Soal kenapa tidak mau diaudit, pandangan saya ya serahkan saja pada publik bagaimana menafsirkannya.
DIA BILANG DEWAN ETIK TIDAK INDEPENDEN KARENA DI DALAMNYA ADA PETINGGI LEMBAGA SURVEI RIVAL
Itu bisa diatasi dengan cara melakukan audit secara transparan di hadapan banyak pihak yang kompeten di bidang itu dan netral
SEKARANG BAGAIMANA JIKA SETELAH METODOLOGI DAN PROSES SAMPLING LEMBAGA SURVEI DIAUDIT DAN DINYATAKAN TIDAK BERMASALAH TERNYATA HASILNYA TETAP BEDA DENGAN REAL COUNT KPU?
Lakukan hitung ulang di KPU, di sinilah peran quick count sebagai pengontrol kerja KPU. Pedomannya bakunya adalah jika kedua pihak (lembaga survei dan KPU) sama-sama tidak berbuat salah (nakal), hasil mengenai siapa pemenangnya PASTI SAMA, si A atau si B, bedanya hanya pada selisih prosentase perolehan suara. Sudah banyak proses hitung manual di Indonesia terkait pileg maupun pilpres yang mengindikasikan personil KPU rentan kecurangan (politik uang dsb), itu membuat KPU secara kelembagaan menjadi pantas dipertanyakan kredibilitasnya, atau selalu menjadi target kecurigaan.
BAIKLAH, TERIMA KASIH ATAS PENJELASANNYA
Sama-sama, salam Kompasiana
You Are What You Do, Not What You Said You are
Orang dinilai dari tingkah lakunya, bukan dari bicaranya. Ngomong siap kalah bukan berarti siap kalah. Ribuan kali Capres No.1 ngomong siap kalah, tingkah lakunya bertolak belakang.
— Eko Armunanto
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI