Mohon tunggu...
E Fidiyanto
E Fidiyanto Mohon Tunggu... Jurnalis - Wartawan Muda

Menulis dengan Hasrat

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Pinggiran Kota

24 Agustus 2018   11:54 Diperbarui: 25 Agustus 2018   17:41 1522
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi pribadi

Segelas kopi biasa kunikmati di waktu pagi sebelum menyisiri pelosok kota. Entah mengapa aku lebih damai dan merasa terpenuhi tanggung jawabku ketika menjumpai orang-orang pinggiran yang kebanyakan sering mengeluh soal hak-haknya. Berseloroh dengan mereka adalah cara terbaik bagaimana untuk menghargai peluh mereka yang sesekali diusap dengan jemari tua.

Kusulut sebatang rokok sebagai pelengkap kopi pagi. Sambil membaca koran di beranda rumah, aku masih terus memikirkan nasib Zubaidah, sampai hampir kulupa hari ini ada janji dengan Darmaji, seorang juragan bawang di Desa Larangan. Sebuah desa pinggiran kota. Kebanyakan petaninya menanam bawang merah. Bergegaslah aku menemuinya.

Ia mengeluhkan hasil panennya tak semoncer tahun lalu. Kali ini harga bawang di kota sentra bawang merah anjlok. Bagaimana ini, harga bawang anjlok! Banyak petani merugi. Kurasa dari masa tanam sampai panen nggak ada kesalahan. Kasihan nasib para kuli, keluhnya ketika kutemui di gubuk tengah sawah.

Dari kejauhan para buruh tani tampak kelelahan memikul hampir satu kwintal bawang merah sekali pikul. Mereka tak begitu mengerti harga bawang, yang mereka tahu adalah bayaran dari juragan Darmaji untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Mayoritas di antara mereka berusia tua, namun bahunya masih sanggup memikul hingga belasan kali.

Salah seorang buruh tani usia muda, kira-kira belum sampai tiga puluh menghampiriku. Senyumnya ramah. Sesekali mengusap keringat di dahinya dengan handuk kecil yang lusuh. Ia menyuguhiku minum. Nafasnya kembang-kempis dan hampir menetes keringat di bulu matanya. Lama baru main ke sini lagi Mas, ke mana saja? tanyanya.

"Ada janji sama Juragan Darmaji untuk menggali harga bawang saat ini," jawabku.

Buruh tani itu membuka perbincangan lebih mendalam. Ia bercerita soal usahanya yang pelan-pelan mulai merintis. Ia membuka kedai susu murni dan memiliki dua karyawan. Meskipun punya usaha, ia tetap bekerja keras sebagai buruh tani.

"Aku percayakan kedai susu itu kepada karyawanku, sementara aku lebih asyik menghabiskan waktu di tengah sawah. Sempatkanlah mampir di kedaiku, tak jauh dari Kantor Kuwu,"

Tak kusangka, seorang buruh tani yang tampangnya identik dengan lumpur sawah telah memiliki dua karyawan di usahanya. Oh ya, mampirlah ke rumahku. Ada di belakang kedai. Aku tinggal sendiri, dan butuh teman, sambungnya. Ia kembali memikul bawang merah milik Darmaji yang baru saja dipanen.

Aku hampir saja lupa menemui Zubaidah. Kemilau jingga mulai nampak dari ujung langit barat. Satu per satu petani mulai menaruh cangkul di pundaknya. Ada pula yang membawa arit. Mereka pulang dengan langkah gontai. Tak terasa perbincangan dengan para petani di Desa Larangan ini telah mengantar di bibir senja. Aku pun berpamit pada Juragan Darmaji.

Kulihat Zubaidah tampak murung. Anaknya dibiarkan lari-lari di alun-alun kota. Dengan baju yang bolong-bolong tentu saja anak-anak lain yang seusianya ketakutan lantaran penampilannya yang tak senecis dirinya. Bahkan mungkin ada yang mengira itu anak orang gila atau gelandangan yang tak terurus.

Hai Om... sapanya. Ia mendekat, dan memelukku. Mungkin ia rindu dengan sosok ayahnya yang dahulu sering mengajaknya bermain.

"Aku punya banyak kenalan, mudah-mudahan kamu mau kerja," kataku kepada Zubaidah yang masih terduduk lesu.

"Kerja apa? Aku nggak punya ijazah," keluhnya.

Ijazah semua diminta?" tanyaku. Zubaidah mengangguk.

"Tapi, itu soal gampang. Dulu kuliah jurusan apa?"

"Manajemen. Suami jugasama,"

"Nah, temanku buka usaha kecil-kecilan. Dia butuh karyawan untuk di toko rotinya. Memang baru dibuka kemarin, tapi dilakoni saja dulu. Siapa tau rezekimu di situ. Soal anak bawa saja di tempat kerja,"

Setelah perbincangan setengah memaksa, akhirnya Zubaidah bersedia kuantarkan ke tempat tinggalnya. Ia tinggal di sepetak rumah kontrakan yang ukurannya kurang lebih 4x5 meter. Terletak di Desa Terlangu di pinggiran Kali Pemali. Tak ada halaman rumahnya. Hanya teras depan rumah tidak lebih dari satu meter. Beralaskan tanah yang katanya itu adalah rumah bekas kandang kambing. Tentu tak mungkin aku menanyakannya lebih dalam.

Semua itu sudah cukup membuatku mengerti, alasan Zubaidah hanya bisa menjadi wanita peminta-minta. Ia masih setia menunggui suaminya pulang. Untung saja ia tak mengandalkan parasnya yang lumayan cantik agar sedikit dipoles gincu untuk menarik para lelaki di warung remang-remang sepanjang jalan Pantura.

Mungkin jika begitu, penampilan Zubaidah bisa lebih singset dan montok. Badannya berisi, tak seperti sekarang yang kurus tak terurus layaknya tabiat seorang perempuan yang lebih suka dandan.

"Aku pulang. Ini ada rezeki untuk beli bajumu dan anakmu. Jangan lupa besok datang ke toko roti temanku, tak jauh dari rumah sakit. Aku tunggu di situ," kataku, dibalas olehnya anggukan polos.

Malam telah larut diganyang kesunyian. Kali ini Tuhan begitu hebat menciptakan hujan yang mengandung nuansa romantis di setiap jeda rintiknya. Aku bergegas pulang, akan lebih banyak menuliskan kisah cinta Zubaidah yang masih setia menunggu kepulangan suaminya.

Prang! suara piring pecah. Kupikir hanya jatuh, namun tak lama terdengar pertengkaran hebat. Aku menoleh.

"Pergi! Jangan pernah balik lagi. Aku muak lihat kamu sering gonta-ganti perek. Uangmu habis karena lonte-lontemu! Anakmu dibiarkan merengek minta jajan. Tapi kamu masih suka menjilati puting lonte!" Suara seorang wanita lantang terdengar jelas di kupingku.

Seorang lelaki yang dipukul panci hanya terdiam di depan isterinya, lalu pergi.

Peristiwa itu mungkin pernah dialami Zubaidah. Pertengkaran cinta dalam rumah tangga yang masih tak jauh dari persoalan urusan menuntaskan lapar. Mungkin sama persis, hingga suaminya minggat dari rumah dan memilih perempuan langganannya yang waktu itu sempat terbesit kabar di kuping Zubaidah, bahwa perempuan montok itu sudah menjadi madu atas suaminya yang nikah siri. 

Betapa hancur batin Zubaidah ketika itu. Ia korbankan keluarga demi lelaki yang dicintainya, dan mungkin yang tak pernah dilupakan adalah moment pernikahan yang hanya diwakilkan seorang paman sebagai walinya.

Linangan air mata Zubaidah ketika mengisahkan itu, diusap dengan tangannya yang berdebu. Tak usah ditanya, debu adalah sahabat terbaiknya semenjak hilang dari kasih orangtuanya. Ya, menuliskan kisah Zubaidah adalah mengisahkan orang-orang yang bernasib sama. Dan kekontrasan itu sudah mendarah daging dalam gaya hidup masing-masing manusia saat ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun