Mohon tunggu...
Eko Ari Prabowo
Eko Ari Prabowo Mohon Tunggu... Guru - Laki-laki

Saya adalah seorang laki-laki yang senang menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Parfumku, Parfummu, dan Parfum Istriku

11 Juni 2020   15:50 Diperbarui: 11 Juni 2020   16:08 223
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sore yang gersang. Angin kemarau bertiup kencang. Debu beterbangan mengiringi deru motorku meninggalkan sebuah gedung di kotaku tempat berlangsungnya kegiatan sastra. Kutarik gas motorku menembus keramaian sore itu. Aku harus bergegas ke rumah. Aku belum melaksanakan kewajibanku, sholat ashar.

            Namun, laju motorku harus tertahan di lampu merah. Saat motorku berhenti tepat di belakang sebuah mobil, tiba-tiba ada sebuah motor berhenti tepat di sebelah kiriku. Pandanganku tetap menatap ke depan. Hidungku mencium aroma wangi melati. Aku jadi teringat sesuatu. Teringat seseorang yang pernah mengisi hidupku. Saat memoriku belum mencapai sebuah kesimpulan, tiba-tiba ada suara memanggiku,

            “Mas Ari, Mas Ari….!”

            Aku mencari sumber suara itu dan ternyata berasal dari motor di sebelahku. Kubuka kaca penutup helm dan memandang wajahnya. Seorang wanita berjilbab, dengan mata sipitnya, dan alis yang hitam berbaris rapi.

            “Mas Ari, aku Mey-Mey, masih ingat nggak?”

            Antara kaget dan tidak percaya, memoriku mulai merajut benang-benang peristiwa masa laluku.

“Mey-Mey..!” pikirku dalam hati. Mey-Mey adalah cinta pertamaku ketika mahasiswa dulu. Kami harus berpisah karena berbeda keyakinan. Tapi, bukankah Mey-Mey tidak berjilbab? Apa aku tidak salah lihat?

            Mey-Mey memberi kode agar motorku menepi mengikuti motornya yang terlebih dahulu menuju ke bawah rindangan sebuah pohon. Aroma melati dari parfum khas Mey-Mey yang selalu aku rindukan, menari-nari di depan hidungku. Aroma yang membawaku ke masa silam, penuh air mata dan canda tawa.

            Ketika Mey-Mey membuka helmnya, aku benar-benar yakin bahwa dia itu Mey-Mey. Hidungnya, matanya, alisnya, bibirnya, dan hmmm…. bau parfumnya yang melati itu membawaku ingin menjalin lagi kisah-kisah lamaku.

            “Mas Ari, aku Mey-Mey, masih ingat nggak? Pasti mas Ari pangling ya lihat Mey-Mey. Mas, Mey-Mey sudah mualaf, sekarang nama Mey-Mey menjadi Maimunah, Mas.”

            “Iya, Mey eh Maimunah, mas sampai pangling lihat kamu sekarang. Gimana ceritanya sampai kamu jadi mualaf?” tanyaku penasaran.

            “Aduh, Mas ceritanya panjang, nanti aja ya, kita ketemuan lagi! Sekarang aku harus buru-buru, nih, ada keperluan! Ini nomor hapeku.”

            Kami saling bertukar nomor hape dan Mey-Mey pun meninggalkanku dengan segudang tanda tanya. Mey-Mey, seorang gadis yang pertama kali aku kenal di kampus. Saat itu, pada waktu registrasi sebagai mahasiwa baru kami berkenalan. Awalnya secara tak sengaja, aku dan dia sama-sama mengantri untuk memasukkan berkas. Kami pun merasa nyambung  dan nyaman  ketika kami saling bertukar cerita. Hari demi hari kami lewati bersama. Kami tidak perduli kalau ada tembok pemisah  yang akan memisahkan kami. Dan itu harus kami lalui. Hingga akhirnya, kami sepakat untuk berpisah karena memang tidak mungkin bersatu.

Aku melirik jam tanganku. Sudah pukul lima sore. Aku belum sholat ashar, bisa keburu maghrib nih kalau tetap di sini melamunkan Mey-Mey. Ketika aku menyalakan motorku, aroma melati parfum Mey-Mey masih tercium di dekatku. Ku cium pakaian dan sekitar motorku.

            “Celaka”, pikirku. “Bau parfum melati-nya Mey-Mey menempel di kemeja dan badanku. Padahal jarak aku dan Mey-Mey tadi tidak terlalu dekat. Koq aroma melatinya bisa menempel? Bisa bahaya nih”, pikirku. Kalau sampai istriku menciumnya, bisa tidak dapat jatah nih nanti malam. Aku memutar otak bagaimana menghilangkan aroma melati di badanku.

            Segera kutancapkan gas motorku menuju masjid terdekat. Mungkin dengan shalat ashar di mesjid bau aroma melati Mey-Mey bisa hilang. Sebetulnya, agak malu juga shalat ashar jam segini di masjid. Masa’ shalat asharnya mendekati maghrib. Tapi, aku tidak peduli. Daripada didiamkan istri selama semalam, lebih baik aku  shalat di masjid.

            Diiringi pandangan beberapa mata orang yang duduk di pelataran masjid, aku menyelesaikan shalatku dan menuju motor untuk menuju ke rumah. Saat aku sudah duduk di atas motor, aku mencium baju dan badanku. Ternyata aroma melati itu masih tercium dari badanku. Kenapa bisa begini? Apakah ini yang namanya kekuatan cinta pertama, tidak pernah mati sampai kapan pun? Bisa runyam nih, kalau tidak diatasi.

            Tanpa pikir panjang, aku menuju ke sebuah supermarket dekat masjid. Kubeli sebuah sabun dan handuk kecil. Aku kembali ke masjid dan menuju ke kamar mandi. Mungkin dengan mandi di masjid, aroma melati tersebut bisa hilang.

            Hampir setengah bak mandi aku habiskan untuk menghilangkan aroma melati itu. Setelah aku keluar dari kamar mandi dan menuju ke motorku, aku kembali mencium badanku. Masya Allah, aroma melati itu belum juga hilang. Waktu sudah mendekati maghrib. Pasti istriku sudah gelisah menanti kepulanganku. Aku harus sms dia. Terpaksa aku harus membohongi istriku. Mau gimana lagi. Masak aku harus jujur. Berat juga sih membohongi istri. Padahal aku sudah berjanji untuk tidak membohongi dia lagi, sejak beberapa bulan lalu. Aku sudah kapok selalu membohongi istriku. Namun, untuk kali ini, aku terpaksa melakukan hal itu. Kata orang bohong itu tidak apa-apa demi kebaikan. Tidak tahu orang siapa yang mengatakan kata-kata demikian. Benar tidaknya hanya Tuhan yang tahu.

            Melalui sms, kukabari bahwa aku telat pulang karena kepala sekolah menyuruhku ke sekolah karena ada pekerjaan yang harus kuselesaikan. Istriku tidak bertanya lebih lanjut. Dia hanya berpesan agar tidak terlalu larut pulangnya. Dia sudah seratus persen percaya dengan janjiku untuk tidak membohongi dia lagi.

            Azan magrib berkumandang dengan syahdu. Aku yang tidak terbiasa melakukan shalat berjamaah di masjid, terpaksa harus melakukannya. Mungkin setelah shalat berjamaah di masjid, bau melati itu bisa hilang.

            Setelah berzikir dan berdoa, aku melangkahkan kaki ke luar masjid. Sesampainya di pelataran masjid, aku kembali mencium bau badanku untuk memastikan apakah aroma melati itu benar-benar sudah hilang. Semangatku hilang ketika ternyata bau melati itu masih ada di badanku. Aku harus gimana lagi? Aku bingung memikirkan semua ini. Apakah aku harus menunaikan shalat Isya lagi di masjid supaya bisa hilang?

            Setelah berpikir dan menimbang dengan berbagai hal, langkah kuayunkan menuju ke dalam masjid. Kuambil Al Quran dan kubaca ayat demi ayat sambil menunggu waktu isya. Sesuatu yang belum pernah aku kerjakan. Menunggu waktu isya di masjid dengan membaca Al Quran.

            Kalau nanti setelah shalat isya dan bau melati itu belum hilang, aku pasrah untuk kembali pulang ke rumah. Dan ternyata dugaanku benar. Dengan tubuh yang lunglai aku menaiki motorku dengan perlahan menuju ke rumah dengan aroma melati Mey-Mey alias Maimunah yang masih melekat di badanku. Aku pasrah saja apa yang akan dilakukan istriku. Aku siap menerima segala sanksi dari istriku. Aku sudah menyiapkan jurus-jurus untuk meyakinkan istriku dan meminta maaf.

            Sesampai di gerbang rumah, aku yang membuka gerbang itu sendiri. Dengan langkah pelan, aku langsung menuju kamar mandi . Mandi sepuasnya dengan sabun cair kesukaanku dengan air sebanyak-banyaknya. Setelah mandi kucoba mencium bau badanku. Sialan, masih bau melati. Ya, Allah, apa yang salah dengan diriku. Kucari istriku. Ternyata, dia masih sibuk di dapur. Segera aku menuju tempat tidur, membuka selimut dan berusaha memejamkan mata.

            Namun, setengah jam berlalu. Mataku sulit terpejam. Bayangan Mey-Mey alias maimunah, bau parfumnya, menganggu di benakku. Tiba-tiba istriku masuk kamar dan tidur di sebelahku. Aku berusaha memejamkan mata dan segera tidur. Namun, ketahuan istriku bahwa aku belum bisa tidur.

            “Pa, gimana kegiatannya?”

            “Eh, asyik, Ma, narasumbernya sastrawan hebat dari Jakarta, Namanya Pak Yanusa Nugroho. Pengarang cerpen itu lho yang kumpulannya cerpennya Bulan Bugil Bulat, yang salah satunya cerpennya mama sangat suka, yang judulnya “Bu Guru Dwita”.

            “Yanusa Nugroho, Bu Guru Dwita… ya, mama ingat yang kisahnya tentang seorang guru wanita yang diminta papinya untuk jadi dokter malah jadi guru ya. Terus yang kenal sangat dekat dengan semua muridnya yang salah satunya orang Papua ya.”

            “Betul Ma, yang anak-anak Bu Guru Dwita memberi kado ultah berupa karangan ucapan selamat ulang tahun pas ulangan bahasa Indonesia.”

            “Wah, mama bisa minta tanda tangan nih, sama Pak Yanusa besok. Mama boleh ikut nggak?”

            “Boleh, Ma”…….

            “Pa…. Aku boleh nanya sesuatu nggak?”

            “Nanya apa Ma…?” Aku mulai cemas dengan pertanyaan istriku.

            “Mama mencium bau yang aneh dari tubuh papa?”

Jantungku berdegup kencang. “Maksud Mama?”

            “Bau badan papa tidak seperti biasanya, koq bau badan papa seperti bau bunga mawar?”

Seketika aku terhenyak. Semua kecemasanku berubah menjadi keherananku. Sejak tadi aku gelisah dengan wangi melati, namun istriku mencium wangi mawar dari tubuhku.

            “Ah. Hidung mama saja yang lagi nggak bener tuh!”

            “Bener, Pa, mama lagi nggak flu koq!”

            “Sudah ah, sudah malam papa ngantuk, besok saja kita bahas ya!”

Kami berdua pun tidur dalam pikiran masing-masing. Tengah malam sekitar pukul 01,00 aku terbangun. Rasanya aku ingin membuka facebook-ku yang telah beberapa hari ini tak kubuka. Kutulusuri status teman-temanku. Sampai pada satu status dari seorang teman lama mahasiswaku, tenggorokanku tercekat membacanya.

            Innalillahi wainnalilahi rojiun, telah berpulang ke rahamtullah teman dan sahabat perjuangan kita Mey-Mey alias Maimunah, tadi siang pukul 14.00 di Rumah Sakit Sarjito Yogyakarta karena terserang kanker rahim. Semoga arwah teman kita mendapat tempat yang layak di sisi Allah SWT. Amin.

            Tanpa terasa butiran bening membasahi pipiku. Ya Allah, engkau maha baik. aku pernah mendengar kalau orang yang mualaf, dosa-dosanya yang telah lalu dihapuskan dan dia seperti bayi yang baru lahir. Ya Allah tempatkanlah Mey-Meyku alias Maimunahku di sisi-Mu, tempat yang layak, tempat yang damai bagi dirinya. Amin…

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun