Mohon tunggu...
Eko Ari Prabowo
Eko Ari Prabowo Mohon Tunggu... Guru - Laki-laki

Saya adalah seorang laki-laki yang senang menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kado Terindah

15 Juni 2020   05:51 Diperbarui: 15 Juni 2020   05:47 533
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Hari ini ulang tahun istriku. Aku harus memberikan hadiah yang lain dari biasanya. Baju, telepon seluler, bunga, dan cincin, semuanya sudah biasa diberikan kepada seseorang yang berulangtahun. Hampir semua benda yang berhubungan dengan ulang tahun ini sudah  pernah kuberikan untuk istriku. Aku bertekad pada ulang tahunnya  tahun ini, aku memberinya kado yang berbeda.

Semalaman  aku  memikirkan kado apa yang akan kuberikan kepada istriku. Ketika aku terjaga di pagi hari, aku belum menemukannya. Aku masih teringat pertemuan pertama dengan perempuan yang kelak menjadi istriku. Saat itu kami masih sama-sama mahasiswa di semester akhir. Kami sering berjalan bersama, saling bercerita, dan bercanda. Kadang-kadang kami juga saling marah, tetapi hal itu justru membuat kami lebih mengenal sifat masing-masing. Energi hidupku selalu muncul setiap kali kami bertemu. Hingga pada suatu hari ketika kami sedang menikmati rintiknya hujan di kala senja, di pelataran kampus setelah kuliah sore itu, aku menyatakan isi hati untuk berbagi hidup dengannya. Aku ingin mengajaknya berbagi tawa, canda, dan air mata sepanjang hidup kami. Ia menyebut itu kado terindah dariku.

Sepulang mengajar, aku menyusuri ruas-ruas jalan di kota siang itu untuk mencari kado buat istriku. Sepeda motorku melaju, menembus siang yang terik. Ketika motorku terhenti di lampu merah, aku melihat seorang lelaki tua, bertubuh agak bongkok, dan mengenakan peci hitam mendorong sebuah gerobak. Di atas gerobak tersebut duduk tiga anak kecil dengan baju lusuhnya dan rambut yang kusut. Mereka seakan menikmati perjalanan di atas gerobak yang didorong ayahnya.

Ketika melihat sebuah bungkusan yang tergantung di gerobaknya, aku iseng bertanya apa isinya. Lelaki itu menjawab, "Kado untuk istri saya." Jawabannya membuat aku tersentak, karena aku juga tengah memikirkan kado untuk istriku.

Lampu hijau menyala.  Lelaki itu mendorong kembali gerobaknya menyusuri jalan raya berdebu. Ketiga anaknya berceloteh gembira. Kurang lebih seratus meter di belakangnya, diam-diam aku mengikuti gerobak itu. Aku penasaran ingin tahu seperti apa kehidupan keluarga lelaki ini, yang telah memiliki sebuah kado untuk ulang tahun istrinya.

Cukup lama aku mengikuti gerobak itu dari belakang. Kurang lebih setengah jam,  akhirnya gerobak itu memasuki sebuah gang yang sempit. Aku sengaja memarkir sepeda motorku agak jauh dari gang itu, lalu aku berjalan kaki mengikuti gerobak tersebut. Dari kejauhan aku melihat  gerobak berhenti dekat gubuk reyot yang berada di antara tumpukan barang bekas. Aku melihat lelaki itu menaruh gerobaknya di bawah sebatang pohon di muka rumahnya. Di pintu berdiri seorang perempuan tua. Ketiga anak kecil yang berada di atas gerobak segera berlari menuju perempuan itu. Setelah mencium tangannya, ketiga anak kecil itu masuk ke dalam rumah. Begitu pula dengan lelaki tersebut. Tubuh bongkoknya bergerak mendekati istrinya, lalu ia menghilang dalam rumah.

            Aku semakin penasaran dan ingin mengetahui keadaan gubuk itu. Tanpa pikir panjang, aku segera mendekati gubuk itu.

            "Assalamualaikum," suaraku lirih.

            "Waalaikum salam." Tiba-tiba muncul perempuan tua yang tadi aku.

            "Maaf, Bu, bisa ketemu dengan Bapak?"

Tiba-tiba dari dalam muncul lelaki pendorong gerobak.

            "Lho, Kamu yang tadi di dekat lampu merah itu ya. Koq bisa sampai ke sini?"

            "Iya, Pak, tadi saya mengikuti Bapak dari belakang. Maaf Pak."

            "Maksud kamu mengikuti Bapak untuk apa?"

            "Bukan begitu maksudnya, Pak. Saya hanya ingin tahu saja, koq Bapak sudah mempunyai kado ulang tahun untuk istri Bapak. Kebetulan istri saya juga berulang tahun hari ini dan saya masih bingung akan memberinya apa."

            "Oh, begitu, mungkin kebetulan saja, Nak. Mari masuk dulu. Kebetulan istri Bapak baru saja masak. Mari makan sama-sama kami." Lelaki itu tidak mempedulikan jawabanku yang mungkin terdengar aneh atau mengada-ada. Tidak terlihat rasa curiga di wajahnya. Ia malah menganggapku sebagai tamu.

            Aku segera masuk ke gubuk itu. Dinding-dindingnya sudah berlubang di sana sini. Lantainya terbuat dari tanah yang keras, beratap seng, tanpa plafon. Di ruang itu aku melihat beberapa barang bekas teronggok di sudut. Ada kursi tamu yang sudah mengelupas lapisan plastiknya. Mungkin bapak ini menemukannya di tempat pembuangan sampah. 

            Aku segera duduk di kursi itu. "Tidak usah repot-repot Pak. Saya tidak lama koq. Saya mau pamit dulu."

            "Sabar dulu, Nak. Tidak baik menolak rezeki. Ini makanannya sudah siap."

Aku melihat ibu tua itu menyajikan makanan di lantai yang dialasi tikar penuh tambalan. Seketika itu juga ketiga anak kecil  itu duduk di tikar. Aku dan lelaki penarik gerobak  menyusul mereka duduk di tikar.

Mataku tertuju kepada ketiga anak kecil yang duduk berdekatan. Kuperhatikan wajah mereka satu persatu. Ada sesuatu yang lain dari ketiganya. Tidak ada kemiripan di antara mereka. Hidung, bibir, dan mata tidak menandakan kalau mereka bersaudara. Apakah mereka ini betul-betul anak dari suami istri ini? Bukankah sepasang suami istri ini sudah terlihat tua sedangkan ketiga anaknya masih kecil-kecil? Begitu banyak pertanyaan dan dugaan yang berkeliaran di benakku.

            Hidangan yang tersedia sangat sederhana. Hanya nasi putih dan beberapa kerupuk. Aku miris melihatnya. Tampak ketiga anak tersebut berebutan ingin mengambil nasi terlebih dahulu. Mereka terlihat lapar sekali.

            " Anak-anak, sabar dulu. Kita berdoa. Malu sama Om ini kalau kalian berebutan seperti itu," tegur ibu mereka.

            Peristiwa yang terjadi di rumah itu jalin-menjalin dan terekam dalam memoriku. Lelaki tua itu memimpin doa, lalu memberikan kado kepada istrinya dan mereka pun makan bersama. Nasi yang kukunyah terasa lama sekali aku telan. Nasi dan lauk kerupuk bukan penyebab semangatku hilang, tetapi aku tengah terhanyut melihat suasana keluarga yang berada di depan mataku.

            Aku terkesan pada kasih sayang lelaki tua ini terhadap istrinya. Kado yang diberikannya entah apa, yang pasti tidak mahal dan barangkali barang bekas yang dipungutnya dari tempat sampah. Biarpun hidup mereka jauh dari berkecukupan, mereka menghadapi semua itu dengan senyum. Tanpa tangis, tanpa keluhan. Ingin rasanya aku memberikan kado yang membahagiakan istriku yang membuatnya berbinar seperti tatapan ibu tua saat menerima kado suaminya. Tapi aku masih tidak tahu kado apa yang harus aku berikan untuknya.

            Ketika aku sedang memperhatikan ketiga anak kecil membereskan piring-piring yang ada di depanku, lelaki tua itu mendekatiku.

            "Tadi Bapak perhatikan, kamu memandang ketiga anakku lama sekali. Bapak tahu, pasti ada sesuatu yang akan kamu tanyakan."

            "Ah, tidak, Pak," jawabku kaget. Aku merasa ia membaca pikiranku sejak tadi.

            "Bapak ngerti koq apa yang kamu pikirkan. Kamu pasti ingin bertanya kan, kenapa wajah ketiga anak bapak tidak mirip dan masih kecil-kecil? Padahal Bapak dan Ibu di sini sudah tua?"

            Aku mengangguk, tapi merasa tidak nyaman karena khawatir menyinggung perasaannya.

            "Ceritanya panjang, Nak. Ketiga anak itu memang bukan anak kandung Bapak dan Ibu. Mereka adalah anak pungut yang Bapak pelihara sejak bayi. Sejak Bapak dan ibu menikah, kami belum dikaruniai anak. Dan secara kebetulan ketiga anak ini diberikan Tuhan melalui sebuah kejadian yang tidak Bapak duga sebelumnya. Dan juga ajaibnya semua peristiwa itu bertepatan dengan hari ulang tahun istri Bapak."

            Ia pun mulai bercerita tentang ketiga anaknya. Kadang-kadang suaranya agak lirih, takut terdengar ketiga anaknya. Ia masih merahasiakannya di depan ketiga anak tersebut bahwa mereka bukan putra-putra kandungnya. Biarlah mereka merasa ia dan istrinya adalah orang tua kandung mereka.

            Mendengar cerita lelaki itu, hatiku semakin trenyuh. Seorang pemulung yang hidupnya serba kekurangan bisa merawat ketiga anak yang bukan lahir dari rahim istrinya dengan penuh kasih sayang. Aku hanya bisa berdoa semoga umur kedua orang ini agak lama hingga bisa membesarkan ketiga anaknya hingga mandiri. Aku tidak bisa membayangkan seandainya salah satu dari mereka berdua dipanggil Tuhan ketika ketiga anaknya masih kecil.

Aku segera pamit setelah mendengar cerita itu. Kalau terlalu lama  di situ airmataku pasti menetes. Lelaki tua dan istrinya melepas kepergianku di depan gubuk mereka.

            Kuraih sepeda motor motor dan berpikir kembali untuk mencari kado yang akan kuberikan kepada istriku. Aku sengaja berlama-lama di jalan, di atas motorku, sambil apa kado yang harus aku berikan dan di mana aku dapat memperolehnya.

            Hari menjelang senja. Aku segera melarikan sepeda motorku pulang ke rumah. Terpaksa ulang tahun istriku kali ini tanpa kado. Mudah-mudahan istriku memakluminya. Hampir setiap tahun aku selalu memberikan kado untuknya, sehingga aku khawatir ia merasa kecewa dengan ketiadaan kado tahun ini. Aku benar-benar cemas. Tapi aku kemudian berpikir bahwa selama ini aku selalu memberinya kado tanpa bertanya apa yang diinginkannya. Ia selalu terlihat bahagia menerima kadoku, tapi siapa tahu ia menginginkan kado lain yang tidak diutarakannya. Aku menilai kebahagiaannya dari sudut pandangku sebagai pemberi kado, tapi tidak pernah meminta pendapatnya. Setelah bertahun-tahun aku merasa inilah saatnya istrinya meminta kado yang diinginkannya. Memberi kejutan tidak lagi hal utama sekarang. Mendengar harapannya lebih penting.

            Ketika aku sampai di gerbang rumah, istriku menyambut kedatanganku.

            Di malam hari, setelah kami menikmati makan malam bersama, aku mengucapkan selamat ulang tahun kepada istriku. Aku berterus-terang belum memiliki kado untuknya.

            "Selamat ulang tahun, Ma, semoga Mama selalu sehat. Papa sengaja tidak memberikan kado, karena Papa ingin kali ini Mama yang memberitahu apa kado yang Mama inginkan."

            Ia tersenyum, lalu berkata bahwa kado berupa benda dapat dibeli atau dicari, tapi ia merasa bersyukur bahwa kami tetap bersama dalam suka dan duka, menjalani kehidupan yang penuh canda dan air mata hingga hari ini, meski kami belum kunjung dikaruniai buah hati. Cinta, katanya, adalah kado terindah yang pernah aku berikan untuknya. Aku terharu. Kami berpelukan.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun