Mohon tunggu...
Eko Fangohoy
Eko Fangohoy Mohon Tunggu... Editor - Belajar filsafat di UGM, Yogyakarta. Suka membaca, menulis, menyunting naskah, bikin meme, dan, dulu (waktu aplikasinya masih populer), suka mengotak-atik actionscript animasi flash...

Belajar filsafat di UGM, Yogyakarta. Suka membaca, menulis, menyunting naskah, bikin meme, dan, dulu (waktu aplikasinya masih populer), suka mengotak-atik actionscript animasi flash...

Selanjutnya

Tutup

Politik

WikiLeaks: Mengapa Pemimpin Perlu Transparan

15 Desember 2010   01:23 Diperbarui: 4 April 2017   17:28 690
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mereka mencatat beberapa kebijakan presiden Amerika Serikat terkait dengan transparansi dan kerahasiaan suatu informasi. Pada masa Ronald Reagan-yang semboyannya: "Jika ragu, rahasiakanlah"- ada 15 juta dokumen dirahasiakan. Ini jauh lebih banyak ketimbang pada masa Bill Clinton, yang menurut mereka memiliki semboyan "Jika ragu, sebarkanlah". Kebijakan tidak transparan muncul lagi dalam pemerintahan George W. Bush. Pada tahun 2006, terdapat 20,6 juta dokumen yang dirahasiakan, 6 kali lebih banyak dari 3,6 juta dokumen yang dirahasiakan pada zaman Bill Clinton.

Banyak atau seringnya pemerintah atau suatu organisasi merahasiakan sesuatu sebenarnya memiliki konsekuensi yang tidak diinginkan: memperbesar kemungkinan terjadinya kebocoran. WikiLeaks sekali lagi membuktikan hal itu-walaupun jumlah yang dibocorkan ternyata masih jauh sedikit ketimbang yang masih dirahasiakan.

Kasus Enron dan skandal yang berkaitan dengan transparansi lainnya yang menghancurkan perekonomian Amerika pada tahun 2008 lalu membuktikan bahwa bersikap transparan secara sukarela dapat menyelamatkan banyak orang. Tesis lain dari ketiga penulis itu adalah: transparansi juga memperkuat kredibilitas. Menurut mereka, sikap transparan mengisi celah yang kosong yang biasanya sering diisi oleh gosip yang justru semakin membuat masyarakat kehilangan kredibilitas. Ini dikatakan oleh Direktur CIA, Jenderal Michael V. Hayden, yang pada tahun 2007 memilih untuk menyebarluaskan sesuatu yang disebut sebagai "harta keluarga". "Harta" tersebut adalah dokumen internal rahasia yang disimpan rapat-rapat oleh Direktur CIA pada tahun 1973-William R. Colby-yang berisi kegiatan institusi ini, termasuk rencana pembunuhan atas pemimpin Kuba, Fidel Castro. Hayden rupanya berpendapat bahwa sikap transparan justru membantu institusinya untuk berkembang dan memperoleh kredibilitas. Katanya, "Penting bagi CIA, sebuah organisasi yang dibangun atas dasar kerahasiaan, untuk menjadi seterbuka mungkin agar bisa membangun kepercayaan publik dan menyingkirkan mitos di seputar operasinya. Semakin banyak yang bisa diceritakan kepada publik, semakin kecillah peluang bagi pemberitaan yang salah untuk mengisi kekosongan dalam masyarakat" ("Transparency", hlm. 8).

Apa yang dikatakan oleh Hayden tadi sebenarnya menarik untuk diperhatikan. Sepintas, ucapannya memang benar. Namun, praktik dalam dunia nyata sering tidak mendukungnya. Politisi dan para pejabat publik-termasuk di Indonesia-seolah-olah menentang tesis tersebut. Tepatnya, para pemangku jabatan publik cenderung untuk mengaku dirinya transparan, tetapi dalam praktik, justru menjadi yang nomor satu untuk menjadi tidak transparan.

Fakta ini mungkin menjelaskan mengapa banyak kasus-kasus hukum terkatung-katung proses penyelesaiannya-atau setidaknya tidak tuntas dan meninggalkan banyak tanda di tengah masyarakat. Para pejabat publik terkait-terutama para pengambil keputusan dari institusi hukum-menganggap diri sebagai transparan, tetapi ketidakjelasan demi ketidakjelasan hanya membuat orang menilai bahwa para pejabat tersebut sebenarnya bersikap kurang atau bahkan tidak transparan.

Di atas sudah disebut kasus Gayus. Niat Polri untuk menjerat Gayus dengan pasal gratifikasi, bukan penyuapan, dikecam oleh banyak pihak. Bambang Widodo Umar, Guru Besar Ilmu Kepolisian Universitas Indonesia menilai bahwa upaya ini adalah bukti bahwa "ada kekuatan politik perusahaan-perusahaan besar yang diduga menyuap Gayus" (Kompas, 9/12/2010). Apa yang dikatakan Bambang sebenarnya mengkritik ketidaktransparanan penanganan kasus Gayus ini. Mengapa berbagai fakta yang ditemukan tidak dituntaskan? Mengapa masyarakat dibiarkan dengan informasi sepotong yang justru meninggalkan ruang kosong yang dapat diisi dengan olok-olok, cibiran, dan bahkan gosip? Tidak heran jika media massa-seperti Kompas-yang justru hendak mengklarifikasi informasi sepotong ini malah digugat ke Dewan Pers oleh pihak tertentu.

Nama-nama perusahaan besar yang muncul-termasuk grup perusahaan Bakrie-terancam akan tetap muncul sebagai informasi sumir belaka. Ketika orang membutuhkan kejelasan, mereka dihidangkan dengan semacam permainan puzzle yang tidak mengasyikkan. Seperti disinyalir oleh Hayden di atas, permainan puzzle ini adalah semacam ruang kosong yang ditinggalkan oleh para pejabat publik yang sebenarnya bertanggung jawab untuk mengisinya. Permainan puzzle ini adalah ruang bagi banyak orang untuk berolok-olok, bergosip, termasuk merekayasa foto ala Gayus dengan photoshop dan diunggah ke Facebook. Alhasil, negeri ini dipenuhi oleh ruang kosong yang akhirnya diisi orang-orang yang kreatif, entah dengan maksud mengkritik atau menyindir ataupun dengan maksud bergosip dan memfitnah.

Semakin Transparan, Semakin Dimusuhi Publik?

Bennis, Goleman, dan O'Toole sudah menyitir ucapan seorang direktur CIA-suatu organisasi yang paling berpotensi untuk tidak menjadi transparan-terkait alasannya menjadi transparan. Alasan itu adalah: kredibilitas di hadapan publik. Ini menunjukkan bahwa pada tingkat tertentu, sikap transparan dilakukan demi memenangkan tingkat kepercayaan publik yang menurun atas suatu organisasi. Dengan demikian, orang dapat menduga bahwa tingkat kepercayaan publik semakin meningkat jika suatu organisasi semakin transparan. Benarkah? Praktik di negeri ini rupanya sering berkata lain. Selain demi kepentingan sesaat, entah untuk kepentingan politis atau ekonomis, ketakutan untuk bersikap transparan rupanya muncul justru karena ketakutan pada ancaman menurunnya tingkat kepercayaan publik (kita dapat menebak bahwa dalam banyak kasus korupsi yang menggantung, kepentingan ekonomis atau politis lebih kuat ketimbang ketakutan pada yang terakhir ini). Bagaimana bisa demikian?

Bersikap rahasia justru muncul karena pihak terkait merasa memang ada sesuatu yang perlu atau harus dirahasiakan. Sesuatu perlu dirahasiakan karena dua hal. Pertama, sesuatu itu membahayakan banyak orang atau kepentingan yang dianggap lebih besar. Kedua, sesuatu itu bersifat memalukan atau dianggap menjatuhkan kredibilitas (bersifat mempermalukan) suatu organisasi atau figur yang dari segi moral atau legal bersifat innocent. Kita dapat berdebat mengenai alasan yang pertama-terutama mengenai "bahaya" dan "kepentingan lebih besar" yang dimaksud. Namun, alasan yang kedua tidak bisa dianggap ambil lalu. Apa yang disebut sebagai "menjatuhkan kredibilitas"? Mengapa suatu kredibilitas dapat jatuh?

Rupa-rupanya, dalam banyak kasus hukum di negeri ini, alasan kedua sering menjadi dalih andalan yang tersembunyi. Masih hangat dalam benak kita bagaimana kasus "cicak versus buaya" sempat berlarut-larut. Tarik ulur antara berbagai pihak-Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kejaksaan Agung, dan Kepolisian RI-akhirnya berakhir dengan depoonering kasus Bibit-Chandra. Mengapa sampai berlarut-larut? Mengapa sampai ada tarik ulur yang menyita waktu dan perhatian masyarakat-mungkin juga uang negara? Jawabannya sederhana: rasa malu atau takut bahwa kredibilitas salah satu pihak-kita tahu siapa itu-akan menurun, bahkan jatuh. Kasus "cicak versus buaya" adalah contoh bagaimana sikap tidak transparan muncul karena ketakutan bahwa kredibilitas atau citra organisasi dapat jatuh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun