Mohon tunggu...
Eko N Thomas Marbun
Eko N Thomas Marbun Mohon Tunggu... Penulis - I Kerani di Medan Merdeka Utara I

Tertarik pada sepak bola, politik dan sastra

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Sedikit

22 Desember 2022   13:09 Diperbarui: 22 Desember 2022   13:23 320
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Satu-satunya foto ibu dengan penulis ketika masih kecil (Dokumen Pribadi)

Perempuan Batak Yang Kupanggil Ibu

Apa yang terbersit dalam pikiranmu tentang seorang perempuan batak? Keras kepala? Galak? Ceplas-ceplos? Itu perkiraan relatif. Aku ingin mengenalkan padamu tentang seorang perempuan batak. Saya memanggilnya ibu. Seorang janda dengan 7 anak, 2 menantu dan 1 cucu.

Perempuan itu namanya Nurmala boru Siagian. Setelah memiliki cucu, orang-orang memanggilkan Oppung Lionel boru. Pendidikannya cukup rendah, hanya pernah mengecap pedidikan sekolah menengah pertama. Satu yang terendah di antara kakak-kakaknya. Itu pun izajahnya tidak ada.

Ibu berjodoh dengan seorang lelaki biasa-biasa kalau tidak bisa disebut miskin. Seorang honorer di balai pembibitan pertanian. Setelah mengalami jatuh-bangun, dia mengantarkan bapak menjadi pejabat di daerah. Yah, dibalik lelaki yang sukses, ada perempuan yang banting tulang! Perjuangan ibu tidak sampai di situ. Dia juga berhasil mengantarkan 6 anak menyelesaikan pendidikan di perguruan tinggi negeri dan 1 anak menjadi imam katolik (Pastor).

Bagi saya, tuntas sudah tanggung jawabnya sebagai seorang istri dan ibu. Tapi, ternyata tidak! Sebagai seorang perempuan batak yang sudah menjanda, dia masih merasa memiliki tanggung jawab untuk menikahkan 4 anak yang masih lajang! Ibu melanjutkan tanggung jawab adat dari bapak yang sudah berpulang.

Tulisan ini adalah hadiah buat hari ibu, untuk ibuku dan untuk para ibu yang berjuang tak lekang oleh berbagai rintangan. Secara khusus, ini untuk hadiah ulang tahun ke-62 ibuku yang jatuh 18 Desember lalu. Sekaligus permintaan maaf terdalam karena lupa mengucapkan, "Selamat Ulang Tahun, bagimu yang cintanya abadi untukku!"

Hidup Itu Perjuang Tanpa Henti

Saya tidak tahu harus memulainya darimana. Banyak hal yang ingin saya sampaikan. Semua berharga dan penting. Tetapi karena ini untuk hari spesial bagi para ibu, aku memulai dari satu ingatanku tentang ibu di ladang kopi arabika.

Ibuku karena tidak bersekolah tinggi nasibnya berakhir jadi petani. Hari-harinya dihabiskan di sawah dan kebun kopi. Di sela-sela musim tanam dan panen padi, dia menanami berbagai tanaman yang usia panennya tidak terlalu panjang di sela-sela tanaman kopi. Seingatku kadang ditanami cabai, jagung, kentang, dan singkong. Di samping itu, dia memelihara beberapa kerbau dan ayam.

Setelah dewasa, saya berpikir bagaimana ibu melakukannya? darimana tenaga untuk melakukannya? Bayangkan saja, setelah mengurus anak dan suami, dia harus turun ke sawah atau kebun. Lalu, di sela-sela itu harus merawat ayam, babi dan kerbaunya. Kami memang membantu tapi sedikit. Bapak harus ke kantor dan kami anak-anaknya bersekolah.

Seingatku ada waktu-waktu yang membutuhkan perjuangan dan pengorbanan. Pertama, ketika Bapak memutuskan untuk melanjutkan pendidikan ke Medan. Kedua, ketika ibu harus mendampingi bapak yang membuatnya harus meninggal kampung berikut sawah, ladang dan ternaknya. Ketiga, ketika ibu harus melanjutnya tanggung jawab sebagai kepala keluarga ketika ayah sakit lalu berpulang.

Ketika bapak melanjutkan pendidikan di Medan. Saya tidak ingat persis pendidikan Diploma atau Strata satu. Sebab keduanya dilakukan dalam jangka waktu yang berbeda. Semua pekerjaan baik urusan ekonomi keluarga dan anak diemban sendiri oleh ibu.

Saya masih bisa membayangkan momen dimana ibu harus berjalan sambil menaruh kayu bakar di kepala, semprotan di punggung dan hasil pertanian di tangan. Itu masih ditambah adikku yang bungsu di dalam perutnya. Ibu melakukannya tanpa keluhan dan hebatnya mampu melakukannya.

Kelak saya tahu dari ibu, dia melakukannya karena cinta. Cinta itu bisa mengubah kepala, pundak, tangan dan kaki menjadi kuat. Wujud cinta itu adalah kerja lebih keras. Dia harus memastikan kehidupan kami baik-baik saja di kampung. Itu dilakukan supaya ayah bisa tenang menyelasaikan studinya.

Pada akhirnya, bapak menyelesaikan studinya. Promosi dan mendapat tambahan penghasilan. Tapi, di sisi lain, kami sudah mulai tumbuh besar. Tuntutan biaya pendidikan semakin tinggi. Di sinilah, kami merasakan buah dari perjuangan ibu mendukung ekonomi keluarga.

Jika hanya berharap dari gaji bapak, seorang PNS rendah di daerah. Rasanya mustahil bagi kami untuk melanjutkan studi ke perguruan tinggi. Paling tidak 3 orang pertama. Ada tuntutan untuk membayar uang pendidikan, tempat tinggal dan makan sehari-hari. 2 orang saudaraku kuliah di Pekanbaru dan saya sendiri di Yogyakarta.

Perjuangan memang tidak menghianati hasilnya. Kerbau yang kami pelihara di bawah pengawasan ibu, satu per satu dijual. Demikian juga dengan babi dan ayam. Bahkan, saya sendiri sudah lupa persis jumlahnya.

Saya jadi ingat ketika ibu pulang dari ladang atau sawah hal pertama yang ditanyakan apakah kerbau sudah kenyang? babi sudah dikasih makan? Atau ayam sudah dimasukkan ke kandang? Seringkali tanpa bertanya terlebih dahulu apakah kami sudah makan atau mandi. Rasanya kerbau, babi dan ayam itu lebih penting! Tapi, ternyata tidak. Kerbau, babi dan ayam itulah yang membawa kami ke tempat sekarang.

Ibuku memang tidak bersekolah. Tapi, dia memikirkan masa depan kami. Katanya, anaknya harus sarjana. Itu yang membuat sedari awal sudah menyiapkan semuanya. Perencanaan yang jitu, disiapkan ternak-ternak itu sebagai modal pendidikan masa depan.

Seiring berjalannya waktu, bapak promosi dalam pekerjaannya. Peristiwa yang cukup berkesan ketika ayah menjadi camat. Tuntutannya, ibu harus menjadi ketua tim penggerak Pendidikan Kesejahteraan Keluarga (PKK) di kecamatan. Bagi, kami itu melegakan karena akan mengalami perbaikan ekonomi keluarga.

Tapi, bagi ibu selain membanggakan, ada tantangan berat! Dia harus turut membina Puskemas dan Puskesmas Pembantu, Pendidikan Anak Usia Dini, Kesejahteraan Keluarga dan kegiatan seremonial lainnya. Jika dulu dia berurusan dengan cangkul dan parang. Sejak saat itu, dia berurusan dengan dokter, bidan dan guru. Saya tidak tega membayangkan dia yang hanya tamatan sekolah menengah pertama berdiri memberi amanat di depan para profesional.

Saya masih ingat momen pulang kampung karena libur kuliah. Setiap bapak mengajak ibu menghadiri acara tertentu selalu saja berusaha menolak. Bahkan untuk kegiatan yang semestinya dihadiri sendiri, bapak harus turut mendampingi. Kata bapak, ibu hanya mampu berbicara 3-5 menit di depan orang-orang. Itu pun hanya ucapan terima kasih.

Sepengetahuan saya, sikap tidak percaya diri itu tidak berlangsung lama. Momen-momen selanjutnya yang saya ingat, ibu mulai belajar. Dia belajar tentang dunia kesehatan dan pendidikan anak. Bahkan yang paling mengejutkan saya, dia belajar pembukuan/akuntasi sederhana. Dia rajin bertanya pada adikku yang paling bungsu. Si bungsu sering mengomel karena ibu memang terkadang sulit memahami.

Terakhir, ibu sudah mampu berbicara 5-10 di depan audiensnya. Berangkat sendiri untuk kegiatan yang pada dasarnya harus dihadirinya sendiri. Saya bahkan masih ingat momen dimana, dimana ibu mengajakku membersihkan taman milik kecamatan. Bunga-bunga yang kurang terurus digantinya dengan tanaman obat dan bumbu. Ada juga momen dimana ibu membawa tim kecamatan juara lomba kuliner tingkat kabupaten. Paten! Pikirku.

Bagi saya, ini salah satu yang fenomenal. Sekaligus pesan kepada anak-anak muda. Belajar itu tidak mengenal batas usia. Ibuku membuktikan, dia bisa karena belajar hal-hal yang sebelumnya tidak terpikirkannya. Hebatnya dia berhasil!

Masa-Masa Sulit Yang Menguji

Pada saat itu, Pilkada terjadi di Tapanuli Utara. PNS memang netral. Tapi, sudah dapat dipastikan pejabat-pejabat akan disapu tsunami kepemimpinan baru. Ayah menjadi lebih emosional dan sering marah. Pusing soal pekerjaan dan tanggungan anak yang sekolah dan kuliah.

 Hal-hal kecil saja bisa memicu kemarahan meski hanya meninggikan nada suara. Ibu setahuku lebih banyak diam. Meski saya sadar dia juga pasti ingin memarahi balik. Tapi, sepertinya perempuan lulusan sekolah menengah pertama itu jauh lebih matang secara emosional dari seorang insinyur pertanian.

Ibu tahu bahwa karir bapak sudah tamat di Tapanuli Utara. Selanjutnya, dia mendukung bapak untuk mutasi ke Humbang Hasundutan. Seiring berjalannya waktu bapak mendapat promosi menjadi kepala dinas. Mungkin ini menjadi momen yang indah.

Sekitar 3-4 tahun kemudian, tepat setahun sebelum masa pensiun, bapak divonis menderita kanker lambung. Ibu, abang dan adik-adikku harus bolak-balik harus bolak-balik ke Malasya. Terakhir mereka tertahan di Malasya karena lock down karena pandemi Covid-19. Setelah kembali ke Indonesia, bapak tidak bisa lagi dibawa berobat. Kondisi semakin kritis lalu berpulang.

Ibu kembali menunjukkan perjuangannya selama bapak sakit. Satu hal yang pasti, dia tidak pernah menunjukkan sikap lemah. Tidak pernah dia terang-terangan menangis dan mengeluh. Sikap itu pula yang menguatkan anak-anaknya untuk tetap teguh menjalani semuanya. Jika saja, dia bukan seorang perempuan yang kuat, dia mungkin akan larut dalam kesedihan lalu jatuh sakit. Tangisnya baru benar-benar pecah ketika ayah berpulang.

Babak Baru Kehidupan

Setelah ayahku meninggal. Ibuku memilih kembali ke kampung. Meski ada tawaran untuk tinggal bersamaku atau abangku yang paling besar. Tawaran itu ditolaknya mentah-mentah. Jawabannya tegas, masih ada adikku yang masih kuliah dan belum menikah. Dia merasa harus meneruskan tongkat estafet yang diwariskan bapak. Jika ini sebuah lomba lari, ibu bercita-cita menuntas lintasan yang diawalinya bersama bapak.

Beberapa bulan lalu, si bungsu sudah menyelesaikan kuliahnya. Tuntas sudah tanggung jawabnya untuk pendidikan anak. Anak-anaknya sudah bisa mencari jalannya sendiri untuk hidup dengan bekal pendidikan.

Ibu sepertinya menikmati tinggal di kampung. Kembali ke masa-masa dulu dimana dia memulainya. Sesekali saya menelepon bertanya soal kegiatannya. Katanya, dia sedang menanam jagung, hasil dan harganya lumayan. Sudah beberapa kali panen dan untungnya lumayan. Pantasan dia kadang tidak mengangkat telepon sedang sibuk di ladang rupanya.

Terakhir, saat ibu ke Jakarta, kami ngobrol-ngobrol. Dia punya rencana ingin beternak babi. Waduh! Kalau dulu hanya dua-tiga ekor buat tambah-tambahan keuangan keluarga. Sekarang targetnya sekitar 50 ekor! Saya tidak tahu sudah direalisasikan atau tidak. Tapi dengar-dengar, dia sudah mencari tukang untuk membangun kandang.

Setelah semua yang ibu jalani. Kini, usianya sudah 62 tahun. Tapi, semangatnya tetap awet muda. Tiap lakunya seolah ingin berkata sekuat apa pun cobaan menghempaskan, dia akan berjuang bangkit melawan. Itulah ibuku. Selamat ulang tahun dan hari ibu, Opung Lionel. Horas! Terimalah hadiah buat hari ibu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun