Mohon tunggu...
Eko Fangohoy
Eko Fangohoy Mohon Tunggu... Editor - Belajar filsafat di UGM, Yogyakarta. Suka membaca, menulis, menyunting naskah, bikin meme, dan, dulu (waktu aplikasinya masih populer), suka mengotak-atik actionscript animasi flash...

Belajar filsafat di UGM, Yogyakarta. Suka membaca, menulis, menyunting naskah, bikin meme, dan, dulu (waktu aplikasinya masih populer), suka mengotak-atik actionscript animasi flash...

Selanjutnya

Tutup

Politik

WikiLeaks: Mengapa Pemimpin Perlu Transparan

15 Desember 2010   01:23 Diperbarui: 4 April 2017   17:28 690
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kebocoran dan Diplomasi Tidak Transparan

Heboh terkait "situs pembocoran"-WikiLeaks-ternyata masih berlanjut. Isi bocoran semakin beragam dan semakin "panas". Tajuk Rencana Kompas (9/12/2010) mencatat bahwa dokumen yang sudah dibocorkan mencapai 251.287, dengan 11.000 di antaranya termasuk dalam kategori rahasia. Walaupun apa yang terungkap dalam bocoran itu belum tentu menjadi sikap resmi atau kebijakan final pemerintah Amerika Serikat, namun fenomena bocoran itu memberikan kita suatu pelajaran lain yang penting.

Di dalam fenomena pembocoran ini, selain isi dan proses atau teknologi pembocoran, hal menarik yang bisa disimak adalah orang-orang yang terlibat, baik dalam isi bocoran maupun mereka yang membocorkan. Orang yang terlibat dalam isi bocoran-entah pengirim informasi atau dokumen tersebut maupun penerimanya-menunjukan kualitas karakter tertentu. Sementara itu, mereka yang berniat membocorkan-termasuk Julian Assange, bos WikiLeaks-menunjukkan hal lain yang lagi: alasan urgensi pembocoran.

Dari segi karakter orang-orang yang disebut dalam isi bocoran, juga termasuk si pengirim informasi, kita terperangah jika melihat bagaimana mereka memberi predikat atau penilaian yang sangat berbeda dari apa yang sering muncul sebagai pernyataan resmi di media massa. Paling mencolok adalah bagaimana pemberi informasi atau pihak ketiga pemberi informasi memersepsikan kepribadian pemimpin suatu negara.   Ada beberapa yang menarik terkait dengan hal ini. Misalnya, pemberi informasi memersepsikan Presiden Rusia, Vladimir Putin, sebagai Batman, sementara perdana menterinya sebagai Robin. Selain itu, Silvio Berlusconi, Perdana Menteri Italia, dan Angela Merkel, Kanselir Jerman, dipersepsikan sebagai sebagai orang-orang yang tidak dapat dipercaya, lemah dan tidak kapabel.

Terbayang bagaimana suatu jamuan makan malam atau standing party yang diadakan di kedutaan-kedutaan besar Amerika di seluruh dunia, yang di dalamnya para diplomat dengan sopan dan ramah saling bertegur sapa dan tersenyum. Tentu semua orang tahu bahwa itu adalah suatu "table manner" yang sudah sepantasnya. Namun, WikiLeaks membocorkan satu hal penting: aksi tegur sapa penuh keramahan itu hanyalah suatu kamuflase atau topeng belaka. Mereka yang tampaknya saling memuji dan menghormati dengan kata-kata penuh sopan santun itu menyembunyikan penilaian atau opini yang boleh jadi sangat bertolak belakang dengan apa yang muncul secara kasat mata.

Di samping "diplomasi kamuflase" atau "diplomasi topeng" itu, hal menarik lain adalah alasan yang digunakan WikiLeaks-atau para pendukungnya-dalam membocorkan informasi-informasi tersebut. Alasan transparansi adalah yang sering dipakai. Mereka menuntut dan mempertanyakan transparansi dari para pelaku "diplomasi kamuflase" tersebut-mereka seolah-olah menuntut diplomasi yang transparan ketimbang diplomasi yang tidak transparan.

Terlepas dari konteks diplomasi dan politik luar negeri, kedua hal tersebut, karakter yang tidak transparan dan tuntutan transparansi bagi kepentingan publik, menarik untuk disimak karena penting dalam konteks Indonesia.  Dalam kasus korupsi atau kasus hukum lainnya, masyarakat sering mempertanyakan transparansi proses penanganannya. Ambil contoh, kasus Gayus. Masyarakat butuh transparansi: dari mana saja asal uang yang ada di dalam rekening Gayus. Drama panjang yang sampai berbuntut dengan terbongkarnya fakta bahwa Gayus ternyata sering meninggalkan rumah tahanan hanya membuat banyak orang mencibir dan berolok-olok-terutama foto Gayus yang mengenakan wig ketika menonton tenis di Bali. Kita sering berhenti di situ, tanpa menuntut lebih jauh mengenai aspek transparansi dari fakta-fakta tersebut.

