Mohon tunggu...
Eko Armunanto
Eko Armunanto Mohon Tunggu... profesional -

Wiraswasta dan aktifis social media. Juga menulis untuk media online Kanada Digital Journal — http://digitaljournal.com/user/775892/news

Selanjutnya

Tutup

Politik

Quick Count: Bodoh Boleh, Bodohi Orang Jangan — Dialog Imajiner

16 Juli 2014   23:13 Diperbarui: 18 Juni 2015   06:08 473
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_348102" align="alignnone" width="620" caption="Pasangan Capres-Cawapres, by adaterus.com"][/caption]


APAKAH JOKOWI-JK TERLALU DINI MENDEKLARASIKAN KEMENANGANNYA?


Pada periode I Obama, senator Mc Cain justru menggunakan hasil quick count untuk MENGAKU KALAH lalu memberi ucapan selamat beberapa jam SEBELUM kubu Obama deklarasi kemenangan, pada posisi suara masuk sekitar 80%.


Lain halnya kubu Capres No.1, pada awalnya mereka bilang kenapa tidak menunggu real count KPU, belakangan mereka latah bikin deklarasi kemenangan bermodalkan laporan lembaga survei abal2.


LALU BAGAIMANA TENTANG MENUNGGU REAL COUNT KPU?


Oke, coba jawab pertanyaan berikut ini yang saya buat menggunakan alur pikir seperti itu:


Jika anda disuruh untuk dalam waktu dua minggu meneliti apakah rakyat Puas atau Tidak Puas terhadap hasil implementasi kebijakan tertentu, bagaimana anda melakukannya?


A. Bertanya kepada 250 juta rakyat Indonesia satu per satu (analogi real count KPU)


B. Menggunakan ilmu statistik random sampling dengan katakanlah 2000 responden sebagai sampelnya (analogi quick count)


Coba itu dijawab.


TAPI MEREKA BILANG QUICK COUNT TIDAK VALID SEBAB SAMPELNYA TIDAK LEBIH DARI 1 PERSEN?


Salah, kurang dari 1 persen pun bisa sangat valid, terlebih lagi dalam situasi yang cuma ada dua alternatif. Seharusnya yang dipertanyakan bukan jumlah sampel (sampling size), tapi tingkat representasi sebarannya (sampling distribution). Sampling sebesar 30 persen pun menjadi tidak valid jika tersebar hanya di satu wilayah saja, katakanlah Propinsi A. Besarnya sampel hanya terkait dengan pengelolaan error margin.


LALU KENAPA MEREKA BILANG SAMPEL ITU TIDAK VALID, APAKAH MEREKA BODOH NGGAK NGERTI ILMU STATISTIK?


Ah, bukan bodoh tapi membodohi. Mereka berusaha membodohi rakyat dengan cara menawarkan logika sesat seperti ini: "Mosok yang dihitung cuma satu persen dari seluruh jumlah TPS, nggak lebih dari satu persen, sisanya dikemanain? Nggak masuk akal kan?". Coba tanya mereka, maunya berapa persen TPS supaya valid? Sembilan puluh persen? Lalu yang sepuluh persen dikemanain?


KALAU BEGITU MEMBODOHI UNTUK APA? BUKANKAH DENGAN BEGITU SESUNGGUHNYA MEREKA SUDAH TAHU BAKAL KALAH PADA PENGUMUMAN 22 JULI NANTI?


Wah, silahkan tanyakan itu ke mereka kenapa begitu. Kalau saya yang jawab nanti dibilangnya saya menyebar tuduhan tanpa bukti


SECARA ANALITIS SAJA


Meskipun sahih jika metodologinya benar dan entri datanya tidak manipulatif, tujuan quick count bukan untuk dijadikan dasar menentukan siapa pemenangnya, si A atau si B. Tujuan utama quick count adalah mengawal perhitungan manual yang di Indonesia dilakukan oleh KPU, mengingat proses itu mengandung potensi human error. Nah human error inilah kata kuncinya, mereka hingga sekarang belum mau mengaku kalah sepertinya karena masih mau mencoba masuk dari sisi human error ini lewat berbagai macam upaya intervensi.


LALU BAGAIMANA DENGAN PERNYATAAN BAHWA LEMBAGA SURVEI YANG MEMENANGKAN JOKOWI-JK BIAS KEPENTINGAN, ADA YANG KATANYA MENJADI BAGIAN DARI TIMSES, BAHKAN KATANYA ADA YANG TERIMA BAYARAN


Oke, saya masuk lewat pengertian lembaga survei bayaran, apakah itu dilarang? Tidak. Mereka hidup dari jualan jasa survei sebagaimana halnya katakanlah dokter hidup dari jualan jasa pengobatan, atau pengacara hidup dari jualan jasa pembelaan hukum.


Seharusnya menilai independensi itu bukan soal surveinya dibayar atau tidak dibayar tapi dibayar untuk apa, untuk mendapatkan hasil obyektif faktual sesuai kaidah baku ilmu statistik dan metodoligi riset atau survei manipulatif abal-abal melalui rekayasa proses demi menyesatkan persepsi publik dalam rangka kepentingan politik tertentu? Tarohannya adalah kredibilitas mereka sendiri, mereka tidak bakal bisa hidup tanpa kredibilitas, oleh sebab itu track record menjadi penting.


LEMBAGA SURVEI YANG QUICK COUNTNYA MEMENANGKAN JOKOWI-JK SUDAH DIAUDIT METODOLOGINYA DAN DINYATAKAN TIDAK BERMASALAH, SEMENTARA ITU LEMBAGA SURVEI YANG MEMENANGKAN PASANGAN RIVALNYA TIDAK MAU DIAUDIT DAN SEBAGAI AKIBATNYA DIPECAT OLEH DEWAN ETIK. PANDANGAN ANDA?


Soal kenapa tidak mau diaudit, pandangan saya ya serahkan saja pada publik bagaimana menafsirkannya.


DIA BILANG DEWAN ETIK TIDAK INDEPENDEN KARENA DI DALAMNYA ADA PETINGGI LEMBAGA SURVEI RIVAL


Itu bisa diatasi dengan cara melakukan audit secara transparan di hadapan banyak pihak yang kompeten di bidang itu dan netral


SEKARANG BAGAIMANA JIKA SETELAH METODOLOGI DAN PROSES SAMPLING LEMBAGA SURVEI DIAUDIT DAN DINYATAKAN TIDAK BERMASALAH TERNYATA HASILNYA TETAP BEDA DENGAN REAL COUNT KPU?


Lakukan hitung ulang di KPU, di sinilah peran quick count sebagai pengontrol kerja KPU. Pedomannya bakunya adalah jika kedua pihak (lembaga survei dan KPU) sama-sama tidak berbuat salah (nakal), hasil mengenai siapa pemenangnya PASTI SAMA, si A atau si B, bedanya hanya pada selisih prosentase perolehan suara. Sudah banyak proses hitung manual di Indonesia terkait pileg maupun pilpres yang mengindikasikan personil KPU rentan kecurangan (politik uang dsb), itu membuat KPU secara kelembagaan menjadi pantas dipertanyakan kredibilitasnya, atau selalu menjadi target kecurigaan.


BAIKLAH, TERIMA KASIH ATAS PENJELASANNYA


Sama-sama, salam Kompasiana


You Are What You Do, Not What You Said You are

Orang dinilai dari tingkah lakunya, bukan dari bicaranya. Ngomong siap kalah bukan berarti siap kalah. Ribuan kali Capres No.1 ngomong siap kalah, tingkah lakunya bertolak belakang.

— Eko Armunanto

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun