Ironisnya di pintu masjid terpampang spanduk yang menyatakan bahwa pengurus telah memutuskan bahwa tak ada sholat jumat di masjid.
Jumatan saja tidak dilaksanakan, apalagi sholat wajib harian. Spanduk itu memang untuk menunjukkan kepada mayarakat umum atau pendatang bahwa masjid mengikuti aturan yang telah disepakati pemerintah.
Lalu, tadi pagi, di rakaat pertama, di takbir ke tujuh, air mata saya merebak. Saya berusaha menahan untuk tak jatuh.
Dada kok rasanya menggelegak. Saya merasa sholat di bawah tekanan. Di bawah cibiran. Menjadi terasing. Merasa masjid ini bukanlah tempat suci.
Seolah sholat di sarang penyakit. Saya kuatkan bathin menahan jangan sampai isakan saya terdengar.
Sejak beberapa hari memamg sudah ada kasak kusuk. Beberapa teman menginformasikan bahwa ada jemaah yang tetap berkeinginan sholat Id di masjid.
Saya sempat menyela diskusi. Jangan sampai ada eksklusivitas di masjid. Ingat, ini rumah Allah. Siapapun berhak datang.
Sepakat, sholat dilaksanakan satu jam setelah sholat shuhuh. Tak ada pengumuman resmi. Siapapun yang memang melangkahkan ke masjid berhak ikut.
Ruangan masjid dibelah dua. Ruang buat jemaah lelaki lebih banyak. Pasca sholat shubuh saya mengambil inisiatif.
Saya sampaikan jemaah Shubuh bahwa secara resmi masjid tak melaksanakan sholat Id. Tapi, bagi yang berkenan mau sholat silahkan datang dengan syarat. Sholat dimulai pukul 06.15. Singkat, padat, jelas.
Lampu masjid dimatikan. Speaker pun hanya terdengar di bagian dalam masjid. Suara takbir tak sekeras seperti biasanya.