Budaya Transparansi

Warren Bennis, James O'Toole, dan Daniel Goleman ("Transparency", 2008) mengupas bagaimana para pemimpin dapat menciptakan budaya keterbukaan. Seolah meramalkan WikiLeaks, mereka bertiga mencatat bahwa teknologi komputer beserta fitur ikutannya berpotensi untuk mengurangi atau bahkan melawan kecenderungan budaya "tidak transparan" ini (pada waktu itu, mereka hanya mencatat blog dan beberapa peranti lunak komputer sebagai media terdepan dalam urusan "pembocoran rahasia").

Mereka bertiga menulis buku ini dalam konteks Amerika. Di sana, banyak orang merasa bahwa para pemimpin mereka-baik politisi maupun kalangan pemerintahan-sering menutupi banyak hal yang seharusnya diketahui oleh mereka. Mereka bahkan menilai bahwa sikap kurang transparan adalah musuh sejati mereka.

Salah satu tesis yang diusung mereka adalah "kepecayaan dan transparansi selalu berkaitan" (hlm. viii). Tanpa transparansi, orang tidak memercayai perkataan para pemimpinnya. Tesis yang lain adalah: menyatakan diri transparan tidak sama dengan menjadi transparan. Mereka mencatat "Bahkan saat banyak pemimpin perusahaan dan negara menggembar-gemborkan komitmen mereka untuk bersikap transparan, pembatasan kebenaran terus menjadi nilai yang dipegang teguh oleh banyak organisasi. Anda bisa berkata telah meyakini transparansi tanpa mempraktikkannya atau bahkan menginginkannya" (hlm. 2). Dalam hal ini, proses pembungkaman-sikap kurang transparan-sering dilakukan secara sengaja, bahkan sistematis, di dalam suatu struktur organisasi.

Mereka mencatat beberapa kebijakan presiden Amerika Serikat terkait dengan transparansi dan kerahasiaan suatu informasi. Pada masa Ronald Reagan-yang semboyannya: "Jika ragu, rahasiakanlah"- ada 15 juta dokumen dirahasiakan. Ini jauh lebih banyak ketimbang pada masa Bill Clinton, yang menurut mereka memiliki semboyan "Jika ragu, sebarkanlah". Kebijakan tidak transparan muncul lagi dalam pemerintahan George W. Bush. Pada tahun 2006, terdapat 20,6 juta dokumen yang dirahasiakan, 6 kali lebih banyak dari 3,6 juta dokumen yang dirahasiakan pada zaman Bill Clinton.

Banyak atau seringnya pemerintah atau suatu organisasi merahasiakan sesuatu sebenarnya memiliki konsekuensi yang tidak diinginkan: memperbesar kemungkinan terjadinya kebocoran. WikiLeaks sekali lagi membuktikan hal itu-walaupun jumlah yang dibocorkan ternyata masih jauh sedikit ketimbang yang masih dirahasiakan.

Kasus Enron dan skandal yang berkaitan dengan transparansi lainnya yang menghancurkan perekonomian Amerika pada tahun 2008 lalu membuktikan bahwa bersikap transparan secara sukarela dapat menyelamatkan banyak orang. Tesis lain dari ketiga penulis itu adalah: transparansi juga memperkuat kredibilitas. Menurut mereka, sikap transparan mengisi celah yang kosong yang biasanya sering diisi oleh gosip yang justru semakin membuat masyarakat kehilangan kredibilitas. Ini dikatakan oleh Direktur CIA, Jenderal Michael V. Hayden, yang pada tahun 2007 memilih untuk menyebarluaskan sesuatu yang disebut sebagai "harta keluarga". "Harta" tersebut adalah dokumen internal rahasia yang disimpan rapat-rapat oleh Direktur CIA pada tahun 1973-William R. Colby-yang berisi kegiatan institusi ini, termasuk rencana pembunuhan atas pemimpin Kuba, Fidel Castro. Hayden rupanya berpendapat bahwa sikap transparan justru membantu institusinya untuk berkembang dan memperoleh kredibilitas. Katanya, "Penting bagi CIA, sebuah organisasi yang dibangun atas dasar kerahasiaan, untuk menjadi seterbuka mungkin agar bisa membangun kepercayaan publik dan menyingkirkan mitos di seputar operasinya. Semakin banyak yang bisa diceritakan kepada publik, semakin kecillah peluang bagi pemberitaan yang salah untuk mengisi kekosongan dalam masyarakat" ("Transparency", hlm. 8).

