Hujan sudah mulai reda. Sedari tadi Anita terdiam kedinginan. Rambutnya basah dan sedikit menutupi wajahnya yang anggun. Gincu di bibirnya yang belah manggis mulai luntur. Juga bedaknya.Â
Wajahnya disapu tisu yang ia bawa. Mungkin ia rasa percuma wajahnya dipoles produk pabrik tapi luntur diguyur hujan. Seketika wajahnya napak natural. Nah, aku lebih suka wanita tanpa make up.Â
Terlihat sederhana. Apalagi pipi Anita yang mirip kuning telor ceplok dengan sedikit lesung di sebelah kirinya membuat senyumnya makin manis. Ia melirikku. Aku pun menatapnya. Di gubuk warung pinggiran jalan ini aku bersamanya mulai ada kesan.Â
Aku menarik nafas panjang. "Kita lanjut lagi," ajakku. Ia merapikan bajunya dan mengibaskan rambutnya di depanku. Nampak sekali lehernya yang mulus.
"Baru kali ini aku pergi sejauh ini. Biasanya pulang dari rumah sakit ya cuma di rumah. Libur pun paling nyuci," kata Anita setelah menaklukan wisata Ranto Canyon. "Bagus pemandangan di sini." Sambungnya.
Saat menyusuri sungai di wisata tersebut, jantung terasa berdegup kencang. Memang, itu wisata minat khusus. Benar-benar menguji adrenalin. Sungai yang panjangnya ratusan meter dengan di kedua sisinya tebung yang tinggi serta medan yang curam, butuh nyali hebat untuk menaklukan wisata sungai bebatuan itu. Wisatawan dibantu banyak tour guide.Â
Dan saking mengerikan, tak sengaja tanganku memegang susu kanan Anita ketika hendak terjun di bebatuan setinggi tujuh meter. Arus yang cukup kuat.Â
Nafas rasanya kembang-kempis setelah lolos dari tantangan saat terjun bebas. Namun, wisata itu sudah mempertimbangkan segala kemungkinan dan menjamin keamanan. Meski baru dibuka tahun lalu, tapi tempat ini ramai dikunjungi. Juga aku dan Anita yang penasaran dengan serpihan surga di barat daya Brebes ini.
Anita tak marah ketika tak sengaja kupegang susu kanannya. Ia hanya menatapku lebih tajam. Tak lama tersenyum lagi. Mungkin ia menyadari faktor ketaksengajan ketika dalam ketakutan dan ketegangan. Aku pun merasa tak enak meski itu tak sengaja, tapi aku rasakan ketika memegangnya sungguh empuk mirip bakpao. Usai ganti baju, aku langsung ajak Anita ke gubuk warung kopi.
Sambil menikmati kopi selepas susur sungai, aku dan Anita ngobrol soal apa saja. Rupanya, ia pun suka kopi. Katanya, dalam sehari ia bisa ngopi sampai tiga kali. Tak beda jauh denganku, yang kadang bisa tiga sampai lima kali ngopi dalam sehari.Â
Aku duduk behadapan di antara meja lesehan. Kusulut rokok Dji Sam Soe, ia tak marah. Anita suka main mata denganku rupanya. Ketika aku lengah, ia benar menatapku dalam-dalam.