Maapkan ya Allah. Saya bukannya tak patuh. Tapi saya melihat kenyataan bahwa, untuk ke kantor saya berani datang. Untuk ke pasar saya juga berani. Walau keduanya karena terpaksa.
Lalu, saya kok merasa tak punya nyali untuk tidak mampir ke masjid. Itupun dekat dengan rumah saya. Itupun dengan standar kesehatan yang disepakati bersama.
Saffa, anak bungsu saya sempat mendebat. Pahalanya sama kok bi. Atau, tak ada hadist yang membolehkan sholat jemaah berjarak.
Perbedaan pendapat ini sedemikian tajam. Saya memahami alasan itu. Tapi soal hati tak ada yang tahu. Itu persoalan hamba dengan penciptanya. Namanya hablun minallah. Tak seorangpun tau rahasianya.
Hidayah atau panggilan itu hak prerogatif Allah. Saya hanya follower saja. Ketika hati ini menangis merasakan nikmatnya sholat, di saat itulah bathin merasa tenang.
Sholat fardhu tak banyak yang datang. Rata-rata 10 orang saja. Jemaahnya saya kenal dengan baik.
Seperi zhuhur hari ini, hanya empat orang yang sholat. Jadi kalaupun masih ada keraguan bagi yang melaksanakan sholat di masjid. Tak usahlah menambah stigma bahwa orang Islam bandel dan tak paham aturan.
Ini hanya masalah hati dan akal sehat. Kita sepakat berbeda, dan kita sepakat saling memahami. Tak usah menambah label. Tak usah merasa risau. Barakallah.
24/05/2020.
#IdulFitri1441H
#TulisanEO
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H