Apa yang dikatakan oleh Hayden tadi sebenarnya menarik untuk diperhatikan. Sepintas, ucapannya memang benar. Namun, praktik dalam dunia nyata sering tidak mendukungnya. Politisi dan para pejabat publik-termasuk di Indonesia-seolah-olah menentang tesis tersebut. Tepatnya, para pemangku jabatan publik cenderung untuk mengaku dirinya transparan, tetapi dalam praktik, justru menjadi yang nomor satu untuk menjadi tidak transparan.

Fakta ini mungkin menjelaskan mengapa banyak kasus-kasus hukum terkatung-katung proses penyelesaiannya-atau setidaknya tidak tuntas dan meninggalkan banyak tanda di tengah masyarakat. Para pejabat publik terkait-terutama para pengambil keputusan dari institusi hukum-menganggap diri sebagai transparan, tetapi ketidakjelasan demi ketidakjelasan hanya membuat orang menilai bahwa para pejabat tersebut sebenarnya bersikap kurang atau bahkan tidak transparan.

Di atas sudah disebut kasus Gayus. Niat Polri untuk menjerat Gayus dengan pasal gratifikasi, bukan penyuapan, dikecam oleh banyak pihak. Bambang Widodo Umar, Guru Besar Ilmu Kepolisian Universitas Indonesia menilai bahwa upaya ini adalah bukti bahwa "ada kekuatan politik perusahaan-perusahaan besar yang diduga menyuap Gayus" (Kompas, 9/12/2010). Apa yang dikatakan Bambang sebenarnya mengkritik ketidaktransparanan penanganan kasus Gayus ini. Mengapa berbagai fakta yang ditemukan tidak dituntaskan? Mengapa masyarakat dibiarkan dengan informasi sepotong yang justru meninggalkan ruang kosong yang dapat diisi dengan olok-olok, cibiran, dan bahkan gosip? Tidak heran jika media massa-seperti Kompas-yang justru hendak mengklarifikasi informasi sepotong ini malah digugat ke Dewan Pers oleh pihak tertentu.

Nama-nama perusahaan besar yang muncul-termasuk grup perusahaan Bakrie-terancam akan tetap muncul sebagai informasi sumir belaka. Ketika orang membutuhkan kejelasan, mereka dihidangkan dengan semacam permainan puzzle yang tidak mengasyikkan. Seperti disinyalir oleh Hayden di atas, permainan puzzle ini adalah semacam ruang kosong yang ditinggalkan oleh para pejabat publik yang sebenarnya bertanggung jawab untuk mengisinya. Permainan puzzle ini adalah ruang bagi banyak orang untuk berolok-olok, bergosip, termasuk merekayasa foto ala Gayus dengan photoshop dan diunggah ke Facebook. Alhasil, negeri ini dipenuhi oleh ruang kosong yang akhirnya diisi orang-orang yang kreatif, entah dengan maksud mengkritik atau menyindir ataupun dengan maksud bergosip dan memfitnah.

Semakin Transparan, Semakin Dimusuhi Publik?

Bennis, Goleman, dan O'Toole sudah menyitir ucapan seorang direktur CIA-suatu organisasi yang paling berpotensi untuk tidak menjadi transparan-terkait alasannya menjadi transparan. Alasan itu adalah: kredibilitas di hadapan publik. Ini menunjukkan bahwa pada tingkat tertentu, sikap transparan dilakukan demi memenangkan tingkat kepercayaan publik yang menurun atas suatu organisasi. Dengan demikian, orang dapat menduga bahwa tingkat kepercayaan publik semakin meningkat jika suatu organisasi semakin transparan. Benarkah? Praktik di negeri ini rupanya sering berkata lain. Selain demi kepentingan sesaat, entah untuk kepentingan politis atau ekonomis, ketakutan untuk bersikap transparan rupanya muncul justru karena ketakutan pada ancaman menurunnya tingkat kepercayaan publik (kita dapat menebak bahwa dalam banyak kasus korupsi yang menggantung, kepentingan ekonomis atau politis lebih kuat ketimbang ketakutan pada yang terakhir ini). Bagaimana bisa demikian?

Bersikap rahasia justru muncul karena pihak terkait merasa memang ada sesuatu yang perlu atau harus dirahasiakan. Sesuatu perlu dirahasiakan karena dua hal. Pertama, sesuatu itu membahayakan banyak orang atau kepentingan yang dianggap lebih besar. Kedua, sesuatu itu bersifat memalukan atau dianggap menjatuhkan kredibilitas (bersifat mempermalukan) suatu organisasi atau figur yang dari segi moral atau legal bersifat innocent. Kita dapat berdebat mengenai alasan yang pertama-terutama mengenai "bahaya" dan "kepentingan lebih besar" yang dimaksud. Namun, alasan yang kedua tidak bisa dianggap ambil lalu. Apa yang disebut sebagai "menjatuhkan kredibilitas"? Mengapa suatu kredibilitas dapat jatuh?

Rupa-rupanya, dalam banyak kasus hukum di negeri ini, alasan kedua sering menjadi dalih andalan yang tersembunyi. Masih hangat dalam benak kita bagaimana kasus "cicak versus buaya" sempat berlarut-larut. Tarik ulur antara berbagai pihak-Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kejaksaan Agung, dan Kepolisian RI-akhirnya berakhir dengan depoonering kasus Bibit-Chandra. Mengapa sampai berlarut-larut? Mengapa sampai ada tarik ulur yang menyita waktu dan perhatian masyarakat-mungkin juga uang negara? Jawabannya sederhana: rasa malu atau takut bahwa kredibilitas salah satu pihak-kita tahu siapa itu-akan menurun, bahkan jatuh. Kasus "cicak versus buaya" adalah contoh bagaimana sikap tidak transparan muncul karena ketakutan bahwa kredibilitas atau citra organisasi dapat jatuh.

Sekali lagi, Hayden, sang direktur CIA, mengutarakan hal sebaliknya. Ia tidak ingin memberikan kesempatan kepada pihak mana pun mengisi ruang kosong yang ditinggalkan karena sikap tidak transparan. Ruang kosong itu justru dapat menjadi arena gosip yang dipakai untuk memfitnah organisasinya, dan yang pada gilirannya akan menggerogoti organisasinya perlahan-lahan. Kekosongan transpransi justru membuahkan ketidakpercayaan publik.

Dalam konteks ini, kita juga dapat mengapresiasi sikap Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD, yang justru mengundang Refly Harun untuk langsung memimpin tim investigasi terhadap dugaan atau gosip yang beredar mengenai adanya suap di tubuh MK. Mahfud bisa saja merasa malu dan berusaha mendiskreditkan Refly Harun atau siapa saja yang dianggap menjelekkan citra MK. Namun, ia memilih untuk memperkuat institusi MK dengan cara mengundang pihak luar menginvestigasi institusi yang dipimpinnya ini. Ia bahkan menyatakan siap mundur. "Jika ada hakim MK yang terbukti melakukan itu (suap atau memeras) menurut tim Investigasi Internal MK, Ketua MK akan mundur," ujarnya (Kompas, 9/12/2010). Tentunya, upaya untuk bersikap transparan dipilih Mahfud dengan harapan agar institusi MK akan tetap selalu bersih dan memiliki kredibilitas yang tinggi di mata masyarakat. Justru transparansi itulah yang membuat institusi MK dapat menjadi salah satu lembaga negara yang dapat diandalkan (walaupun perkembangan kemudian-rencana melaporkan Refly Harun-seolah-olah memperlihatkan kecenderungan sebaliknya).

Apa yang diperlihatkan oleh Hayden, Mahfud MD, dan, dalam batasan tertentu, WikiLeaks, adalah bahwa bersikap transparan tidak harus dihindari. Justru sikap transparan membawa suatu organisasi semakin kuat, meningkat kredibilitasnya, serta dalam kasus tertentu dapat "menyelamatkan" banyak orang. Tentu tidak semua hal perlu dibuat transparan, tetapi semua hal yang perlu diketahui oleh orang banyak-apalagi demi kepentingan orang banyak-perlu dibuat transparan agar orang banyak itulah, sebagai salah satu pemangku kepentingan (stakeholders), dapat menilai, mengkritik, dan mengambil manfaat atau pelajaran dari situ. Selain itu, keberanian suatu organisasi untuk bersikap transparan tentang dirinya sendiri, termasuk untuk informasi yang buruk sekalipun, justru memperlihatkan bahwa organisasi itu percaya diri, jujur, dan berani berubah ke arah yang lebih baik. Oleh karena itu, kepada para pejabat publik, bersikaplah transparan. Jangan sampai menunggu WikiLeaks membocorkan "rahasia memalukan" Anda di internet!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun