Di balik senyuman manis yang selalu disuguhkan oleh sang istri setiap pagi, ada gejolak perasaan yang membuat hati Arman tak tenang. Arman, seorang manajer di sebuah perusahaan besar, selalu merasa bangga dengan prestasinya di tempat kerja. Namun, kebanggaan itu mulai ternodai ketika seorang sekretaris baru, Rina, bergabung dengan timnya.
Rina, dengan paras yang memikat dan sikap manja yang membuat hati Arman bergetar, adalah magnet bagi perhatian siapa pun di kantor. Mata Rina yang tajam selalu berhasil menembus dinding pertahanan Arman, membuatnya merasakan sesuatu yang sudah lama terkubur sejak ia menikah. Setiap kali Arman melihat Rina, hatinya berbisik, tetapi akal sehatnya berteriak.
Suatu hari, ketika Arman hendak mengucapkan selamat ulang tahun kepada Rina, ia mengetik pesan sederhana, "Selamat ulang tahun, Rina." Tak lama kemudian, ia menerima balasan yang membuatnya bingung: "Terima kasih, Bapak Kesayangan." Arman terdiam sejenak, merasa bingung. Di sisi lain, Rina pun merasa aneh dan tidak mengerti mengapa ia menulis jawaban seperti itu. Rina adalah gadis baik-baik yang tidak mudah jatuh hati, apalagi pada pria yang sudah beristri. Namun, ada sesuatu tentang Arman yang membuat perasaannya tidak menentu.
Sejak saat itu, perasaan mereka semakin sulit diabaikan. Arman sering memikirkan Rina saat malam tiba, teringat senyumnya, sorotan matanya yang tajam, dan sikap manja yang membuatnya merasa hidup kembali. Sementara itu, Rina juga tak luput dari kebingungan. Dia adalah gadis yang pintar dan cantik, yang selalu menjaga batasan dalam berhubungan. Namun, perasaan terhadap Arman, meski ia tahu itu salah, terus tumbuh dan membingungkannya.
Di rumah, Arman melihat senyum istrinya, Sinta, yang selalu setia menantinya. Sinta adalah wanita yang luar biasa, penuh kasih dan perhatian. Namun, bayangan Rina terus menghantui pikiran Arman, membuatnya merasa bersalah. Malam itu, sambil menatap langit-langit kamar, Arman memutuskan untuk mengambil langkah yang benar. Ia harus menjaga komitmennya terhadap keluarga, betapapun sulitnya itu.
Keesokan harinya, Arman mengajak Rina berbicara di ruangannya. Dengan nada tegas namun lembut, Arman berkata, "Rina, aku sangat menghargai hubungan kita di tempat kerja, tetapi kita harus menjaga profesionalisme. Aku sudah berkeluarga, dan aku harus setia pada komitmen itu."
Rina, dengan mata yang berkilau, tersenyum pahit. "Aku mengerti, Pak. Aku juga tidak ingin menghancurkan apa yang sudah Anda bangun dengan istri Anda. Terima kasih telah jujur."
Namun, percakapan itu tidak berhenti di situ. Ada perasaan yang belum tersampaikan, dan mereka tahu bahwa mereka harus menutup bab ini dengan benar.
"Rina, aku harus mengakui sesuatu," kata Arman dengan suara berat. "Perasaan ini... sangat nyata. Tapi aku tidak bisa terus seperti ini. Masa depanmu masih panjang. Kamu cantik dan pintar, dan kamu pantas mendapatkan seseorang yang bisa memberimu seluruh hati mereka, tanpa ada yang tertinggal."
Rina mengangguk, matanya berkaca-kaca. "Aku juga merasakan hal yang sama, Pak. Tapi aku tahu kita tidak bisa melanjutkannya. Ini salah. Masa depan anak-anak Anda dan keluarga Anda lebih penting. Kita harus berpikir rasional."
Arman dan Rina memutuskan untuk membuat komitmen bersama. Mereka berjanji untuk menjaga rahasia kasih sayang yang pernah tumbuh di antara mereka ini seumur hidup. Dengan perasaan berat, mereka menyatakan perasaan sayangnya satu sama lain dan memutuskan untuk mengakhiri hubungan yang hanya beberapa hari saja.