Mohon tunggu...
Eko Armunanto
Eko Armunanto Mohon Tunggu... profesional -

Wiraswasta dan aktifis social media. Juga menulis untuk media online Kanada Digital Journal — http://digitaljournal.com/user/775892/news

Selanjutnya

Tutup

Politik

Quick Count: Bodoh Boleh, Bodohi Orang Jangan — Dialog Imajiner

16 Juli 2014   23:13 Diperbarui: 18 Juni 2015   06:08 473
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Salah, kurang dari 1 persen pun bisa sangat valid, terlebih lagi dalam situasi yang cuma ada dua alternatif. Seharusnya yang dipertanyakan bukan jumlah sampel (sampling size), tapi tingkat representasi sebarannya (sampling distribution). Sampling sebesar 30 persen pun menjadi tidak valid jika tersebar hanya di satu wilayah saja, katakanlah Propinsi A. Besarnya sampel hanya terkait dengan pengelolaan error margin.


LALU KENAPA MEREKA BILANG SAMPEL ITU TIDAK VALID, APAKAH MEREKA BODOH NGGAK NGERTI ILMU STATISTIK?


Ah, bukan bodoh tapi membodohi. Mereka berusaha membodohi rakyat dengan cara menawarkan logika sesat seperti ini: "Mosok yang dihitung cuma satu persen dari seluruh jumlah TPS, nggak lebih dari satu persen, sisanya dikemanain? Nggak masuk akal kan?". Coba tanya mereka, maunya berapa persen TPS supaya valid? Sembilan puluh persen? Lalu yang sepuluh persen dikemanain?


KALAU BEGITU MEMBODOHI UNTUK APA? BUKANKAH DENGAN BEGITU SESUNGGUHNYA MEREKA SUDAH TAHU BAKAL KALAH PADA PENGUMUMAN 22 JULI NANTI?


Wah, silahkan tanyakan itu ke mereka kenapa begitu. Kalau saya yang jawab nanti dibilangnya saya menyebar tuduhan tanpa bukti


SECARA ANALITIS SAJA


Meskipun sahih jika metodologinya benar dan entri datanya tidak manipulatif, tujuan quick count bukan untuk dijadikan dasar menentukan siapa pemenangnya, si A atau si B. Tujuan utama quick count adalah mengawal perhitungan manual yang di Indonesia dilakukan oleh KPU, mengingat proses itu mengandung potensi human error. Nah human error inilah kata kuncinya, mereka hingga sekarang belum mau mengaku kalah sepertinya karena masih mau mencoba masuk dari sisi human error ini lewat berbagai macam upaya intervensi.


LALU BAGAIMANA DENGAN PERNYATAAN BAHWA LEMBAGA SURVEI YANG MEMENANGKAN JOKOWI-JK BIAS KEPENTINGAN, ADA YANG KATANYA MENJADI BAGIAN DARI TIMSES, BAHKAN KATANYA ADA YANG TERIMA BAYARAN


Oke, saya masuk lewat pengertian lembaga survei bayaran, apakah itu dilarang? Tidak. Mereka hidup dari jualan jasa survei sebagaimana halnya katakanlah dokter hidup dari jualan jasa pengobatan, atau pengacara hidup dari jualan jasa pembelaan hukum.


Seharusnya menilai independensi itu bukan soal surveinya dibayar atau tidak dibayar tapi dibayar untuk apa, untuk mendapatkan hasil obyektif faktual sesuai kaidah baku ilmu statistik dan metodoligi riset atau survei manipulatif abal-abal melalui rekayasa proses demi menyesatkan persepsi publik dalam rangka kepentingan politik tertentu? Tarohannya adalah kredibilitas mereka sendiri, mereka tidak bakal bisa hidup tanpa kredibilitas, oleh sebab itu track record menjadi penting.


LEMBAGA SURVEI YANG QUICK COUNTNYA MEMENANGKAN JOKOWI-JK SUDAH DIAUDIT METODOLOGINYA DAN DINYATAKAN TIDAK BERMASALAH, SEMENTARA ITU LEMBAGA SURVEI YANG MEMENANGKAN PASANGAN RIVALNYA TIDAK MAU DIAUDIT DAN SEBAGAI AKIBATNYA DIPECAT OLEH DEWAN ETIK. PANDANGAN ANDA?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun