Hari ini ulang tahun istriku. Aku harus memberikan hadiah yang lain dari biasanya. Baju, telepon seluler, bunga, dan cincin, semuanya sudah biasa diberikan kepada seseorang yang berulangtahun. Hampir semua benda yang berhubungan dengan ulang tahun ini sudah  pernah kuberikan untuk istriku. Aku bertekad pada ulang tahunnya  tahun ini, aku memberinya kado yang berbeda.
Semalaman  aku  memikirkan kado apa yang akan kuberikan kepada istriku. Ketika aku terjaga di pagi hari, aku belum menemukannya. Aku masih teringat pertemuan pertama dengan perempuan yang kelak menjadi istriku. Saat itu kami masih sama-sama mahasiswa di semester akhir. Kami sering berjalan bersama, saling bercerita, dan bercanda. Kadang-kadang kami juga saling marah, tetapi hal itu justru membuat kami lebih mengenal sifat masing-masing. Energi hidupku selalu muncul setiap kali kami bertemu. Hingga pada suatu hari ketika kami sedang menikmati rintiknya hujan di kala senja, di pelataran kampus setelah kuliah sore itu, aku menyatakan isi hati untuk berbagi hidup dengannya. Aku ingin mengajaknya berbagi tawa, canda, dan air mata sepanjang hidup kami. Ia menyebut itu kado terindah dariku.
Sepulang mengajar, aku menyusuri ruas-ruas jalan di kota siang itu untuk mencari kado buat istriku. Sepeda motorku melaju, menembus siang yang terik. Ketika motorku terhenti di lampu merah, aku melihat seorang lelaki tua, bertubuh agak bongkok, dan mengenakan peci hitam mendorong sebuah gerobak. Di atas gerobak tersebut duduk tiga anak kecil dengan baju lusuhnya dan rambut yang kusut. Mereka seakan menikmati perjalanan di atas gerobak yang didorong ayahnya.
Ketika melihat sebuah bungkusan yang tergantung di gerobaknya, aku iseng bertanya apa isinya. Lelaki itu menjawab, "Kado untuk istri saya." Jawabannya membuat aku tersentak, karena aku juga tengah memikirkan kado untuk istriku.
Lampu hijau menyala. Â Lelaki itu mendorong kembali gerobaknya menyusuri jalan raya berdebu. Ketiga anaknya berceloteh gembira. Kurang lebih seratus meter di belakangnya, diam-diam aku mengikuti gerobak itu. Aku penasaran ingin tahu seperti apa kehidupan keluarga lelaki ini, yang telah memiliki sebuah kado untuk ulang tahun istrinya.
Cukup lama aku mengikuti gerobak itu dari belakang. Kurang lebih setengah jam,  akhirnya gerobak itu memasuki sebuah gang yang sempit. Aku sengaja memarkir sepeda motorku agak jauh dari gang itu, lalu aku berjalan kaki mengikuti gerobak tersebut. Dari kejauhan aku melihat  gerobak berhenti dekat gubuk reyot yang berada di antara tumpukan barang bekas. Aku melihat lelaki itu menaruh gerobaknya di bawah sebatang pohon di muka rumahnya. Di pintu berdiri seorang perempuan tua. Ketiga anak kecil yang berada di atas gerobak segera berlari menuju perempuan itu. Setelah mencium tangannya, ketiga anak kecil itu masuk ke dalam rumah. Begitu pula dengan lelaki tersebut. Tubuh bongkoknya bergerak mendekati istrinya, lalu ia menghilang dalam rumah.
      Aku semakin penasaran dan ingin mengetahui keadaan gubuk itu. Tanpa pikir panjang, aku segera mendekati gubuk itu.
      "Assalamualaikum," suaraku lirih.
      "Waalaikum salam." Tiba-tiba muncul perempuan tua yang tadi aku.
      "Maaf, Bu, bisa ketemu dengan Bapak?"
Tiba-tiba dari dalam muncul lelaki pendorong gerobak.