" Anak-anak, sabar dulu. Kita berdoa. Malu sama Om ini kalau kalian berebutan seperti itu," tegur ibu mereka.
      Peristiwa yang terjadi di rumah itu jalin-menjalin dan terekam dalam memoriku. Lelaki tua itu memimpin doa, lalu memberikan kado kepada istrinya dan mereka pun makan bersama. Nasi yang kukunyah terasa lama sekali aku telan. Nasi dan lauk kerupuk bukan penyebab semangatku hilang, tetapi aku tengah terhanyut melihat suasana keluarga yang berada di depan mataku.
      Aku terkesan pada kasih sayang lelaki tua ini terhadap istrinya. Kado yang diberikannya entah apa, yang pasti tidak mahal dan barangkali barang bekas yang dipungutnya dari tempat sampah. Biarpun hidup mereka jauh dari berkecukupan, mereka menghadapi semua itu dengan senyum. Tanpa tangis, tanpa keluhan. Ingin rasanya aku memberikan kado yang membahagiakan istriku yang membuatnya berbinar seperti tatapan ibu tua saat menerima kado suaminya. Tapi aku masih tidak tahu kado apa yang harus aku berikan untuknya.
      Ketika aku sedang memperhatikan ketiga anak kecil membereskan piring-piring yang ada di depanku, lelaki tua itu mendekatiku.
      "Tadi Bapak perhatikan, kamu memandang ketiga anakku lama sekali. Bapak tahu, pasti ada sesuatu yang akan kamu tanyakan."
      "Ah, tidak, Pak," jawabku kaget. Aku merasa ia membaca pikiranku sejak tadi.
      "Bapak ngerti koq apa yang kamu pikirkan. Kamu pasti ingin bertanya kan, kenapa wajah ketiga anak bapak tidak mirip dan masih kecil-kecil? Padahal Bapak dan Ibu di sini sudah tua?"
      Aku mengangguk, tapi merasa tidak nyaman karena khawatir menyinggung perasaannya.
      "Ceritanya panjang, Nak. Ketiga anak itu memang bukan anak kandung Bapak dan Ibu. Mereka adalah anak pungut yang Bapak pelihara sejak bayi. Sejak Bapak dan ibu menikah, kami belum dikaruniai anak. Dan secara kebetulan ketiga anak ini diberikan Tuhan melalui sebuah kejadian yang tidak Bapak duga sebelumnya. Dan juga ajaibnya semua peristiwa itu bertepatan dengan hari ulang tahun istri Bapak."
      Ia pun mulai bercerita tentang ketiga anaknya. Kadang-kadang suaranya agak lirih, takut terdengar ketiga anaknya. Ia masih merahasiakannya di depan ketiga anak tersebut bahwa mereka bukan putra-putra kandungnya. Biarlah mereka merasa ia dan istrinya adalah orang tua kandung mereka.
      Mendengar cerita lelaki itu, hatiku semakin trenyuh. Seorang pemulung yang hidupnya serba kekurangan bisa merawat ketiga anak yang bukan lahir dari rahim istrinya dengan penuh kasih sayang. Aku hanya bisa berdoa semoga umur kedua orang ini agak lama hingga bisa membesarkan ketiga anaknya hingga mandiri. Aku tidak bisa membayangkan seandainya salah satu dari mereka berdua dipanggil Tuhan ketika ketiga anaknya masih kecil.