Setelah ayahku meninggal. Ibuku memilih kembali ke kampung. Meski ada tawaran untuk tinggal bersamaku atau abangku yang paling besar. Tawaran itu ditolaknya mentah-mentah. Jawabannya tegas, masih ada adikku yang masih kuliah dan belum menikah. Dia merasa harus meneruskan tongkat estafet yang diwariskan bapak. Jika ini sebuah lomba lari, ibu bercita-cita menuntas lintasan yang diawalinya bersama bapak.
Beberapa bulan lalu, si bungsu sudah menyelesaikan kuliahnya. Tuntas sudah tanggung jawabnya untuk pendidikan anak. Anak-anaknya sudah bisa mencari jalannya sendiri untuk hidup dengan bekal pendidikan.
Ibu sepertinya menikmati tinggal di kampung. Kembali ke masa-masa dulu dimana dia memulainya. Sesekali saya menelepon bertanya soal kegiatannya. Katanya, dia sedang menanam jagung, hasil dan harganya lumayan. Sudah beberapa kali panen dan untungnya lumayan. Pantasan dia kadang tidak mengangkat telepon sedang sibuk di ladang rupanya.
Terakhir, saat ibu ke Jakarta, kami ngobrol-ngobrol. Dia punya rencana ingin beternak babi. Waduh! Kalau dulu hanya dua-tiga ekor buat tambah-tambahan keuangan keluarga. Sekarang targetnya sekitar 50 ekor! Saya tidak tahu sudah direalisasikan atau tidak. Tapi dengar-dengar, dia sudah mencari tukang untuk membangun kandang.
Setelah semua yang ibu jalani. Kini, usianya sudah 62 tahun. Tapi, semangatnya tetap awet muda. Tiap lakunya seolah ingin berkata sekuat apa pun cobaan menghempaskan, dia akan berjuang bangkit melawan. Itulah ibuku. Selamat ulang tahun dan hari ibu, Opung Lionel. Horas! Terimalah hadiah buat hari ibu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H