gubuk warung kopi.
Sambil menikmati kopi selepas susur sungai, aku dan Anita ngobrol soal apa saja. Rupanya, ia pun suka kopi. Katanya, dalam sehari ia bisa ngopi sampai tiga kali. Tak beda jauh denganku, yang kadang bisa tiga sampai lima kali ngopi dalam sehari.Â
Aku duduk behadapan di antara meja lesehan. Kusulut rokok Dji Sam Soe, ia tak marah. Anita suka main mata denganku rupanya. Ketika aku lengah, ia benar menatapku dalam-dalam.
"Jadi sudah berapa lama kamu kerja di rumah sakit?" Tanyaku. Ia masih menatapku tak biasa. "Hai..." ucapku sambil melambaikan tangan di depan mukanya. Ia terperangah.Â
Sadar dari lamunannya. "Jenggot kamu seksi," katanya tiba-tiba. "Jadi sudah berapa lama kamu kerja di rumah sakit?" Aku mengulang pertanyaan. "Eh, maaf. Sudah hampir setahun." Jawabnya singkat. Mukanya memerah. Simpul senyum manis di bibirnya.
Ia tersenyum. Dan kembali memainkan sendok dengan cangkir kopinya. Berkali-kali bunyi aduan sendok dan cangkir yang sedari tadi mengiringi obrolan di gubuk warung kopi.
Menjelang sore, aku mengajaknya pulang. Namun ada hal berbeda saat di perjalanan. Anita memegang pinggangku cukup erat. Pikirku, ia takut dengan jalanan dengan turunan tajam, lagi curam kanan kirinya.Â
Tapi, saat perjalanan berangkat tidaklah seperti ini. Bahkan ia berani memelukku dari belakang hingga sangat terasa empuk buah dadanya. Kepalanya menyender di punggungku, hingga membuatku terasa berat membelokkan setang sepeda motorku.
Pukul lima sore aku mampir di rumah Anita. Lagi-lagi disuguhi kopi. Sambutan hangat oleh orangtuanya membuatku betah berlama-lama. Aku pun sempat ngobrol ngalor ngidul dengan orangtuanya yang kira-kira umurnya belum sampai empat lima.Â
Rupanya, ia anak semata wayang dan sangat dimanja olehnya. "Jangan bosan main kemari. Jangan sungkan." katanya ramah saat aku berpamitan. "Bikin biar Anita berhijab." bisik ibu Anita saat kucium punggung tangannya.
Sepanjang perjalanan pulang ada yang terus bergetar. Namun aku tak mempedulikannya. Setelah kulihat layar poselku, lebih dari seratus panggilan dari Zubaidah. Ia pasti sangat marah lantaran aku tak berkabar padanya. Kepergianku dengan Anita pun tanpa ia tahu. Ah, dia bukan sesiapa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H