Malam telah larut diganyang kesunyian. Kali ini Tuhan begitu hebat menciptakan hujan yang mengandung nuansa romantis di setiap jeda rintiknya. Aku bergegas pulang, akan lebih banyak menuliskan kisah cinta Zubaidah yang masih setia menunggu kepulangan suaminya.
Prang! suara piring pecah. Kupikir hanya jatuh, namun tak lama terdengar pertengkaran hebat. Aku menoleh.
"Pergi! Jangan pernah balik lagi. Aku muak lihat kamu sering gonta-ganti perek. Uangmu habis karena lonte-lontemu! Anakmu dibiarkan merengek minta jajan. Tapi kamu masih suka menjilati puting lonte!" Suara seorang wanita lantang terdengar jelas di kupingku.
Seorang lelaki yang dipukul panci hanya terdiam di depan isterinya, lalu pergi.
Peristiwa itu mungkin pernah dialami Zubaidah. Pertengkaran cinta dalam rumah tangga yang masih tak jauh dari persoalan urusan menuntaskan lapar. Mungkin sama persis, hingga suaminya minggat dari rumah dan memilih perempuan langganannya yang waktu itu sempat terbesit kabar di kuping Zubaidah, bahwa perempuan montok itu sudah menjadi madu atas suaminya yang nikah siri.Â
Betapa hancur batin Zubaidah ketika itu. Ia korbankan keluarga demi lelaki yang dicintainya, dan mungkin yang tak pernah dilupakan adalah moment pernikahan yang hanya diwakilkan seorang paman sebagai walinya.
Linangan air mata Zubaidah ketika mengisahkan itu, diusap dengan tangannya yang berdebu. Tak usah ditanya, debu adalah sahabat terbaiknya semenjak hilang dari kasih orangtuanya. Ya, menuliskan kisah Zubaidah adalah mengisahkan orang-orang yang bernasib sama. Dan kekontrasan itu sudah mendarah daging dalam gaya hidup masing-masing manusia saat ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H